Kamis, 13 Juni 2013

MJIB - 16. Profil Dan Tradisi Ngeruwah Di Kampung Melayu Loloan Negara-Jembrana Bali *)



Suasana Kampung Melayu Muslim di Loloan Negara (Jembrana) Bali




Kampung Loloan yang berada di Kabupaten Jembrana Bali (ujung Barat Bali) merupakan sebuah perkampungan muslim Melayu, yang dihuni suku Melayu dengan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar pergaulan keseharian, walaupun kampung itu berada di Bali. Bukan hanya itu, pakaian, bentuk rumah dan tata cara adat pun masih merujuk pada akar budaya Melayu.  Hal ini dapat dilihat dari adanya sebuah perkampungan yang rumah-rumahnya tidak memiliki pura, seperti halnya kebanyakan rumah di Bali. Justru, rumah-rumah itu merupakan rumah panggung, ciri khas perumahan orang Melayu. 
 
Rumah panggung di kampung melayu Loloan Jembrana Bali

Penduduk Melayu muslim baik yang tinggal di kecamatan Loloan Timur dan Loloan Barat (batas keduanya dipisah oleh sungai dan dihubungkan jembatan Syariftua) adalah berasal dari beberapa daerah : Bugis, Kalimantan dan Trengganu. Saat ini, jumlah penduduk Melayu muslim sekitar 15.000 orang, dari sekitar 45.000 muslim yang tinggal di Kabupaten Jembrana.

Jembatan Syarif tua, penghubung kec. Loloan Barat dan Loloan Timur
Berdasarkan buku kecil “Sejarah Masuknya Islam di Bali II”, setelah Makassar jatuh ke tangan VOC pada tahun 1667, keturunan Sultan Wajo ditetapkan sebagai lawan yang harus dibasmi. Di bawah tekanan Belanda tersebut, serombongan laskar Sultan Wajo yang dipimpin Daeng Nahkoda melarikan diri dari tanah Sulawesi hingga akhirnya bermukim di suatu tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Bajo. 

Masjid Al-Gadry : peninggalan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Gadry
Dua ratus tahun kemudian, orang-orang Melayu datang dari Pontianak seiring dengan kedatangan Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qadry pada abad ke-18 masehi. Dalam rombongan tersebut terdapat seorang Melayu asal Terengganu bernama Ya’qub, yang kemudian menikah dengan penduduk setempat. Ya’qub inilah yang disebut-sebut dalam Prasasti Melayu yang disimpan di Masjid Al-Qadim (dibangun + 1600-an) di Loloan, yang isinya:
Satu Dzulqa’dah 1268 H, hari Itsnin. Encik Ya’qub orang Terengganu mewaqafkan akan barang istrinya serta mewaqafkan dengan segala warisnya yaitu al-Qur’an dan sawah satu tebih (petak) di Mertosari. Perolehannya 40 siba’ (ikat) dalam Masjid Jembrana di Kampung Loloan ketika Pak Mahbubah menjadi penghulu dan Pak Mustika menjadi Perbekel. Saksi: Syarif Abdullah bin Yahya al-Qadri dan Khatib Abdul Hamid.”
  
Setelah masa itu kemudian datang  Syekh Ahmad Bawazir dari Yaman untuk berdakwah. Mereka mengajar agama Islam kepada warga Loloan dengan menggunakan bahasa pengantar bahasa Melayu, sesuai bahasa sehari-hari di Loloan saat itu. Hal inilah yang kemudian membuat bahasa Bugis lambat laun tersisih, hingga akhirnya hanya bahasa Melayu yang digunakan di Loloan.
Kini, setelah 500 tahun berselang, ada juga unsur bahasa Bali yang terserap dalam kosakata Melayu yang dipergunakan oleh masyarakat Loloan. Oleh karena itu, tak salah jika mereka menyebut dirinya sebagai Melayu Bali. Seperti halnya, orang Melayu kebanyakan, Melayu Bali di Loloan juga gemar berpantun. Namun, sepertinya hanya generasi tua saja yang masih piawai melafazkannya.
Dari segi arsitektur bangunan, kesan Bugis juga sangat tampak dalam desain bangunan rumah-rumah asli masyarakat Melayu Loloan, terutama di daerah sekitar Masjid Al-Qadim. Juga, simbol keislaman seperti tulisan “اَللَّه” (Allah) dan “ مُحَمَّد” (Muhammad) pada dinding rumah-rumah itu. Simbol inilah yang membuat Loloan tampak seperti bukan di Bali yang terkenal dengan sebutan Pulau Seribu Pura itu.

KH S. Ali Bafaqih, salah satu walipitu Bali
Keberadaan budaya Islam Melayu di Jembrana-Bali semakin kuat dan kokoh setelah generasi-generasi muda Loloan mulai dikirim belajar ke Mekkah. Bahkan, di antara mereka ada yang berkhidmat di Mekkah hingga 30 tahun, seperti H. Agus Salam, H. Muhammad Said dan H.M. Asad yang sempat mondok di Masjid al-Haram sebelum faham Wahabi masuk ke Arab Saudi. Sepulangnya dari jazirah Arab, mereka membangun pesantren-pesantren di Loloan. Termasuk didalamnya adalah KH Sayyid Ali Bafaqih, yang berasal dari Banyuwangi.



TRADISI NGERUWAH

Umat Islam di Bali memang minoritas, namun mereka mampu mempertahankan tradisi-tradisi Islam seperti tradisi Ngeruwah yang dilakukan oleh masyarakat muslim di desa Loloan Kabupatren Jembrana.
Tradisi Ngeruwah merupakan tradisi kirim doa ampunan ataupun kirim pahala amal sholeh seperti pahala bacaan kalimat thoyyibah dan shadaqah yang ditujukan kepada para arwah leluhur,  semacam tradisi “selamatan” atau “haul akbar” dalam rangka memohonkan ampunan kepada Alloh untuk para arwah leluhur.
Masyarakat Islam Loloan biasa mengadakan tradisi Ngeruah pada bulan Ruwah atau Sya‘ban, bertepatan  dengan menyongsong bulan suci Ramadhan yang dipercaya sebagai bulan penuh berkah dan ampunan.
Tradisi Ngeruwah merupakan warisan dari para ulama sejak ratusan tahun lalu yang dapat dilaksanakan secara individual oleh masing-masing keluarga ataupun dilakukan secara berjamaah. Namun masyarakat Islam di desa Loloan Timur Jembrana melakukannya secara berjamaah (bersama-sama) dan besar-besaran, yang pelaksanaannya dipusatkan di Pondok Pesantren Roudhotul Ulum dan diikuti oleh ribuan dari ahli waris. Tradisi ini lebih dikenal dengan istilah “Ngeruwah Akbar”.
Tradisi Ngeruah Akbar tersebut baru dilaksanakan beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan perkembangan kondisi kehidupan masyarakat Loloan yang semakin sulit untuk melakukannya secara indivual disebabkan terbentur masalah biaya. Di samping juga disebabkan oleh faktor kesibukan dari masing-masing warga. Dengan Ngeruwah Akbar ini, mereka dengan mudah dapat melakukan kirim doa dan pahala amal sholeh kepada arwah leluhurnya tanpa harus mengganggu kesibukan mereka dan tanpa harus mengeluarkan biaya yang banyak.
Kegiatan inti Ngeruah Akbar antara lain : pembacaan Al-Fatihah yang pahalanya ditujukan kepada arwah leluhur masyarakat Loloan yang jumlahnya lebih dari 1900 orang, disertai dengan menyebut nama mereka satu persatu; diteruskan membaca beberapa ayat suci Al-Qur’an, dzikir istighotsah dan kalimat thoyyibah (tahlilan), kemudian diakhiri dengan pembacaan doa mohon ampunan kepada Allah untuk para arwah leluhur yang diselameti. Pembacaan tersebut dilakukan secara bersama-sama oleh seluruh ahli waris yang hadir.


___________________________________



*).   Diolah dari berbagai sumber :

A.A. Wirawan, Islam di Bali: Sejarah Masuknya Agama Islam di Bali, Pemda Tk.I

              Bali, Proyek Peningkatan Sarana & Prasarana  Kehidupan Beragama, Denpasar

              1997/1998

Alwi Sofwan, Kerajaan Islam, PN.Pustaka Al Alawiyah, Semarang, 1991

Ginarsa & Suparman. H.S, “Umat Islam di Buleleng”, dalam Saleh Saidi (ed.), Sejarah Keberadaan Ummat Islam Di Bali. Denpasar: Majelis Ulama Indonesia Bali.

I Wayan Reken, Islam di Bali, Pemda Bali, PPSPKB, 1997/1998

Solichin Salam, Sekitar Wali Songo, PN. Menara Kudus, 1960

Toyib Zaen Arifin, Sejarah Wujudnya Makam Sab’atul Auliya Wali Pitu di Bali, PP

               Al- Khoiriyah, Denpasar, 1998

http://emka.web.id/ke-nu-an/2012/kyaipedia-kh-ahmad-al-hadi-jembrana/


http://regional.kompas.com/read/2012/08/10/16311253/Nyama.Kampung.Menyama.di.Loloan

http://rozikeane.wordpress.com/sejarah-loloan/




Tidak ada komentar:

Posting Komentar