Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 35. Mengenal Kampung Muslim Serangan, Angantiga, Tuban dan Suwung di Denpasar Bali

___________________________
oleh : Dhurorudin Mashad


Pagi-pagi sekali Pak Luqman telah stand by,  siap  mengantar saya dkk. melakukan kunjungan lanjutan ke sebagian kampung Islam era lama di Bali.  Wajahnya sumringah,  menjadi pertanda bahwa dia cukup bahagia mendampingi kami. ”Saya biasa mengantar tamu pak.  Tapi yang memiliki tujuan khusus untuk silaturrahim ke komunitas muslim Bali,  ya baru kali ini”. Saya hanya tersenyum menanggapi ucapan pak Luqman ini.  Sepintas kulihat teman-teman lain juga tersenyum menyikapi pernyataan pak Luqman tadi.
Jika di hari sebelumnya Kepaon menjadi sasaran,  kali ini ganti kampung Islam Serangan, Angantiga, Tuban dan Suwung menjadi tujuan kunjungan.  Ada persamaan dan perbedaan antara Kepaon dengan empat lokasi yang hendak dikunjungi.  Persamaannya: semua kampung muslim tadi  secara historis kultural sama-sama memiliki hubungan erat dengan Puri Pamecutan dan atau Kerajaan Badung.
Lantas apa perbedaannya? Pertama,  cikal bakal komunitas Islam Kepaon berasal dari Jawa-Madura,  sedangkan asal usul kampung Islam Serangan, Angantiga, Tuban, dan Suwung,   komunitas pembentuknya terutama dari Bugis – Makasar,  Sulawesi Selatan.  Kedua, dalam konteks kekinian, Serangan, Tuban, Suwung, dan Angantiga secara administratif masuk dalam wilayah Denpasar,  bukan lagi kabupaten Badung.  Maklum,  sejak ditetapkannya Denpasar sebagai ibukota propinsi,  wilayah itu secara administratif akhirnya lepas dari kabupaten Badung. Dengan demikian,  berarti penelusuran  saya kali ini  beredar di sekitar Kota Denpasar bukan Kabupaten Badung lagi.
Pada tulisan sebelumnya telah saya uraikan bahwa pemukiman orang-orang Islam Kepaon Badung berkembang dengan pesat diperkirakan sekitar tahun 1891, yakni setelah jatuhnya kerajaan Mengwi ke tangan Kerajaan Badung. Waktu itu pasukan Kerajaan Badung dibantu Raden Sosroningrat, seorang muslim yang akhirnya dikawinkan dengan putri Raja Pemecutan.  Adapun,  untuk komunitas Muslim terutama wilayah Angantiga dan Serangan di Kota Denpasar  ternyata justru berkembang lebih awal,  yakni sebagian berhubungan dengan jatuhnya kerajaan Gowa tahun 1669 oleh kolonial Belanda,  bahkan sebagian lain lebih lama lagi karena aktivitas perdagangan.
Perlu dicatat bahwa hanya setelah Belanda melakukan persekongkolan dengan beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan (termasuk Arung Palakka),  Belanda berhasil menaklukkan Gowa. Akibatnya,  Sultan Hasanuddin menerima perjanjian Bongaya, 18 November 1667, yang salah satunya (pasal 11) berisi: . benteng Ujung Pandang bersama perkampungan di lingkungannya diserahkan kepada Belanda.  Di Benteng Ujung Pandang alias Fort Rotterdam inilah  bermula cengkeraman konolinalisme Belanda di Sulawesi dimulai. Ia menjadi pusat pemerintahan,  pertahanan,  bahkan sekaligus pusat kantor perdagangan. Dengan kata lain ia lantas menjadi pusat kota.  Oleh karena itu benteng ini disebut pula Towaya, yang dalam bahasa Makasar berarti kota lama/tua.
Penaklukkan Belanda atas Sulawesi Selatan ini rupanya tidak bisa diterima oleh sebagian rakyat Bugis-Makasar.  Menyusul kekalahan Gowa oleh Belanda tadi, banyak pelaut dan atau lasykar asal Bugis Makasar yang menyingkir keluar daerahnya, diantaranya ke Serangan,  Tuban, Suwung, melalui Lombok dan Sumbawa.  Namun demikian,  beberapa sumber asing menyebutkan bahwa mereka langsung merapat di beberapa pantai di Bali Selatan seperti Tuban, Suwung, dan Serangan, bahkan ada juga  di Kuta yang kala itu memang sudah beberapa penduduk muslim karena aktivitas perdagangan dan atau pelayaran.
Sebagaimana kampung Muslim Kepaon,  komunitas Islam Bugis-Makasar terutama di Angantiga dan Serangan secara historis-kultural ternyata  juga punya hubungan erat dengan Puri Pemecutan. Bahkan, wilayah pemukiman mereka merupakan hadiah dari raja atas jasa-jasa mereka terhadap kerajaan Badung. Pendirian masjid Kalimanjing Tubang, Suwung,  dan Serangan serta  Tanjung Benoa kala itu juga mendapat bantuan bahan, dana, disamping tempat dari raja Pemecutan (Remmy Silado, Mengintip Sudut Islam Bali Tempo Dulu,  Rabu, 2008 Januari 23). Bahkan,  terkait realitas kelampauan ini pula, komunitas-komunitas muslim ini juga telah melakukan kawin mawin dengan penduduk Hindu lokal,  sehingga secara genealogis kini sulit (bahkan mustahil) ditemukan ada warga lama di kampung–kampung itu yang murni alias asli beretnis Bugis-Makasar.  Oleh karena itu,  sangat dipahami jika masyarakat Hindu – dan Muslim di kampung-kampung itu bergaul akrab, seolah tak ada beda antar mereka. Kondisi ini sudah berlangsung sejak lama, dan dapat dikatakan sebagai embrio integrasi sosial dalam konteks kekinian.
 
Masjid Nurul Huda Tuban Denpasar Bali

Apa dan bagaimanakah sejarah pasti dari eksistensi komunitas Islam Serangan ? Pulau Serangan adalah sebuah desa yang terdapat di Bali, desa Serangan merupakan desa pantai, penduduk disana mayoritas bermata-pencaharian sebagai nelayan baik itu dengan menangkap ikan atau juga dengan mengembangkan dan memanfaatkan lautnya melalui budi daya rumput laut. Selain sebagai desa nelayan juga merupakan salah satu tempat berwisata baik wisata bahari, juga sebagai tempat olah-raga. Komunitas Serangan pertama sekali berasal dari para pedagang dan pelayar Bugis yang telah datang jauh sebelum Serangan menjadi bagian wilayah Badung. Wilayah itu masih dikuasi kerajaan Mengwi. Konon  orang pertama yang datang ke pulau Serangan adalah H.Mukmin yang di era Belanda menentang keberadaan Belanda di Sulawesi Selatan lantas memilih mengungsi ke Bali, tepatnya di pulau Serangan. H. Mukmin kemudian diikuti oleh beberapa kerabat lainnya asal Sulawesi Selatan. Ketika Raja Badung perang melawan Mengwi, raja Badung meminta bantuan masyarakat muslim Bugis-Makasar. Walhasil,  ketika peperangan dimenangkan Badung, kerajaan lantas secara resmi menghadiahkan wilayah Serangan –yang semula dikuasai Mengwi– untuk menjadi tempat bermukim permanen bagi masyarakat Bugis yang telah berjasa itu.  Sejarah yang hampir sama terjadi dalam konteks perkampungan Islam Suwung dan Tuban,  serta Angantiga yang semuanya diberikan secara permanen sebagai hadiah atas dukungan umat Islam kepada kerajaan Badung. (Remmy Silado, Mengintip Sudut Islam Bali Tempo Dulu,  Rabu, 2008 Januari 23)
Jumlah masyarakat Bugis di kampung Serangan (tahun 2009) sekitar 80 KK atau sekitar tiga ratus jiwa.  Semua komunitas masih merupakan kerabat atau masih satu keturunan dari H. Mukmin (Remmy Silado, Serangan Island, Rabu, 2008 Januari 23). Pulau Serangan merupakan desa pantai, dimana penduduk mayoritas bermata-pencaharian nelayan dengan menangkap ikan atau mengembangkan budi daya rumput laut. Desa Pulau Serangan, Denpasar, Bali memiliki kebudayaan yang dinamis,  karena kini dihuni oleh orang-orang dari berbagi suku bangsa.
Masyarakat Bugis tentu sebagai penduduk dominan di daerah tersebut. Orang Bugis terkenal dengan armada kelautannya, disamping terkenal juga dengan sifat merantaunya. Disamping untuk menyebarkan rempah-rempah dari Sulawesi, penggunaan armada kelautan masyarakat Bugis juga bertujuan untuk menyebarkan Islam. Hal ini dapat pula dilihat di desa Serangan, dengan berdirinya sebuah masjid sebagai rumah ibadah masyarakat Bugis. Di desa Serangan inilah masjid tertua yaitu masjid Syuhada’ yang diperkirakan berdiri pertama kali untuk wilayah Denpasar. Di desa Serangan juga terdapat Al-Qur’an kuno tulisan tangan dan berbahan kulit kayu, yang diperkirakan ada sekitar abad ke-17. Al Quran yang diyakini tertua di Bali ini tetap dirawat dan dibaca menjelang berbuka puasa di bulan Ramadlan. Menurut tokoh warga setempat, Marzuki, Al Quran itu warisan dari kakeknya bernama Haji Alwi salah seorang dari orang pertama di kampung itu yang berasal dari Bugis, Makassar.
Dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitarnya komunitas muslim Serangan memiliki hubungan yang erat  serta sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan dan toleransi antar pemeluk agama termasuk kepada kaum Hindu yang mayoritas.  Bahkan tak jarang dari ke dua belah pihak membangun ikatan pernikahan,  sehingga antar komunitas secara historis hakekatnya memiliki hubungan genealogis.  Dapat dipahami pula jika percakapan sehari-hari bahasa yang mereka gunakan –terutama terhadap komunitas luar– adalah bahasa  Bali dan atau bahasa Indonesia. Sebab, kebanyakan masyarakat Bugis daerah tersebut memang lahir, besar,  bahkan banyak yang memiliki garis ibu dari kaum Hindu Bali lokal.   Hanya ketika berinteraksi dengan sesama masyarakat yang memiliki darah Bugis, mereka menggunakan bahasa Bugis. Bentuk rumah masyarakat Bugis di desa Serangan dahulunya juga memapakai gaya rumah adat Bugis yaitu rumah panggung yang terbuat dari kayu. Namun,  seiring waktu masyarakat mulai meninggalkan dan membangun rumah biasa seperti rumah-rumah masyarakat desa pada umumnya yang terbuat dari bata dan semen. Komunitas muslim Serangan kini banyak yang urbanisasi ke Denpasar baik untuk membuka usaha atau bekerja. Namun, tetap saja mereka mempunyai rumah di desa Serangan, karena bagi mereka kampung Bugis di desa Serangan adalah tempat asal-usul  mereka, bukan Sulawesi.
Sementara itu,  sejarah keberadaan Muslim di Angantiga dimulai dari seorang Muslim kaya di pulau Serangan yang bernama Brahima. Dia mempunyai anak gadis yang sangat cantik,  sehingga Raja Mengwi yang kala itu menguasai Serangan pun tertarik untuk mempersuntingnya.  Namun Brahima tidak bersedia memenuhi permintaan raja. Brahima memilih melarikan diri dan mengasingkan anak gadisnya ke Angantiga. Anak gadis dengan orang tuanya diantar oleh tiga pendekar yaitu Haji Jamaluddin, Daeng Mapilih, dan Daeng Mangeneng. Sejak itu untuk pertama kalinya orang Islam masuk ke Angantiga.
Dari sejarah komunitas Muslim di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar (yang semula satu wilayah dengan Badung)  tadi,  semua tampak memiliki hubungan historis kultural secara erat dengan kerajaan Badung.   Artinya,  dalam konteks sejarah kerajaan Badung,  ternyata ada dua komunitas Islam yang . telah berjasa dan oleh karena itu punya hubungan khusus dengan pihak kerajaan, yakni: Jawa (Sosroningrat dan pengikutnya) dan Bugis (pasukan Bugis/Makasar sisa perang Makasar).   Secara historis komunitas muslim lama punya hubungan saling ketergantungan (saling dukung) secara kokoh  sebagaimana diuraikan pada awal tulisan,  terutama pada era konflik antar  kerajaan Bali masa silam.  Contoh,  hubungan erat antara Puri Pamecutan dengan kaum Muslim keturunan Bugis dan Jawa di Badung dan Denpasar terkait erat dengan persoalan historis ini,  sebuah realitas sejarah yang hakekatnya tidak bisa dihapuskan oleh siapapun dan oleh alasan apapun. Apalagi di era perang kemerdekaan pun umat Islam juga aktif berperang bersama umat Hindu mengusir penjajah. Singkat kata, dalam berbagai sendi kehidupan sosial, kaum Muslim – Hindu era lama memang berbagi suka dan duka, tetapi dalam identitas kehidupan beragama mereka cukup saling menghargai dan tak pernah mencampur adukan akidah.
Memang,  perlu dicatat bahwa terutama sejak 1970an seiring dengan ”ditetapkannya”  Bali sebagai wilayah Wisata andalan,  gelombang imigrasi terutama ke Badung – Denpasar menjadi sangat luar biasa besar.  Karena mayoritas penduduk Indonesia adalah Jawa dan Muslim,  maka  menjadi dengan sendirinya para pendatang baru  di kedua wilayah itu mayoritasnya adalah Jawa dan Muslim. Realitas inilah yang menyebabkan pertumbuhan penduduk terutama di Badung dan Denpasar,  yang beretnis Jawa dan bergama Islam menjadi sangat significan.
Logika itu sangat masuk akal,  sebab perkembangan penduduk terbesar biasanya terutama terjadi di wilayah-wilayah simpul transportasi. Jika melalui pintu udara, maka Denpasar dan atau Badung (melalui bandara Ngurah Rai) memang merupakan pintu gerbang,  sehingga di dua wilayah itu pendatang Jawa Muslim juga dapat dikatakan berkembang sangat cepat.
Komunitas muslim kini tidak lagi eksklusif di wilayah tradicional seperti Kepaon, Serangan,  Angantiga, tetapi telah ada di berbagai tempat seperti Nusa Dua, Tanjung Benoa, Tuban, ,  Suwung,   Kampung Jawa,  Kuta, serta menyebar di berbagai tempat lain dengan mengontrak di berbagai tempat. Bahkan, banyak nara sumber menyebut di Denpasar jumlah Muslim dalam realitasnya  (baca: bukan hanya yang ver KTP Bali) bisa melampaui angka 50 persen dari total penduduk. Benarkah demikian ? Wallahu a’lam. ***
DHURORUDIN MASHAD

___________________________
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/11/15/jejak-kampung-islam-serangan-angantiga-tuban-dan-suwung-di-denpasar-bali-tulisan-17/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar