Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 39. Mengenal Beberapa Kampung Muslim di Kab. Gianyar Bali

______________________
Oleh : Dhurorudin Mashad


Kampung Islam Keramas: Sebuah Komunitas Muslim Era Lama di Kabupaten Gianyar

Hari masih pagi.  Matahari baru saja terbit. Pendaran sinar sang surya menampilkan panorama yang sungguh mempesona. Ku tatap semburat merah di ufuk timur,  sebagai biasan dari sang surya yang baru bangun tidur.  Pohon-pohon masih mengkerut kedinginan. Embun masih menempel di dedaunan. Kulihat burung-burung  berlompatan dari dahan ke dahan,  menyambut pagi dengan hati riang.  Kalbu saya pun bernyanyi riang.  Demikian juga teman-temanku seperjalanan,  wajah mereka memancarkan suasana hati yang lagi diwarnai  keindahan pagi.
Saya bernyanyi-nyanyi kecil sepanjang perjalanan menuju Gianyar. Baru kali ini saya akan menapaki kota ini,  meski telah seringkali saya mendengar keindahan wilayah ini. Ubud misalnya, sepengetahuanku konon identik dengan sentra  keindahan akan alamnya dan keelokan akan karya-karya seninya. Benarkah ? Wallahu a’lam,  sebab saya memang baru menuju ke arah kota ini.
Konon,  kota Gianyar telah berdiri sejak dua seperempat abad lalu,  atau tepatnya 19 April 1771.  Sejarah kota ini tercatat sejak Gianyar dipilih menjadi nama sebuah keraton, Puri Agung yaitu Istana Raja (Anak Agung) oleh Ida Dewa Manggis Sakti.  Sejak itulah lahir sebuah kerajaan yang berdaulat dan otonom yang ikut serta dalam percaturan kekuasaan kerajaan-kerajaan di Bali.
Namun,  jika ditelusuri lebih dalam,  sejarah dari perkembangan wilayah ini jauh lebih tua dibanding tahun 19771.  Perlu dicatat bahwa setelah ekspedisi Gajah Mada (Majapahit) berhasil menguasai Bali, maka di bekas pusat markas laskarnya didirikan sebuah Keraton Samprangan sebagai pusat pemerintahan kerajaan yang dipegang oleh Raja Adipati Ida Dalem Krena Kepakisan (1350-1380), sebagai cikal bakal dari dinasti Kresna Kepakisan. Samprangan ini konon berada di wilayah yang sekarang termasuk Gianyar ini. Di era Ida Dalem Ketut Ngulesir (1380-1460),  pusat kerajaan vassal Mojopahit ini  barulah dipindah ke Gelgel (kini masuk wilayah Klungkung),  dan terus berlanjut di era  Ida Dalem Waturenggong (1460-1550), Ida Dalem Sagening (1580-1625), dan  Ida Dalem Dimade (1625-1651).
Dua Raja Bali yang terakhir yaitu Ida Dalem Segening dan Ida Dalem Dimade telah menurunkan cikal bakal penguasa di daerah-daerah. Ida Dewa Manggis Kuning (1600-an) penguasa di Desa Beng adalah cikal bakal Dinasti Manggis yang muncul setelah generasi II membangun Kerajaan Payangan (1735-1843). Salah seorang putra raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe yang bernama Ida Dewa Agung Anom muncul sebagai cikal bakal dinasti raja-raja di Sukawati (1711-1771) termasuk Peliatan dan Ubud. Pada periode yang  sama yaitu periode Gelgel muncul pula penguasa-penguasa daerah lainnya yaitu I Gusti Ngurah Jelantik menguasai Blahbatuh dan kemudian I Gusti Agung Maruti menguasai daerah Keramas yang keduanya adalah keturunan Arya Kepakisan.
Melalui proses dinamis selama beberapa decade dalam pergumulan antar elit-elit  tradisional, salah seorang diantaranya sebagai pembangunan kota kerajaan yang disebut Gianyar. Dialah Ida dewa Manggis Sakti (generasi IV dari Ida Dewa Manggis Kuning). Peristiwa ini terjadi pada 19 April  1771.
Nah,  lantas apa dan bagaimana  komunitas Islam era lama di Gianyar ?  serta adakah hubungan erat antara kampung lama komunitas Islam dengan puri Gianyar,  seperti terjadi di wilayah lain di Bali ? Saya dan kawan-kawan berusaha menelusuri persoalan ini.  Berbeda dengan kompung-kampung Islam era lama di berbagai wilayah lain di Bali yang kebanyakan memiliki hubungan erat dengan puri agung,  ternyata dalam konteks Gianyar saya tidak mendapatkan datanya.  Memang,  saya dkk  mendapatkan satu kampung lama komunitas Islam, yakni kampung Islam keramas.  Juga, memang saya mendapatkan bahwa kampung Keramas memiliki hubungan erat dengan puri,  tetapi ternyata yang disebut puri dalam konteks ini bukan puri Agung,  tetapi  puri Keramas.
Puri adalah nama sebutan tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih merupakan keluarga dekat raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau kasta, puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria. Sedangkan untuk tempat kaum Brahmana biasa disebut dengan Griya.
Perlu diingat bahwa setelah Kerajaan Gelgel mulai terpecah pada pertengahan abad ke-18, terdapat beberapa kerajaan, yaitu Badung (termasuk Denpasar), Mengwi, Tabanan, Gianyar, Karangasem, Klungkung, Buleleng, Bangli dan Jembrana.  Di era Indonesia sekarang ini  dari berbagai kerajaan tadi  yang tidak memiliki kabupaten hanyalah Mengwi saja,  yang sekarang sebagian besar menjadi wilayah kabupaten Badung dan Tabanan.
Puri-puri di Bali dipimpin seorang keturunan raja, yang umumnya dipilih oleh lembaga kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk.  Para keturunan raja/ wangsa kesatriya tersebut  bisa dikenali dari gelar pada nama mereka, seperti: Ida Bagus,  I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah, Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain.
Dalam kasus Gianyar ini,  setelah saya telusuri  ternyata terdapat beberapa nama puri antara lain: Puri Agung Payangan, Puri Gianyar, Puri Agung Ubud (Puri Saren), Puri Agung Peliatan,  Puri Keramas, Puri Medahan, Puri Agung Sukawati, Puri Agung Singapadu , Puri Agung Tegal Tamu, Puri Agung Negara, Puri Kaleran Negara, Puri Agung Lebih, Puri Kedisan Tegallalang, Puri Pejeng, Puri Ageng Blahbatuh, Puri Agung Blahbatuh (Kaleran), Puri Agung Blahbatuh (Kelodan),  Jero Karang Kasap (“http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Puri_di_Bali&oldid= 5191 805).
Nah,  dari sekian puri tadi,  yang memiliki hubungan erat dengan kampung muslim Keramas adalah  Puri Keramas. Dari sisi historis,  Kampung Islam Keramas ini keberadaaannya ternyata telah ada jauh sebelum kolonial Belanda bercokol di tanah Bali. Kampung Muslim Keramas bermula dari Raja Gusti Agung Keramas (Puri Keramas)  yang kala itu membutuhkan seorang pedanda untuk menjadi pemuka agama di wilayahnya.  Setelah melakukan serangkaian pencarian, raja akhirnya menemukan seorang resi yang dianggap  pas, yang kebetulan berasal dari Kampung Sindu di wilayah Karangasem. Sindu kala itu memang  menjadi sentra kaum Brahmana alias berisi kaum Griya,  sebutan sentra tokoh agama.
Resi dari Griya Sindu bersedia menerima tawaran Puri Keramas dengan syarat diperbolehkan mengajak serta beberapa rekan muslim  untuk menemani  tinggal di Keramas.  Persyaratan diterima,  sehingga sang resi mengajak enam orang Muslim  Sindu menuju Keramas.  Nah,  di Lokasi inilah, kepada kaum muslim lantas diberikan tanah untuk sawah,  kebun,  serta untuk tempat ibadah, pemukiman, dan pemakaman.
Tujuan utama sang resi mengajak serta beberapa orang Muslim adalah untuk menjadikan mereka sebagai pengawal atau pelindung di tempat barunya.  Oleh karena itu,  sangat dipahami jika keenam muslim tersebut tentu orang-orang pilihan,  keturunan kaum bertuah yang dibawa raja Karangasem dari Lombok setelah penaklukan atas wilayah itu.   Dari 6 pria sakti asal  Sindu (yang akhirnya mengawini wanita hindu lokal) inilah akhirnya beranak pinak membentuk komunitas muslim Keramas hingga saat ini. Di tahun 1963 ketika gunung Agung meletus,  beberapa keluarga dari Kampung Sindu di Karangasem mengungsi ke tempat ini.  Sebab,  mereka memiliki jalinan kekeluargaan dengan komunitas muslim Keramas.  Kedatangan kaum Muslim dari Sindu Karangasem “periode Indonesia”  ini akhirnya ikut mewarnai  komunitas Muslim lama di Keramas.
Dahulu Ketika terjadi konflik-konflik di tingkat lokal,  komunitas muslim Keramas konon menjadi satu kekuatan terpenting dalam membela puri. Kaum Muslim Keramas asal usulnya memang dari warga kampung  Sindu    –  Karangasem yakni keturunan warga Lombok yang dikenal sebagai komunitas yang memiliki tuah. “Mitos kesaktian itu bahkan berlanjut hingga sekarang, sehingga  komunitas Kampung Keramas hingga kini masih diperhitungkan karena kemampuan pencak silatnya”,  jelas Syamsuddin tokoh Keramas yang berhasil saya dkk.  jumpai di masjid Keramas.
Karena sejarahnya yang khas inilah,  maka hubungan warga muslim Keramas dengan Puri Keramas hingga kini tertap terjalin dengan cukup baik. Setiap  ada acara di Puri Keramas,  kaum Muslim Keramas  selalu dilibatkan. Bila mengundang kaum Muslim,  Puri tak hanya mengundang secara lisan atau tulisan,  tetapi sekaligus menyertakan bahan makan mentah agar diolah sendiri oleh kaum Muslim.  Hasil masakan ini dibawa dalam acara Puri sebagai santapan kaum muslim selama acara. Secara bergenerasi, Puri memang sangat memahami bahwa orang Islam tidak makan babi dan tidak memakai alat apapun yang tersentuh zat babi.  Oleh karena itu bahan dan proses pemasakan termasuk alat masaknya diserahkan sepenuhnya kepada umat Islam.
Realitas perbedaan ini secara ratusan tahun ternyata tak menjadi ganjalan dalam prosesi acara di Puri apalagi dalam hubungan kehidupan sehari-hari Muslim-Hindu.  Sebab umat Islam Keramas dalam kegiatan Puri  turut membantu dan membaur dalam warga Hindu,  misalnya ketika membuat anyaman atau janur. “Bahkan,  berpijak pada sejarah itu pula,  maka eksistensi kampung Keramas  sampai kini dianggap sebagai kampung khusus dan tidak tersentuh oleh ketentuan adat alias Banjar.   Kaum Keramas sejak dahulu hingga kini memiliki kebebasan dalam mengekpresikan kehidupan keberagamaan. Ketika puasa Ramadan misalnya, warga bebas memukul beduk tanda sahur,  dan tak ada teguran dari masyarakat banjar sekitar.  Hal ini sangat sulit dilakukakan oleh muslim di lokasi lain,  terutama di kabupaten  Gianyar”, jelas Kholid Mawardi tokoh Keramas lain yang juga berhasil saya temui.
Kampung Keramas   jumlah penduduk muslimnya hanya 50 jiwa (tahun 2010). Sebagian warganya ada yang pindah ke lokasi lain,  baik karena alasan menikah maupun karena bekerja.  “Saya juga berasal dari kampung keramas,  tetapi setelah kawin diajak suami tinggal di sini”,  kata seorang wanita,  ibu dari pak Luqman hakim yang berhasil juga saya jumpai di rumahnya, di Gianyar kota.  Sementara itu,  untuk lokasi kampung Keramas sendiri,  mungkin dapat saya katakan terhitung steril dari pendatang muslim,  mengingat sangat sedikitnya pendatang muslim yang ikut bergabung tinggal di lokasi ini.  Kalaupun ada pendatang,  maksimal disebabkan oleh adanya jalur perkawinan.  Singkat kata,  komunitas muslim kampung keramas tampaknya lebih banyak menjalin hubungan dengan komunitas hindu di sekitarnya dibanding kontak sosial dengan komunitas Islam di tempat-tempat lain yang memang lebih jauh jaraknya.
Mungkin karena interaksi kurang optimal terhadap komuntas muslim lain di Gianyar menyebabkan warga Kampung keramas mengalami dua hal: “Pertama,  secara ekonomi lambat berkembang, bahkan dapat  dikatakan sebagai kampung tertinggal.  Kedua,  pembinaan keagamaan terhadap masyarakatnya juga kurang”.   Jika saya perhatikan Kampung keramas secara fisik  memang didominasi oleh pemukiman sangat sederhana.  Oleh karena itu,  bahwa kampung Keramas disebut sebagai kampung miskin oleh kebanyakan warga Islam yang saya wawancarai di banyak tempat tidaklah terlalu keliru.  Bahkan,  “image” ini diakui juga oleh tiga sesepuh kampung Keramas sendiri yang berhasil saya temui.  Bahkan mereka mengakui pula bahwa realitas itu berimplikasi pula pada ghirah keagamaan.  “Ketika hari Jum’at misalnya,  dari 50 warga muslim yang ikut jumatan maksimal hanya dua shaf  (barisan)”, kata Syamsuddin yang diamini Khalid Mawardi.
Setelah menyempatkan shalat dluhur di masjid Keramas yang tergolong sederhana,  pak Hasan segera mengantar kami mencari rumah makan untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Quo vadis kampung Keramas ?***


Masjid Agung Gianyar Bali

Setelah seharian menelusuri Kampung Islam Keramas, dua hari berikutnya secara berturut-turut saya mengunjungi beberapa kampung Islam yang keberadaannya terhitung lebih muda, seperti: Kampung Semebaung, Kampuing Jawa/Pas Dalam,  Samplangan, dan komunitas muslim di wilayah Ubud. “Komunitas muslim ini relatif lebih baru, dan  datang secara bergelombang  terjadi sejak awal kemerdekaan. Sebagian kecil datang karena tugas,  baik sebagai PNS, polisi atau tentara”,  kata  Khalid Mawardi, seorang tokoh kampung Kramas,  “Tetapi kebanyakan bahkan lebih dari 95 persen datang sendiri dan menjadi pekerja sector informal,  terutama berdagang.  Mayoritas pedagang makanan kelas kaki lima”.  Penjelasan Khalid Mawardi ini akhirnya memang saya  buktikan. Ketika mencari makan malam misalnya,   saya  tidak terlalu sulit  menemukan warung makan khas kaki lima yang terjamin kehalalannya, baik di lokasi pasar senggol atau  di lokasi lainnya.
Hari masih pagi.  Kulihat anak-anak dengan baju seragam lalu lalang berangkat menuju sekolah.  Begitu juga,  banyak pria-wanita paruh baya dengan berseragam pula bersliweran berangkat menuju tempat kerja.  Saya dkk santap pagi di warung pak Lukman,  warga Gianyar  keturunan Pakistan tetapi ibu asli kampung Keramas.  Selama di Gianyar saya  memang sering makan di tempat ini.  Maklum,  lokasinya tidak jauh dari penginapan, plus menunya dijamin halal alias tak meragukan.   Letak warung dan atau rumah pak Luqman tepat di samping alun-alun kota,  dengan karakteristik bangunan yang tergolong era lama. “Komplek bangunan ini usianya sudah lebih 100 tahun pak,  peninggalan kakek saya”, kata pak Luqman menjelaskan.
Keluarga pak Luqman –meski leluhurnya asli Pakistan—memang tergolong pelopor untuk penghuni di wilayah yang sekarang menjadi  pusat kota ini.  Oleh karena itu banyak sekali informasi yang dapat digali dari pak Luqman terkait tentang apa dan bagaimana komunitas Islam di Gianyar. Bahkan,  akhirnya saya sempat pula mampir ke rumah orang tua pak Lukman untuk mendapat informasi lebih dalam tentang Islam dan Muslim Gianyar. Dari jalur lelaki,  orang tua pak Luqman beretnis Pakistan,  tetapi dari jalur ibu asli warga lokal kampung Keramas.
Selepas sarapan,  saya  meluncur ke komunitas Muslim di Kampung Jawa.  Kampung ini lebih dikenal dengan sebutan Desa Pas Dalam.  Komunitas ini konon berkembang seiring dengan didirikannya Yayasan Nurul Hikmah di tahun 1987.  Sebelum yayasan didirikan sebenarnya sudah ada  beberapa keluarga Muslim yang tinggal di sekitar lokasi.  Mereka lah yang lantas berinisiatif mendirikan yayasan,  dengan maksud untuk membangun dan atau mempertahankan identitas Islam di tengah kehidupan masyarakat yang sangat kental dengan kultur Hindunya.
Keluarga Muslim yang jumlahnya hanya beberapa itu bersepakat mencari dana dengan menyebar sekitar 6000 proposal kepada umat Islam di seluruh Bali. Hasil sumbangan yang masuk  lantas dibelikan tanah di tengah-tengah sawah.  Mereka membangun kesepakatan dengan warga Hindu pemiliki sawah untuk membuat jalan umum membentang di persawahan.  “Dengan jalan umum yang membelah sawah, harga tanah diproyeksikan akan meningkat. Prediksi ini terbukti,  pelan tapi pasti banyak orang berdatangan membeli lokasi ini.  Pelan tapi pasti pula,  persawahan ini akhirnya berubah menjadi perkampungan.  Lokasi ini (tahun 2010) dihuni sekitar 80 KK. Mereka umumnya datang dari Jawa (Banyuwangi, Jember),  Sumatera, Lombok, dan Madura. Karena etnis Jawa sangat dominan,  maka wilayah ini  lebih dikenal sebagai Kampung Jawa”,  jelas Abdul Muhri Mulyono,  salah satu tokoh Kampung Jawa sekaligus Sektretasis Yayasan Nurul Hikmah.
Yayasan Nurul Hikmah bentukan warga kampung Jawa ini sangat besar pengaruhnya bagi pembinaan keagamaan umat Islam di sekitar kota Gianyar.  Yayasan ini memiliki Madarasah Diniah, Taman Pendidikan Al Qur’an,  bahkan juga pesantren malam.  Yayasan juga memiliki Majelis Taklim,  termasuk punya Rukun Suka Duka Amaliah yang secara umum menangani berbagai persoalan yang dihadapi komunitas Muslim, termasuk khususnya dalam soal kematian. “Kematian di Gianyar memang bukan masalah sederhana, tetapi sangat problematic terutama terkait dengan soal penguburan. Sebab, kuburan  Muslim di Beng sudah super padat,  sementara untuk membuka lokasi baru sulit diwujudkan,    karena terbentur alasan adat”,  kata pak Mulyono mengakhiri penjelasan. Setelah cukup banyak mendapat informasi seputar Desa Pas Dalam, dan setelah melihat-lihat  lingkungan lokasi yang dikenal pula sebagai kampung Jawa ini,   saya  bersegera mencari sasaran makan siang, karena jam makan sebenarnya telah jauh terlewatkan.
Menjelang sore  pak Hasan Bick sudah mengantar kami ke Semebaung, sentra komunitas muslim laindi kota Gianyar. Sejarah komunitas Muslim Semebaung  tampaknya lebih lama  dibanding kampung Jawa.  Kampung Semebaung secara administrative masuk wilayah Banjar Marga Sengkala. Komunitas ini mulai “dibangun“ sejak tahun 1960 an oleh sejumlah pendatang Muslim dari Jawa Timur (Banyuwangi).  Komunitas kecil ini membentuk kelompok pengajian di sebuah bengkel sepeda motor,  yang statusnya masih kontrak.  Kelompok  ini terus berkembang.  Walhasil,  “Di tahun 1976 umat Islam lantas mendirikan sebuah musholla  di sepetak tanah yang luasnya hanya 10 are.  Tanah itu dibeli dengan harga satu juta rupiah  dari dana hasil patungan”,  kata seorang tokoh sepuh “pendiri” kampung Semebaung.  Setelah lokasi itu berhasil didaftarkan sebagai tanah Wakaf di tahun 1989,  musholla lantas dikembangkan menjadi masjid Jami’ Semebaung,  dengan bantuan dana dari Jakarta (dan Arab Saudi).   “Bersama dibangunnya masjid Semebaung,  kami juga membentuk Yayasan As Syu’la”, kata H. Amru,   seorang pengusaha mebel keturunan Arab yang sejak tahun 2010 dipercaya menjadi pemimpin yayasan.
Sejak  berdirinya masjid Semebaung,   para keluarga Muslim yang semula terpencar di banyak lokasi,  akhirnya pelan tapi pasti mendekat ke kampung ini.  Masjid Semebaung ibarat magnit  bagi kaum Muslim sekitar untuk berdatangan menuju dan tinggal di tempat ini.   Alasan mereka tentu bukan karena semangat eksklusivisme,  melainkan dalam rangka untuk mendapatkan pembinaan keagamaan,  serta tersedianya fasilitas ibadah yang sangat mereka butuhkan untuk hidup keseharian.  Di tahun-tahun inilah (terutama sejak 1996) muslim Semebaung telah berubah menjadi sebuah komunitas dengan warna berbhinneka, sebab  etnis dan daerah penghuninya memang beraneka ragam asal usulnya. Di tahun 2010 diperkirakan komunitas muslim Semebaung sekitar 830 KK.  Namun,  dari seluruh warga muslim  itu hanya 30 % yang memiliki KTP,  sementara 70 persen hanya punya Kipem (Kartu Identitas Pendatang Musiman) ”,  tandas H. Amru.
Menurut berbagai informasi,  wilayah Gianyar merupakan kabupaten yang paling problematic untuk mendapatkan KTP.  KTP dimungkinkan terutama bagi mereka yang dapat menunjukkan kepemilikan rumah dan atau sertifikat tanah.  “Karena kebijakan ini bahkan banyak dari penduduk yang telah belasan tahun tinggal di Bali,  bahkan lahir dan besar di Gianyar,  hanya karena tak mempunyai tanah apalagi rumah,  akhirnya tak bisa mendapatkan KTP.  Malahan yang tadinya punya KTP,  ketika memperpanjang tidak lagi bisa didapatkan,  karena tidak memiliki persyaratan aneh tadi.  Ini terjadi terutama sejak era otonomi daerah.  Otonomi daerah dalam prakteknya tidak membawa kebaikan,  tetapi banyak menimbulkan kerusakan.  Akibatnya,  banyak dari kami yang notabene WNI,  namun tidak memiliki KTP sebagai identitas WNI”,  tambah H. Amru.  Informasi ini ternyata dibenarkan pula sumber alternatif  lain yang saya  dapatkan di lokasi-lokasi lain.
Selain di Kampung Jawa dan Semebaung,  komunitas Muslim di Gianyar terdapat pula di desa Samplangan. Komunitas ini benihnya sudah lama ada,  tetapi semula tersebar di berbagai tempat.  Mereka baru membentuk sebuah komunitas terutama seiring dengan berhasil didirikannya sentra Yayasan Pendidikan Anak Yatim (Yapenatim) di lokasi ini.   Yapenatim dibentuk tahun 1981 oleh sejumlah tokoh dari Departemen Agama dan Depdiknas seperti KH Munajat (Ketua MUI Gianyar), Mukhson Efendi, Abdurrohim, dan Ansori.  Namun,  aktivitas Yapenatim mulai optimal sejak 17 Agustus 1985,  ketika para pendiri yayasan secara terbatas mendata anak-anak miskin dan yatim untuk dibina.
Di awal kegiatan, yayasan menampung 17 anak  dengan lokasi pertamakali kontrak di desa Pas Dalem (kampung Jawa).  Dua tahun berikutnya, Yapenatim pindah ke Desa Ketewel, lantas pindah lagi ke Sukowati.  Di Sukowati inilah Yayasan memiliki lokasi sendiri,  dengan membangun sebuah rumah di sebuah tanah wakaf.  Namun,  warga Hindu sekitar Yayasan protes alias mengajukan keberatan terhadap yayasan Islam,  sehingga Yapenatim terpaksa pindah lokasi,   kontrak di  daerah Beng dekat pekuburan Muslim.  Namun, atas dukungan donatur  pada tahun yang sama (1987) Yapenatim membeli tanah di Desa Samplangan,  lantas didirikan lembaga pendidikan dan panti asuhan.  Hanya saja sampai sekarang,  jalan menuju lokasi ini statusnya masih sewa pada warga Hindu lokal,  sehingga sewaktu-waktu bila timbul konflik,  akses jalan  bisa ditutup kembali. Kekhawatiran ini beralasan, sebab  diawal pendirian Yapenatim dilokasi ini (tahun 1987) prosesnya juga tidak gampang,  bahkan sempat mengalami pengepungan. “Masalah bahkan sempat dibawa  ke level bupati.  Setelah melalui negosiasi dan penjelasan logika historis:  bahwa mereka hakekatnya sama-sama pendatang asal Jawa hanya saja beda periodenya,  bahwa mereka secara historis adalah bersaudara,  akhirnya dicapai kesepakatan untuk mengijinkan”,   kenang KH Munajad.  Salah satu cara yang ditempuh untuk merangkul komunitas Hindu, Yapenatim yang telah memiliki fasilitas pendidikan MI, MTsN, MA,  serta pesantren ini,  sengaja mengangkat  dua staf yayasan dari kalangan Hindu (satu lelaki satu perempuan).
Di Gianyar terdapat satu lagi lokasi komunitas muslim yang cukup unik yakni di wilayah wisata : Ubud.  Bahkan,  di tempat ini berdiri sebuah yayasan Islam bernama Yayasan Ubudiah.  Komunitas di lokasi ini dipelopori sejumlah pelukis muda muslim yang datang dan bermukim di Ubud sejak 1960-1970an.  Salah satu tokohnya yang berhasil saya temui adalah W. Hardja, seorang pelukis asal Surabaya yang menetap di Ubud sejak tahun 1969.     Kaum seniman muslim di Ubud ini  berkehendak mendirikan sebuah musholla.  “Alasannya : pertama, umat Islam memang memerlukan tempat ibadah untuk menjalankan kewajiban keagamaan di tengah realitas bahwa mereka adalah minoritas.  Kedua,  umat Islam mulai memikirkan masa depan pemahaman agama anak-anak mereka,  ketiga,  banyak wisatawan muslim yang datang ke Ubud menanyakan dan atau memerlukan tempat untuk beribadah”,  kata . W. Hardja yang kawin dengan wanita hindu lokal. Atas pertimbangan itulah lelaki yang  lebih dikenal dengan mbah Hardja ini lantas menjadikan mushola yang semula hanya untuk keluarga,  akhirnya difungsikan pula untuk  umum.  Bahkan,  karena dalam perkembangan waktu mushola tidak lagi mampu menampung jumlah jama’ah,  akhirnya dikembangkan menjadi masjid dengan “mengorbankan”  beberapa kamar yang sebelumnya dijadikan penginapan.
Tempat ibadah yang diberi nama masjid Ubudiah tersebut didirikan tahun 1991.  Dana pembangunan diperoleh dari lelang lukisan para pelukis muslim, termasuk W. Hardja.  Lelang diselenggarakan ICMI yang kala itu mengadakan pameran lukis hasil karya pelukis muslim se Indonesia.  Masjid yang berada di bawah naungan Yayasan Ubudiah,  kini telah dilengkapi dengan TPA sebagai sarana penanaman nilai keislaman di kalangan generasi muda Islam yang dalam konteks Bali sangat minoritas jumlahnya
Masjid Ubudiah ini sebenarnya tidak penuh mengantongi izin dari banjar, karena izin yang dimiliki hanya mendirikan TPA dan bukan tempat ibadah.  Langkah ini tentu bukan tanpa alasan,  karena jika ijin yang diajukan adalah tempat ibadah, hampir pasti akan mendapat tantangan. Karena statusnya inilah,  maka pasca peristiwa Bom Bali tahun 2002,  masjid Ubudiah sempata ditutup  paksa.  Sampai  kini perintah penutupan masjid secara formal  belum pernah dicabut.  Tetapi dalam realitas, masjid sudah mulai difungsikan kembali,  terutama dilakukan melalui komunikasi informal antar pemuda (Islam – Hindu) yang sejak kecil memang  telah berteman. Apalagi,  komunitas Islam di lokasi  ini hakekatnya memiliki jalinan genealogis dengan warga Hindu akibat terjadinya kawin mawin antara kedua komunitas. W. Hardja sendiri misalnya,  istrinya seorang mualaf,  sehingga secara genealogis anak keturunannya memiliki hubungan darah dengan keluarga besar pihak istri yang tak lain warga Hindu.
Tidak jauh dari lokasi Yayasan Ubudiah,  atau sekitar 12 km dari Ubud ke arah utara juga terdapat sebuah komunitas muslim di daerah Tegalalang. Meskipun jumlahnya sangat kecil,  tetapi  di tempat itu terdapat TPA  ( sekaligus  sebagai musholla) yang terutama beraktivitas di Sore hari. Hal yang unik dari TPA ini adalah : pertama, lokasi nya di tempat pencucian mobil milik orang Hindu. Warga Hindu pemilik pencucian merelakan sebagian tempatnya  dijadikan TPA, karena untuk memenuhi kebutuhan anak-anak karyawannya yang kebanyakan muslim. Kedua, pelanggan cuci umumnya tentu warga Hindu juga,  sehingga mereka setiap sore melihat aktivitas  pengajian di lokasi ini.
Kasus di Tegalalang ini menunjukkan manisnya sebuah toleransi,  sebuah realitas yang sayangnya tidak bisa dirasakan warga perumahan BTN Bega.  Padahal lokasi itu penghuninya para pegawai pengadilan agama sehingga mayoritas warganya adalah muslim.  Tetapi ketika mereka mendirikan mushola dan atau TPA untuk memenuhi kebutuhan rohani internal warga penghuninya,  mereka mendapat resistensi  dari warga Hindu di sekitarnya.
Langit kelabu. Hati saya juga kelabu mendengar informasi itu.  Langit turun gerimis.  Mata hatiku juga gerimis,  menangis, mendapat kabar tentang kasus  intoleransi di negeriku  tersayang ini.  Ya Tuhan,  taburkanlah sinar kasih Mu ke dalam hati semua saudara ku (se bangsa dan se negara ini)  agar  jantung hati mereka senantiasa menebarkan benih-benih kasih sayang pada sesama,  seperti dalam kasus toleransi di Tegalalang tadi. Amin. ***
 
DHURORUDIN MASHAD

-------------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/08/15/beberapa-kampung-islam-di-gianyar-dari-semebaung-sampai-pas-dalam-tulisan-12/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar