___________________________
Oleh : Dhurorudin Mashad
Selama tiga hari saya dkk. telah diajak pak Lukman munjelajahi
Denpasar – Badung untuk menelusuri kampung-kampung Islam. Pak Lukman
sempat pula mengajak menyinggahi DreamLand, tempat wisata pantai yang
luar biasa indah. Terhitung masih perawan, terbukti pantai ini –ketika
kami datang—masih dalam proses penataan. Tapi, DreamLand bagi saya
intermeso belaka, karena tujuan pokok saya bukan berwisata.
Setelah dirasa cukup, kami bersiap melanjutkan perjalanan menuju
Buleleng. ”Terima kasih pak Luqman. Saya pamit untuk melanjutkan
perjalanan”, kata saya menjelang perpisahan. Mas Hamdan, Heru, dan
Indri melakukan hal yang sama, pamitan. Maklum, pada perjalanan
berikutnya saya ganti didampingi pak Kadek Syarifuddin. Dari namanya
sudah jelas, dia seorang muslim Bali asli, bukan pendatang atau
bali-balian. ”Pak Syarif”, demikian saya memanggil. oarangnya lucu
luar biasa. Tak ada waktu yang kosong dari ketawa. Bahkan, ketika pak
Syarif bicara serius pun akhirnya ditutup pula dengan ketawa ha..ha…ha…
Tidak terasa, akhirnya saya sampai di Buleleng dengan ibukota
Singaraja. Pertama sekali, saya diajak ke pelabuhan tua. Banyak
bangunan tua –sepertinya bekas gudang– masih teronggok di sana. Ada
juga bangunan bekas syah bandar yang tampaknya masih terawat baik.
Bongkahan-bongkahan batu bekas dermaga juga masih tersisa. Tak
ketinggalan lokasi pecinan dengan bangunan tua juga ada, sebagai tanda
bahwa di tempat ini dahulu menjadi sentra niaga. Lokasi pecinan biasa
disebut Kampung Tinggi. Sayang sekali, pelabuhan ini tidak difungsikan
lagi. Lokasi ini tampaknya hanya jadi lokasi wisata, itupun menurut
saya panorama dan penataannya tidak ada taksu alias pesona, kecuali
bagi orang yang ingin menelusuri sejarah saja. Di tempat ini, di lokasi
inilah dahulu, puluhan bahkan ratusan tahun lalu, pintu gerbang untuk
memasuki tanah Bali.
Ditilik dari sejarahnya, Buleleng dahulu memang menarik banyak
pendatang. Hal ini terjadi karena Singaraja mulanya sebagai kota dagang
dan pelabuhan. Konon, jaman dulu ada jembatan untuk kapal berlabuh. Tak
sedikit dari penumpang kapal itu akhirnya pilih menetap di lokasi ini.
Terbukti, kampung kampung di Singaraja misalnya, banyak diberi nama
sesuai dengan asal pendatang. ”Karena itu ada Kampung Bugis, Banjar,
Jawa, Kampung Sasak, Kampung Arab, Kampung Tinggi (pecinan)”, kata pak
Syarif menjelaskan. Ada juga Kampung Mumbul karena ada tempat mata air.
Bahkan karena terlalu banyaknya kampung non Bali di tengah kota
Singaraja, akhirnya terdapat pula satu lokasi di tengah kampung kampung
non Bali yang bernama Banjar Bali. ”Kedengarannya agak aneh, bahwa di
Bali ada lokasi bernama Banjar Bali. Tetapi, itulah realitas Singaraja,
sesuatu fenomena yang sangat jaranag ada di tempat-tempat lain”,
tandas pak Syarif.
Perlu digarisbawahi bahwa orang Buleleng dan Bali pada umumnya
bukanlah orang Bali asli. ”Orang Bali asli hanya sedikit dan mendiami
beberapa wilayah tertentu, seperti: Tenganan (Karangasem), Sukawana dan
Trunyan (Kintamani), Julah – kecamatan Tojuti pule, Sembiran –
kecamatan Tugu Pule, dan Pedawun (Buleleng)”, kata seorang dosen di
sebuah universitas swasta di Singaraja ”Orang Bali umumnya merasa
berasal dari Jawa yang datang ke Bali ratusan tahun lampau bersamaan
dengan invasi Majapahit ke pulau Bali disusul dengan gelombangan
kedatangan berikutnya. Oleh karena itu dapat dipahami jika dalam konteks
lama yang disebut wong sunantara, wong duradesa atau orang asing tak
mencakup Wong Jawa, karena mereka umumnya juga dari Jawa”.
Sejarah Buleleng dan Bali umumnya memang mencatat bahwa asal usul
penduduk pulau ini dominan dengan pendatang, baik Hindu maupun Muslim.
Bedanya hanya pada periode kedatangan saja. Realitas seperti ini absah
saja, mengingat peradaban lama sangat memungkinkan manusia untuk
secara bebas bermigrasi ke tempat yang mereka mau. Akibatnya, tak ada
wilayah yang bisa disebut steril dari pendatang.
Dalam konteks Buleleng, ketika merunut kaum muslim yang datang era
lama, meski secara pemukiman ada enklave-enklave tertentu, tetapi
maksimal hanya bisa dianalisis pada level sosio kultural itu. Hal ini
berlaku baik yang datang di era Mataram Hindu maupun Mataram Islam,
bahkan termasuk yang datang era kolonial. Gelombang pendatang ke
Buleleng memang berkelanjutan termasuk kalangan Muslim. Salah satunya
adalah ketika pasukan Mataram jaman Amangkurat ke I menyerbu Blambangan,
Jawa Timur. Sebagian pasukan Mataram yang beragama Islam itu kemudian
diundang ke Bali menjadi tentara bayaran dan menetap di Buleleng. Oleh
Raja Buleleng mereka diperlakukan istimewa serta diberi tanah
pelungguh di Pegayaman sekaligus untuk tujuan menjaga wilayah
perbatasan. Inilah cikal bakal dari komunitas Muslim Pagayaman.
Realitas sejarah ini menjadi argumentasi bahwa mereka datang justru
diundang kerajaan, dibutuhkan kerajaan untuk menjadi tenaga inti
penjaga keamanan. Dapat dipahami jika ada hubungan historis kultural
antara Puri dengan kampung Islam Pagayaman yang terus terikat erat
sampai era kekinian.
Buleleng kala itu memang menjadi pintu gerbang kedatangan. Di era
kolonial Belanda pun gelombang kedatangan juga melalui lokasi ini. Pada
waktu itu mereka datang sebagai pedagang dan berbagai macam profesi.
Keturunan pendatang dari Jawa Timur dan Madura (beragama Islam)
misalnya, banyak berprofesi sebagai penjual dan pembuat masakan khas
Jawa Timur seperti sate, rawon dan soto yang sangat mudah ditemui di
Singaraja hingga kini. Bahkan, pasar malam di tengah kota, pedagangnya
kebanyakan mereka juga. Pasar malam ini biasa dikenal dengan pasar
senggol. Maklum, lokasinya biasa padat pengunjung, sehingga secara
disengaja atau tidak akan saling bersenggolan. Karena sang penjual
umumnya Jawa dan Muslim, maka meskipun komunitas Islam adalah sangat
minoritas, tetapi berbelanja makanan di tempat ini tidak meragukan
alias ditanggung halal. Memang, ada satu dua penjualnya orang Hindu
Bali, tetapi lokasinya sengaja dikelompokkan, karena dagangannya banyak
yang mengandung Babi. Pedagang Hindu pasti ditandai dengan adanya
sesajen di atasnya, yang biasa disebut canangsari.
Selain Jawa, banyak juga pendatang suku Bugis yang secara turun
temurun berprofesi sebagai nelayan dan guru agama. Namun, di era
sekarang banyak di antara kaum Bugis berjualan kerajinan perak, yang
memajang karya-karya mereka di toko di sepanjang jalan di samping masjid
agung Buleleng. ”Di pertokoan sini umumnya beretnis Bugis”, kata
seorang wanita yang sedang menunggui tokonya. Identitas agama dan status
sosial (lini pekerjaan) ini pada akhirnya sedikit banyak bisa dijadikan
sebagai indikator analisis sosial tadi. Jaman penjajahan kolonial
banyak pendatang yang berprofesi sebagai guru, seperti ayahnya Bung
Karno.
Para pendatang muslim ini banyak yang melakukan kawin mawin dengan
wanita lokal (Hindu), sehingga secara genealogis sangat sulit
ditelusuri asal usul aslinya. Ayahnya bung Karno pun, pada akhirnya
menikahi wanita Hindu setempat. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa: keaslian garis leluhur komunitas Hindu Bali justru lebih murni
dan dapat dirunut asal usulnya dibanding kaum muslim, karena perkawinan
di kalangan komunitas Hindu relatif terbatas oleh sekat-sekat wangsa.
Memang, khusus untuk pendatang muslim terutama sejak era kemerdekaan
apalagi sejak era 1970an, penelusuran geneologis maupun kultural masih
mungkin dilakukan. Karena tingkat pembauran geneologis melalui
perkawinan (apalagi kultural) belum terlalu banyak dilakukan. Bahkan,
antara Muslim pendatang dengan Muslim asli Bali (baca: dari komunitas
kampung Islam lama) pun pembauran geneologis (melalui perkawinan) dapat
dikatakan sangat terbatas juga. Walhasil, kaum Muslim asli Bali pun
terhadap saudara-saudara Muslim yang datang sejak era kemerdekaan
(apalagi sejak era 1970an) pun tetap melihat sebagai pendatang.
Akibatnya, tetap menjadi relatif mudah misalnya untuk dilakukan
penelusuran guna membedakan antara penduduk Hindu Bali, Muslim asli
Bali, dan Muslim Bali pendatang.
Terutama sejak 1970an seiring dengan ”ditetapkannya” Bali sebagai
wilayah Wisata andalan, gelombang imigrasi ke pulau ini menjadi sangat
luar biasa besar. Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Jawa dan
Muslim, maka menjadi dengan sendirinya para pendatang baru
mayoritasnya adalah Jawa dan Muslim. Realitas inilah yang menyebabkan
pertumbuhan penduduk Bali dari komponen Jawa dan atau Muslim menjadi
sangat significan. Perkembangan terbesar tentu saja terutama terjadi di
wilayah-wilayah simpul transportasi.
Khusus Bulelang, pada Jaman Belanda pelabuan utama memang berada di
tempat ini, sehingga Singajara kala itu menjadi simpul utama kehadiran
para pendatang. Namun, di era Indonesia (terutama Orde Baru) Buleleng
bukan lagi menjadi pintu gerbang bagi Bali, sehingga gelombang
pendatang tidak sebesar di Denpasar – Badung saat ini. Meski demikian,
dalam jumlah tertentu comunitas muslim juga tetap merembes, tak hanya
di Pagayaman atau Legal Linggah tetapi menyebar terutama di perkotaan.
Di Buleleng kota selain terdapat desa-desa muslim yang termasuk kuno
seperti Kajangan dan kampung Bugis (di Tanah Tinggi) yng lokasinya hanya
berseberangan jalan, kini telah ada enkalave-enklave comunitas muslim
seperti di kampung Baru, kampung Islam, bahkan desa Satelit yang
dibangun oleh para pengembang.
Akulturasi adat kebiasaan merupakan keniscayaan yang tidak
terhindarkan. Proses ini terjadi secara alamiah meski pelan dan dalam
waktu lama. Hal ini terjadi akibat interaksi yang intensif maupun
sebagai akibat prinsip yang dibangun para tokoh agama pendahulu.
Realitas ini hakekatnya bukan fenomena eksklusif hanya ada di Bali
melainkan sebagai gejala umum di seluruh wilayan nusantara. Dalam
konteks Bali pada umumnya, dan Bueleleng khususnya, ikatan genealogis
antar comunitas menjadi factor pendorang utama terjadinya akulturasi.
“Sebab, meski para wanita Hindu yang telah jadi mualaf tidak lagi
menjadi bagian eksklusif dari komunitas Hindu, tetapi secara geneologis
wanita itu tetap tidak bisa dilepas dari orang tua yang Hindu. Oleh
karena itu, silaturrahmi (sang anak berkunjung kepada orang tua)
sebagai sesama manusia masih tetap dilakukan. Realitas ini lah yang
mampu membangun semangat kekerabatan”, kata H. Ihsan, seorang pengusaha
emas dan perhotelan di Buleleng.
Akulturasi Hindu – Muslim bahkan tercermin pula dari arsitektur
masjid Agung Buleleng. Pintu gerbang masjid agung itu secara kental
merefleksikan kultur Bali yang secara dominan diwarnai tradisi Hindu.
”Pintu gerbang itu konon diberi raja Buleleng, ketika masjid ini
dibangunan ratusan tahun silam”, kata seorang pengurus masjid agung,
ketika saya menyempatkan sholat di tempat itu. Bahkan, pengurus masjid
memberi kesempatan pada saya dkk untuk melihat-lihat Al Qur’an tulisan
tangan. Al Qur’an itu usia nya telah ratusan tahun, sekaligus sebagai
petanda bahwa komunitas Islam juga telah ratusan tahun keberadaannya.
Karena sudah sangat rapuh, maka ketika membalik-balikkan kertasnya,
saya harus super hati-hati melakukannya. Mas Hamdan bahkan sempat
mendokumentasikan Al Qur’an kuno itu.
Muslim Buleleng secara historis maupun kekinian secara umum memang
sebuah entitas minoritas. Tetapi, terutama di masa lalu, mereka bisa
hidup rukun dan damai bersama mayoritas Hindu Bali. Sebagaimana di
wilayah lain di Bali, kaum Hindu Buleleng juga menyebut kaum muslim
sebagai nyama slam, saudara Muslim. Dalam beberapa kegiatan adat
terbangun logika kerjasama, sehingga muncul perasaan bahwa dua
komunitas beda agama ternyata tidak harus membatasi mereka untuk
bekerjasama dalam urusan dunia. Pada desa Muslim ”kuno” seperti
Pagayaman misalnya, mereka mengaku terlibat aktif dalam organisasi
subak, yakni sistem pengairan pertanian khas Bali. “Organisasi
melibatkan lintas agama, rapat bersama, iuran bersama, yang berbeda
atau terpisah hanya terkait dengan upacara adat yang bernuansa agama
(ketika melakukan acara syukur panenan)”, kata Syahruddin, seorang
tokoh di Kampung Islam di Tegal Linggah. Tegal Linggah merupakan
pengembangan dari Kampung Pagayaman, sehingga eksistensinya pun
tergolong satu dari sekian kampung tua di Buleleng. ***
DHURORUDIN MASHAD
__________________________
Sumber Tulisan :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/11/25/kantong-kantong-muslim-di-tengah-kota-buleleng-bali-tulisan-18/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar