___________________________
oleh : Dhurorudin Mashad
Pagi-pagi sekali Pak Luqman telah stand by, siap mengantar saya
dkk. melakukan kunjungan lanjutan ke sebagian kampung Islam era lama di
Bali. Wajahnya sumringah, menjadi pertanda bahwa dia cukup bahagia
mendampingi kami. ”Saya biasa mengantar tamu pak. Tapi yang memiliki
tujuan khusus untuk silaturrahim ke komunitas muslim Bali, ya baru kali
ini”. Saya hanya tersenyum menanggapi ucapan pak Luqman ini. Sepintas
kulihat teman-teman lain juga tersenyum menyikapi pernyataan pak Luqman
tadi.
Jika di hari sebelumnya Kepaon menjadi sasaran, kali ini ganti
kampung Islam Serangan, Angantiga, Tuban dan Suwung menjadi tujuan
kunjungan. Ada persamaan dan perbedaan antara Kepaon dengan empat
lokasi yang hendak dikunjungi. Persamaannya: semua kampung muslim tadi
secara historis kultural sama-sama memiliki hubungan erat dengan Puri
Pamecutan dan atau Kerajaan Badung.
Lantas apa perbedaannya? Pertama, cikal bakal komunitas Islam Kepaon
berasal dari Jawa-Madura, sedangkan asal usul kampung Islam Serangan,
Angantiga, Tuban, dan Suwung, komunitas pembentuknya terutama dari
Bugis – Makasar, Sulawesi Selatan. Kedua, dalam konteks kekinian,
Serangan, Tuban, Suwung, dan Angantiga secara administratif masuk dalam
wilayah Denpasar, bukan lagi kabupaten Badung. Maklum, sejak
ditetapkannya Denpasar sebagai ibukota propinsi, wilayah itu secara
administratif akhirnya lepas dari kabupaten Badung. Dengan demikian,
berarti penelusuran saya kali ini beredar di sekitar Kota Denpasar
bukan Kabupaten Badung lagi.
Pada tulisan sebelumnya telah saya uraikan bahwa pemukiman
orang-orang Islam Kepaon Badung berkembang dengan pesat diperkirakan
sekitar tahun 1891, yakni setelah jatuhnya kerajaan Mengwi ke tangan
Kerajaan Badung. Waktu itu pasukan Kerajaan Badung dibantu Raden
Sosroningrat, seorang muslim yang akhirnya dikawinkan dengan putri Raja
Pemecutan. Adapun, untuk komunitas Muslim terutama wilayah Angantiga
dan Serangan di Kota Denpasar ternyata justru berkembang lebih awal,
yakni sebagian berhubungan dengan jatuhnya kerajaan Gowa tahun 1669 oleh
kolonial Belanda, bahkan sebagian lain lebih lama lagi karena
aktivitas perdagangan.
Perlu dicatat bahwa hanya setelah Belanda melakukan persekongkolan
dengan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan (termasuk Arung Palakka),
Belanda berhasil menaklukkan Gowa. Akibatnya, Sultan Hasanuddin
menerima perjanjian Bongaya, 18 November 1667, yang salah satunya (pasal
11) berisi: . benteng Ujung Pandang bersama perkampungan di
lingkungannya diserahkan kepada Belanda. Di Benteng Ujung Pandang alias
Fort Rotterdam inilah bermula cengkeraman konolinalisme Belanda di
Sulawesi dimulai. Ia menjadi pusat pemerintahan, pertahanan, bahkan
sekaligus pusat kantor perdagangan. Dengan kata lain ia lantas menjadi
pusat kota. Oleh karena itu benteng ini disebut pula Towaya, yang dalam
bahasa Makasar berarti kota lama/tua.
Penaklukkan Belanda atas Sulawesi Selatan ini rupanya tidak bisa
diterima oleh sebagian rakyat Bugis-Makasar. Menyusul kekalahan Gowa
oleh Belanda tadi, banyak pelaut dan atau lasykar asal Bugis Makasar
yang menyingkir keluar daerahnya, diantaranya ke Serangan, Tuban,
Suwung, melalui Lombok dan Sumbawa. Namun demikian, beberapa sumber
asing menyebutkan bahwa mereka langsung merapat di beberapa pantai di
Bali Selatan seperti Tuban, Suwung, dan Serangan, bahkan ada juga di
Kuta yang kala itu memang sudah beberapa penduduk muslim karena
aktivitas perdagangan dan atau pelayaran.
Sebagaimana kampung Muslim Kepaon, komunitas Islam Bugis-Makasar
terutama di Angantiga dan Serangan secara historis-kultural ternyata
juga punya hubungan erat dengan Puri Pemecutan. Bahkan, wilayah
pemukiman mereka merupakan hadiah dari raja atas jasa-jasa mereka
terhadap kerajaan Badung. Pendirian masjid Kalimanjing Tubang, Suwung,
dan Serangan serta Tanjung Benoa kala itu juga mendapat bantuan bahan,
dana, disamping tempat dari raja Pemecutan (Remmy Silado, Mengintip
Sudut Islam Bali Tempo Dulu, Rabu, 2008 Januari 23). Bahkan, terkait
realitas kelampauan ini pula, komunitas-komunitas muslim ini juga telah
melakukan kawin mawin dengan penduduk Hindu lokal, sehingga secara
genealogis kini sulit (bahkan mustahil) ditemukan ada warga lama di
kampung–kampung itu yang murni alias asli beretnis Bugis-Makasar. Oleh
karena itu, sangat dipahami jika masyarakat Hindu – dan Muslim di
kampung-kampung itu bergaul akrab, seolah tak ada beda antar mereka.
Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama, dan dapat dikatakan sebagai
embrio integrasi sosial dalam konteks kekinian.
Apa dan bagaimanakah sejarah pasti dari eksistensi komunitas Islam
Serangan ? Pulau Serangan adalah sebuah desa yang terdapat di Bali, desa
Serangan merupakan desa pantai, penduduk disana mayoritas
bermata-pencaharian sebagai nelayan baik itu dengan menangkap ikan atau
juga dengan mengembangkan dan memanfaatkan lautnya melalui budi daya
rumput laut. Selain sebagai desa nelayan juga merupakan salah satu
tempat berwisata baik wisata bahari, juga sebagai tempat olah-raga.
Komunitas Serangan pertama sekali berasal dari para pedagang dan pelayar
Bugis yang telah datang jauh sebelum Serangan menjadi bagian wilayah
Badung. Wilayah itu masih dikuasi kerajaan Mengwi. Konon orang pertama
yang datang ke pulau Serangan adalah H.Mukmin yang di era Belanda
menentang keberadaan Belanda di Sulawesi Selatan lantas memilih
mengungsi ke Bali, tepatnya di pulau Serangan. H. Mukmin kemudian
diikuti oleh beberapa kerabat lainnya asal Sulawesi Selatan. Ketika Raja
Badung perang melawan Mengwi, raja Badung meminta bantuan masyarakat
muslim Bugis-Makasar. Walhasil, ketika peperangan dimenangkan Badung,
kerajaan lantas secara resmi menghadiahkan wilayah Serangan –yang semula
dikuasai Mengwi– untuk menjadi tempat bermukim permanen bagi masyarakat
Bugis yang telah berjasa itu. Sejarah yang hampir sama terjadi dalam
konteks perkampungan Islam Suwung dan Tuban, serta Angantiga yang
semuanya diberikan secara permanen sebagai hadiah atas dukungan umat
Islam kepada kerajaan Badung. (Remmy Silado, Mengintip Sudut Islam Bali
Tempo Dulu, Rabu, 2008 Januari 23)
Jumlah masyarakat Bugis di kampung Serangan (tahun 2009) sekitar 80
KK atau sekitar tiga ratus jiwa. Semua komunitas masih merupakan
kerabat atau masih satu keturunan dari H. Mukmin (Remmy Silado, Serangan
Island, Rabu, 2008 Januari 23). Pulau Serangan merupakan desa pantai,
dimana penduduk mayoritas bermata-pencaharian nelayan dengan menangkap
ikan atau mengembangkan budi daya rumput laut. Desa Pulau Serangan,
Denpasar, Bali memiliki kebudayaan yang dinamis, karena kini dihuni
oleh orang-orang dari berbagi suku bangsa.
Masyarakat Bugis tentu sebagai penduduk dominan di daerah tersebut.
Orang Bugis terkenal dengan armada kelautannya, disamping terkenal juga
dengan sifat merantaunya. Disamping untuk menyebarkan rempah-rempah dari
Sulawesi, penggunaan armada kelautan masyarakat Bugis juga bertujuan
untuk menyebarkan Islam. Hal ini dapat pula dilihat di desa Serangan,
dengan berdirinya sebuah masjid sebagai rumah ibadah masyarakat Bugis.
Di desa Serangan inilah masjid tertua yaitu masjid Syuhada’ yang
diperkirakan berdiri pertama kali untuk wilayah Denpasar. Di desa
Serangan juga terdapat Al-Qur’an kuno tulisan tangan dan berbahan kulit
kayu, yang diperkirakan ada sekitar abad ke-17. Al Quran yang diyakini
tertua di Bali ini tetap dirawat dan dibaca menjelang berbuka puasa di
bulan Ramadlan. Menurut tokoh warga setempat, Marzuki, Al Quran itu
warisan dari kakeknya bernama Haji Alwi salah seorang dari orang pertama
di kampung itu yang berasal dari Bugis, Makassar.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya komunitas muslim
Serangan memiliki hubungan yang erat serta sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai kebersamaan dan toleransi antar pemeluk agama termasuk
kepada kaum Hindu yang mayoritas. Bahkan tak jarang dari ke dua belah
pihak membangun ikatan pernikahan, sehingga antar komunitas secara
historis hakekatnya memiliki hubungan genealogis. Dapat dipahami pula
jika percakapan sehari-hari bahasa yang mereka gunakan –terutama
terhadap komunitas luar– adalah bahasa Bali dan atau bahasa Indonesia.
Sebab, kebanyakan masyarakat Bugis daerah tersebut memang lahir, besar,
bahkan banyak yang memiliki garis ibu dari kaum Hindu Bali lokal.
Hanya ketika berinteraksi dengan sesama masyarakat yang memiliki darah
Bugis, mereka menggunakan bahasa Bugis. Bentuk rumah masyarakat Bugis di
desa Serangan dahulunya juga memapakai gaya rumah adat Bugis yaitu
rumah panggung yang terbuat dari kayu. Namun, seiring waktu masyarakat
mulai meninggalkan dan membangun rumah biasa seperti rumah-rumah
masyarakat desa pada umumnya yang terbuat dari bata dan semen. Komunitas
muslim Serangan kini banyak yang urbanisasi ke Denpasar baik untuk
membuka usaha atau bekerja. Namun, tetap saja mereka mempunyai rumah di
desa Serangan, karena bagi mereka kampung Bugis di desa Serangan adalah
tempat asal-usul mereka, bukan Sulawesi.
Sementara itu, sejarah keberadaan Muslim di Angantiga dimulai dari
seorang Muslim kaya di pulau Serangan yang bernama Brahima. Dia
mempunyai anak gadis yang sangat cantik, sehingga Raja Mengwi yang kala
itu menguasai Serangan pun tertarik untuk mempersuntingnya. Namun
Brahima tidak bersedia memenuhi permintaan raja. Brahima memilih
melarikan diri dan mengasingkan anak gadisnya ke Angantiga. Anak gadis
dengan orang tuanya diantar oleh tiga pendekar yaitu Haji Jamaluddin,
Daeng Mapilih, dan Daeng Mangeneng. Sejak itu untuk pertama kalinya
orang Islam masuk ke Angantiga.
Dari sejarah komunitas Muslim di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar
(yang semula satu wilayah dengan Badung) tadi, semua tampak memiliki
hubungan historis kultural secara erat dengan kerajaan Badung.
Artinya, dalam konteks sejarah kerajaan Badung, ternyata ada dua
komunitas Islam yang . telah berjasa dan oleh karena itu punya hubungan
khusus dengan pihak kerajaan, yakni: Jawa (Sosroningrat dan pengikutnya)
dan Bugis (pasukan Bugis/Makasar sisa perang Makasar). Secara
historis komunitas muslim lama punya hubungan saling ketergantungan
(saling dukung) secara kokoh sebagaimana diuraikan pada awal tulisan,
terutama pada era konflik antar kerajaan Bali masa silam. Contoh,
hubungan erat antara Puri Pamecutan dengan kaum Muslim keturunan Bugis
dan Jawa di Badung dan Denpasar terkait erat dengan persoalan historis
ini, sebuah realitas sejarah yang hakekatnya tidak bisa dihapuskan oleh
siapapun dan oleh alasan apapun. Apalagi di era perang kemerdekaan pun
umat Islam juga aktif berperang bersama umat Hindu mengusir penjajah.
Singkat kata, dalam berbagai sendi kehidupan sosial, kaum Muslim – Hindu
era lama memang berbagi suka dan duka, tetapi dalam identitas kehidupan
beragama mereka cukup saling menghargai dan tak pernah mencampur adukan
akidah.
Memang, perlu dicatat bahwa terutama sejak 1970an seiring dengan
”ditetapkannya” Bali sebagai wilayah Wisata andalan, gelombang
imigrasi terutama ke Badung – Denpasar menjadi sangat luar biasa besar.
Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Jawa dan Muslim, maka
menjadi dengan sendirinya para pendatang baru di kedua wilayah itu
mayoritasnya adalah Jawa dan Muslim. Realitas inilah yang menyebabkan
pertumbuhan penduduk terutama di Badung dan Denpasar, yang beretnis
Jawa dan bergama Islam menjadi sangat significan.
Logika itu sangat masuk akal, sebab perkembangan penduduk terbesar
biasanya terutama terjadi di wilayah-wilayah simpul transportasi. Jika
melalui pintu udara, maka Denpasar dan atau Badung (melalui bandara
Ngurah Rai) memang merupakan pintu gerbang, sehingga di dua wilayah itu
pendatang Jawa Muslim juga dapat dikatakan berkembang sangat cepat.
Komunitas muslim kini tidak lagi eksklusif di wilayah tradicional
seperti Kepaon, Serangan, Angantiga, tetapi telah ada di berbagai
tempat seperti Nusa Dua, Tanjung Benoa, Tuban, , Suwung, Kampung
Jawa, Kuta, serta menyebar di berbagai tempat lain dengan mengontrak di
berbagai tempat. Bahkan, banyak nara sumber menyebut di Denpasar jumlah
Muslim dalam realitasnya (baca: bukan hanya yang ver KTP Bali) bisa
melampaui angka 50 persen dari total penduduk. Benarkah demikian ?
Wallahu a’lam. ***
DHURORUDIN MASHAD
___________________________
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/11/15/jejak-kampung-islam-serangan-angantiga-tuban-dan-suwung-di-denpasar-bali-tulisan-17/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar