Jumat, 09 Agustus 2013

MJIB - 30. PRO DAN KONTRA SOAL KEBERADAAN WALIPITU DI BALI






Setelah memperhatikan uraian sejarah dan informasi keberadaan Walipitu di atas, ada beberapa temuan yang menarik untuk direnungkan, dikaji dan dikembangkan lebih lanjut dalam kaitannya dengan kemungkinan adanya Waliyulloh selain Walipitu sebagai berikut :
1. Kemungminan Adanya Waliyulloh lain diluar Walipitu
     Istilah “Walipitu” (sab’atul auliya’) yang berarti tujuh orang  Waliyyulloh Bali dan proses penemuan makam mereka adalah didasarkan pada suara hatif, ilham, kontak batiniyah atau semacam inspirasi yang diperoleh dari hasil riyadhoh Bapak KH Toyib Zaen Arifin bersama timnya.
Hal ini melahirkan sikap pro dan kontra di tengah masyarakat, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non muslim. Bagi orang-orang yang tidak setuju dengan penggunaan suara hatif, ilham atau semacamnya sebagai “sumber pengetahuan” atau sebagai alat untuk mendeteksi keberadaan makam seorang waliyulloh, tentu mereka akan menolak dan menentang dengan berbagai alasan, misalnya: tidak ilmiah, irrasional, mengada-mengada, tidak masuk akal dan komentar-komentar miring lainnya.
Namun bagi yang setuju, bisa jadi mereka akan menerima apa adanya tanpa banyak komentar. Apalagi hal itu dilakukan oleh seorang ahli riyadhoh, atau bisa jadi dipandangnya sebagai sesuatu yang sah-sah saja dan dalam hal ini, KH Toyib bukanlah satu-satunya orang yang ahli, karena kenyataannya banyak diantara para ahli riyadhoh yang mampu menemukan makam seorang “Waliyulloh” yang sebelumnya tidak diperhitungkan oleh masyarakat umum, dengan metode dan cara yang berbeda-beda. Sebut saja misalnya KH Hamim Jazuli (Gus Miek dari Ploso Kediri), KH Mas Nur (Branjangan), KH Abdurrahman Wachid (Gus Dur), KH Ali Muhammad (Pembina semaan Qur’an Al-Ittihad), KH Ahmad Asrori Usman (Al-Khidmah), dan lain-lain. Dengan demikian, di masa-masa mendatang mungkin saja ada ahli-ahli riyadhoh lain yang mengungkap keberadaan Waliyulloh  selain Walipitu tersebut dengan cara atau metode yang berbeda-beda, sehingga jumlahnya tidak sekedar tujuh orang (“Walipitu”), malahan bisa lebih dari itu, misalnya delapan orang (“Waliwolu”), sembilan orang (“Walisongo”), sepuluh (“Walisepuluh”) dan seterusnya. Pendek kata, dipandang dari sudut ini, istilah “Walipitu” bukanlah harga mati, tetapi bisa ditawar (berubah). Apalagi menurut keyakinan di kalangan kaum sufi, bahwa setelah wafatnya seorang Wali tertentu, Alloh akan memunculkan seorang Waliyulloh yang baru untuk menggantikan posisi mereka, sehingga di bumi ini tidak ada kekosongan Wali.
2.  Konsep “Walipitu” di Bali nampaknya lebih dipahami sebagai tujuh orang suci atau orang sholeh yang menjadi kekasih Allah dan dianugerahi karomah tertentu. Pemahaman konsep “Walipitu” seperti ini jelas berbeda dengan pemahaman konsep “Walisongo” di Jawa dalam beberapa hal, diantaranya sebagai berikut :
a.  Konsep “Walisongo” tidak sekedar dipahami sebagai sembilan orang suci/sholeh yang menjadi kekasih Allah dan dianugerahi karomah tertentu, akan tetapi juga sekaligus dipandang sebagai penyebar terpenting agama Islam di daerahnya masing-masing. Misalnya Sunan Giri yang tinggal di perbukitan Giri Gresik dan berdakwah di wilayah sekitarnya; Sunan Kudus tinggal di kota Kudus dan berdakwah di kota Kudus dan sekitarnya, dan seterusnya. Sedangkan konsep “Walipitu” tidak dikaitkan dengan peranan mereka sebagai penyebar agama Islam terpenting di daerahnya masing-masing. Kalaupun ada yang dipercayai sebagai muballigh, itupun terbatas pada beberapa orang seperti Sayyid Ali Bafaqih di Loloan Barat; Habib Ali bin Abu Bakar Al-Hamid; Habib Ali Zainal Abidin Alydrus. Bahkan beberapa tokoh yang dipercayai telah berjasa dalam dakwah Islamiyah di Bali justru tidak dimasukkan dalam hitungan “Walipitu”, sebut saja : Raden Modin dan Kyai Abdul Jalil yang dipandang sebagai cikal bakal keberadaan masyarakat Islam di desa Banjar Lebah dan desa Saren Jawa di Kabupaten Karangasem Bali; Syarif “Tua” Yahya bin Yusuf bin Abu Bakar bin Habib Husain Al-Gadri; dan tokoh-tokoh dari Bugis - Makassar.
b.  Menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Wali Songo, yang dinukil dari kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, bahwa istilah Walisongo adalah nama dari lembaga Dakwah atau Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan orang  pengurus, yang didirikan atas inisiatif dan kepedulian Sultan Muhammad I dari kerajaan Turki Usmani terhadap perkembangan dakwah Islamiyah di pulau Jawa. Dengan begitu, istilah ini muncul sejak abad ke-15 masehi. Sementara itu, istilah Walipitu muncul pada era 1990-an yang “ditemukan” dan diperkenalkan pertama oleh KH Toyyib beserta jama’ahnya.
c.   Para anggota yang ditokohkan dalam “Walisongo” sudah jelas sejarah hidupnya dan diakui oleh para ahli sejarah, serta nama mereka dan perannya disebut-sebut dalam literatur atau kepustakaan jawa terutama tulisan orang jaman dahulu seperti buku Babad Tanah Jawa, Suluk Wujil, Het Boek van Bonang, Kitab Walisono,  dan lain-lain. Sementara para anggota Walipitu yang sudah dipopulerkan oleh penemunya ada yang masih samar-samar sejarahnya dan masih terus dilakukan penelusuran sejarahnya sampai saat ini, kecuali beberapa orang Waliyulloh yang sudah jelas. 


Jika istilah Walipitu tersebut seandainya disepakati oleh berbagai kalangan tidak sekedar dipahami sebagai orang suci kekasih Alloh dan memiliki karomah, tetapi juga berperan besar dalam penyebaran Islam di pulau Bali, bisa jadi personalianya akan berubah (tambal sulam) dan bahkan  bertambah lebih dari tujuh orang

Tahlilan di makam Pangeran Mas Sepuh Pante Seseh
Lepas dari pro dan kontra di atas, penemuan istilah  “Walipitu di Bali” yang saat ini sudah kadung (terlanjur) populer ini merupakan langkah positif yang perlu mendapatkan apresiasi dan dukungan dari berbagai pihak, mengingat dampak positifnya yang begitu besar, terutama bagi  kemajuan dan perkembangan industri pariwisata di pulau Bali. Terbukti bahwa akhir-akhir ini banyak rombongan wisatawan muslim ke Bali dengan tujuan  menziarahi makam Walipitu, sekaligus juga mengunjungi obyek-obyek wisata yang menjadi icon pulau Bali seperti pantai Kuta, pantai Sanur, istana Tampak Siring, dan lain-lain.  Minimal membangun suatu citra bahwa di tengah kehidupan masyarakat Bali yang mayoritas Hindu ternyata ada Waliyulloh-nya dan juga ada komunitas muslim yang dapat hidup berdampingan secara damai dan penuh toleransi dengan umat Hindu.
Wallohu A’lam bis-showab.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar