______________________
Oleh : Dhurorudin Mashad
Kampung Muslim Gelgel
Saya sungguh beruntung, karena di tahun 2011 ini berkesempatan
mengunjungi kampung Muslim Gelgel di Bali. Saya sebut beruntung,
karena kunjungan spesial ke kampung muslim Bali ini tentu sangat jarang
dilakukan oleh Muslim lain di Indonesia. Mereka umumnya datang ke pulau
dewata, paling-paling hanya untuk berpiknik atau maksimal untuk
keperluan konferensi. Bahkan, apa dan bagaimana umat Islam di Bali
mereka mungkin tidak tahu atau bahkan tidak mau tahu.
Selama di Bali, Saya (dan beberapa teman dari Jakarta) didampingi
oleh Ahsanuddin Biks (Bali Islam Candi Kuning). Pak Ahsan –kami lebih
suka memanggil Hasan—memang seorang muslim Bali asli. Dia berasal dari
desa Candi Kuning di Baturiti/Bedugul Kabupaten Tabanan. “Kaum Muslim
asal Candi Kuning memang biasa menambahkan nama Biks ketika berhubungan
dengan orang di luar Bali. Sebagai identitas”, jelas pak Hasan tentang
sebutan Bick dibelakang namanya.
Bersama Hasan Bicks inilah kami bersilaturrahmi mengunjungi
kampung-kampung Muslim di pulau Dewata, termasuk khususnya kampung
Gel-gel, cikal bakal komunitas muslim di negeri seribu pura ini.
Sedikit orang tahu bahwa meski dikenal sebagai pulau Dewata, tetapi
Bali sebenarnya menyimpan khasanah keislaman yang terhitung luar biasa.
Di seluruh pelosok negeri yang mayoritas Hindu itu, terselip berbagai
kampung Muslim yang berumur sangat tua dengan segala kultur yang ikut
mewarnai spektrum sejarah negeri itu. Sejumlah komunitas Muslim di Bali
antara lain tersebar di Banjar Saren Jawa di wilayah Desa Budakeling
(Karangasem), Gelgel (Klungkung), Kepaon, Serangan (Kota Denpasar),
Pegayaman (Buleleng) dan Loloan (Jembrana), dan masih banyak lagi
kampung kampung lain yang penduduknya mayoritas Muslim.
Apa dan bagaimanakah Kampung Gelgel ? Kampung ini dari pusat kota
Denpasar meluncur ke arah timur melalui jalan By Pass melalui jalan
pantai di Gianyar dan Klungkung (dengan menempuh sekitar 65 km).
Penduduk kampung ini menurut Kepala Kampung Gelgel, Hanani, kini
(tahun 2011) berjumlah 286 KK. Mereka dahulunya petani dan pemelihara
kuda/dokar, tetapi seiring perkembangan Pariwisata Bali mereka beralih
ke usaha konveksi seperti pakaian, kerajinan daun lontar yang antara
lain berisi kaligrafi, bahkan menjadi penyuplai utama pasar Seni
Sukawati yang sangat kesohor bagi para wisatawan. ”akibat bom Bali 2002
yang berimbas pada anjloknya jumlah wisatan, menyebabkan banyak
pengrajin Gelgel gulung tikar”, uangkap Kepala Kampung Gelgel, Hanani.
Desa Kampung Gelgel ini merupakan komunitas Muslim yang paling
spesial, sebab kampung Gelgel ini merupakan komunitas Muslim pertama di
pulau dewata. Kedatangan muslim generasi pelopor ini dilakukan orang
Jawa di era Dalem Ketut Ngelesir berkuasa di Bali (1380-1460 M).
Sebagai wilayah taklukan Mojopahit Dalem Ketut Ngelesir memang
mengadakan kunjungan ke Mojopahit, ketika Prabu Hayam Wuruk (1350-1389
M) mengadakan konferensi kerajaan-kerajaan vassal di seluruh Nusantara
di awal 1380 an. Ketika kembali ke Gelgel Dalem Ketut Ngelesir diberi
40 orang pengiring. Keempat puluh orang pengawal itu ternyata semua
beragama Islam, serta akhirnya menetap bertindak sebagai abdi dalem
kerajaan Gelgel serta menempati satu wilayah di Gelgel. ALASAN KENAPA
ke empatpuluh pengiring yang ditugaskan Majapahit semua dipilih orang
Islam, meski mayoritas penduduk Majapahit kala itu mayoritas Hindu,
tentu sangat menarik dan menantang untuk diteliti lebih lanjut. Hal
yang sudah pasti adalah para pengiring itu lantas mendirikan sebuah
masjid, sekaligus menandai sebagai tempat ibadah umat Islam tertua di
Bali. Masjid yang kini bernama Masjid Nurul Huda kini terletak di
pinggir jalan raya. Sayang sekali tempat ibadah peninggalan muslim Bali
generasi pertama itu kini sama sekali tak meninggalkan ciri-ciri era
kelampauan pada bentuk bangunannya.
Ketika Waturenggong (1460-1550) menjadi penguasa Bali, kekuatan
Majapahit kian surut. Bahkan, sekitar tahun 1518, Demak pimpinan Raden
Patah (yang tak lain putra Brawijaya V) dengan berbagai alasan politik
akhirnya menaklukkan Majapahit yang kala itu telah direbut dan dipimpin
orang yang menyebut diri Brawijaya VI dan berikutnya VII, meski kedua
orang itu bukan dari trah Wijaya.
Berikutnya, di era Demak inilah ekspedisi silaturahmi dari kerajaan
Islam Demak datang ke Gelgel, Klungkung yang kala itu dipimpin Watu
Renggong. Ekspedisi damai ini secara permukaan bertujuan untuk
menjalin hubungan sebagai sesama mantan vassal Mojopahit, sama-sama
memiliki darah Mojopahit. Namun, inti tujuan ekspedisi ini adalah
untuk menyebarkan Islam. Tampaknya Watu Renggong tidak berkenan terhadap
Islam. Apalagi penguasa Gelgel kala itu telah menempatkan Danghyang
Nirartha alias Pandita Sakti Wawu Rawuh yang migrasi dari Jawa (Daha
lantas ke Blambangan) ke Bali justru karena menghindar dari Islamisasi.
Sebab, dengan perkembangan Islam yang pesat di Jawa, maka ruang gerak
kebagawantaannya menjadi semakin pudar. Logikanya adalah, Nirartha
hampir pasti menasehatkan kepada sang penguasa untuk tidak menerima
Islam Demak.
Penolakan Waturenggong memang tidak dilakukan secara frontal,
karena: pertama, hubungan Muslim dan penguasa Bali tidak ada problem
bahkan telah dicontohkan oleh Ketut Ngelesir melalui 40 pengiring
muslimnya yang setia. Kedua, Watu Renggong tidak ingin membangun
hubungan negatif dengan penguasa Demak. Ketiga, justru karena
pengakhiran Mojopahit era Brawijaya VII oleh Demak telah mengukuhkan
Bali dari status vassal Mojopahit serta menjadi kerajaan merdeka.
Seperti Mojopahit, Demak memang juga melancarkan aksi politik
perluasan wilayah: mengislamkan seluruh Jawa bahkan akhirnya merontokkan
kejayaan Mojopahit. Tetapi, penguasaan Demak atas wilayah-wilayah
Mojopahit dalam konteks agama tidak sekedar melalui kekuasaan. Menurut
De Graaf dan Pigeaud, cerita yang bertebaran dalam masyarakat Jawa
banyak yang menyebut Islamisasi berlangsung damai. Artinya, peradaban
Jawa-Mojopahit-Hindu sedikit demi sedikit diislamkan. Terbukti, agama
dan corak kemasyarakatan pra Islam (Hindu dan Buddha) masih tetap
bertahan sampai pada abad ke 16. Ekspedisi damai Demak terhadap Gelgel
juga menjadi tambahan bukti dari logika tadi.
Dalam sejarah di sebutkan bahwa utusan (yang menghadap Waturenggong)
datang dari Mekah. Berdasar sumber C.C. Bergh diketahui bahwa utusan
Mekah tersebut yang dimaksud adalah dari Demak Bintoro. Ekspedisi 100
orang ini dipimpin Dewi Fatimah. Kala itu Waturenggong menantang
pimpinan ekspedisi untuk mengadu kesaktian. Watu Renggong bersedia
disunat (dipotong kulup kelaminnya sebagai salah satu tanda keislaman)
asalkan Fatimah mampu memotong bulu kakinya. Ternyata, Fatimah gagal
melakukan yang berarti Waturenggong sebagai pemenang. Fatimah akhirnya
dihukum mati (dengan cara membunuh dirinya) dengan tikaman keris. Mayat
Dewi Fatimah lantas dikuburkan di Desa Satra sekitar 3 km selatan
Klungkung atau 1,5 km baratdaya Gelgel. Hingga sekarang lokasi kuburan
Dewi Fatimah itu dikenal dengan Sema Jarat atau Sema Pajaratan. Jarat
merujuk nama Gujarat India, dimana para saudagarnya sangat berjasa dalam
pengislaman di tanah air, sehingga hampir setiap orang Islam juga
dinisbahkan dengan Gujarat. Kuburan itu terletak tepat disamping sungai
dan sempat terkena banjir bandang, sehingga pekuburan terseret banjir
dan hilang bekas-bekasnya. Bahkan, Tanah Jarat –bekas tanah makam
leluhur—itu, menurut kepala Kampung Gelgel, Hanani, akhirnya dijual
kepada orang Hindu yang tinggal di desa Satra, dan hasil penjualan
akhirnya dibelikan tanah untuk membangun madrasah di kampung Gelgel.
Dengan tidak dibunuh tetapi dihukum bunuh diri atas Fatimah, Watu
Renggong punya tujuan strategis agar tidak menimbulkan konflik
bersenjata Gelgel Vs. Demak yang telah terbukti berhasil mengalahkan
kerajaan besar Majapahit. Oleh sebab alasan itu pula, meskipun
Waturenggong tak mau menjadi Muslim, tetapi anggota ekspedisi tidak
diusir. Kaum muslim itu akhirnya bergabung dalam komunitas Muslim Gelgel
40 pengiring Muslim di era Dalem Ketut Pengelesiran. Mereka lantas
kawin mawin dengan wanita lokal serta membangun cikal bakal komunitas
muslim Bali.
Meski semangat membendung Islam sangat kuat menggejala dalam benak
Raja Bali dan Penasehatnya, tetapi komunitas Muslim Gelgel tetap hidup
aman. Kepada mereka diberikan sebidang tanah di pesisir pantai sekitar
Gelgel, bahkan ditambah lagi dengan kampung Jawa kampung dan kampung
Lebah seiring dengan membengkaknya jumlah umat Islam. Ketiga kampung
ini memang spesial diberi oleh Puri lengkap dengan kuburan Muslimnya.
Dapat dipahami jika kampung Muslim tadi, menurut kepala desa Kampung
Gelgel, Hanani, sekarang memiliki status kepemilikan dengan sertifikat.
Padahal kaum Hindu disekitar komunitas kampung Muslim justru hanya
memiliki status tanah Magersari Puri, sebagai pekarangan desa atau
meminjam/hak pakai saja meski untuk waktu selamanya.
Kaum Muslim di ketiga wilayah itu mempertahankan adat istiadat dan
keyakinannya tetapi tetap bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan
saling berinteraksi dengan saudara-saudaranya yang Hindu dalam pergaulan
akrab dan saling menolong. Tidak ada kultur sejarah adanya konflik
terbuka antara Amat Hindu dan Muslim. Kalaupun di era belakangan muncul
letupan konflik, hal itu terutama terjadi hanya karena persoalan anak
muda. Keharmonisan historis antar komunitas ini dapat dilihat misalnya
dari realitas adanya Pura di samping makam leluhur Umat Islam yang
biasa disebut Sema Jarat. Sebagai penghormatan Pura terhadap Kuburan
tokoh-tokoh Islam itu, pura sejak dahulu melarang dua hal: membawa
sesajian daging babi dan melakukan upacara sabung ayam/tajen/tumpah
getih, dua hal yang memang Sangat dilarang dalam Islam.
”Tradisi di Pura itu bahkan telah berubah menjadi kepercayaan di
kalangan Hindu Gelgel bahwa pelanggaran terhadap aturan leluhur ini
dipercaya dapat membawa sial. Oleh sebab itu, aturan tersebut dipegang
kokoh sampai kini”, ungkap Nasrullah mengakhiri penjelasannya. Ucapan
guru asli kampung Gelgel itu sekaligus menandai akhir kunjungan kami ke
kampung Muslim Bali generasi paling awal ini.***
Kampung Muslim Kusamba
Setelah hari pertama dan kedua blusukan ke Kampung Gelgel,
Kampung Lebah, dan Kampung Jawa, pada hari berikutnya dengan diantar
pak Hasan Bick saya (dan beberapa teman, yakni: mas Hamdan Basyar,
Indriana Kartini, Heru Cahyono alias Ali Abdurrahman, dan Afadlal)
meluncur ke Kampung Kusamba yang juga merupakan salah satu komunitas
Muslim Bali kuno di Klungkung. Kusamba terletak di Kabupaten Klungkung,
Bali bagian Timur. Dari Denpasar butuh waktu tempuh sekitar 1,5 jam
sampai ke sana. Selain dikenal sebagai pantai nelayan, Kusumba konon
juga menjadi pusat pembuatan garam secara tradisional yang terbesar di
pulau wisata ini.
Di Kusamba, kami lihat banyak ibu-ibu dan remaja putri yang memakai
jilbab. Sedang laki-lakinya bersongkok atau berkopiah putih. Ini menjadi
simbol bahwa perkampungan tersebut adalah perkampungan Muslim. Simbol
ini sangat penting di Bali, untuk membedakan mana masyarakat yang
beragama Islam dan yang bukan. Sebab, kalau lelaki Hindu yang dikenakan
adalah udeng, yakni ikat kepala yang terbuat
dari kain, persis seperti lelaki Jawa yang sempat kulihat di masa
kecilku dahulu. Selain itu, kaum Hindu baik wanita maupun pria banyak
yang melilitkan kain di pinggang mereka, yang kebanyakan kuning atau
sebagian lagi putih warnanya.
Namun, dalam beberapa segi sebenarnya antara Muslim-Hindu di Kusamba
telah melakukan akulturasi, mengingat antara kedua komunitas ini telah
memiliki hubungan geneologis yang kokoh akibat proses kawin mawin antar
keduanya. Di kalangan umat Islam Kusamba misalnya, mereka memakai juga
nama-nama Wayan, Ketut, Nengah sebagai ciri khas kebalian mereka.
Wayan Mohammad Syaefullah, seorang tokoh Kusamba yang saya temui,
merupakan salah satu contoh akulturasi nama dari : kebalian dengan
keislaman. Muslim Kusamba juga memiliki kemampuan berbahasa Bali
halus, sebagai lambang bahwa mereka adalah bagian dari komunitas asli
Bali.
”Legenda nama Kusamba terjadi ketika seorang muslim asal Banjar
Kalimantan datang merapat ke Pantai desa itu. Ketika orang Banjar
melihat seseorang (konon pedagang asal Bugis) sedang sholat lantas
didekatinya. Si Bugis lantas bertanya : ”siapa kamu ?. Si Banjar
menjawab: ”Ku Sama”, yang di telinga si Bugis terdengar Kusamba”,
jelas Wayan Mohammad Syaefullah, tokoh asli Kusamba yang pernah
menjabat kepala desa setempat sejak 1984-2002 (Wawancara di Klungkung,
25 Mei 20011).
Kampung Islam Kusamba dikenal sebagai kampung Islam yang menyimpan
banyak sejarah Islam di Bali. Dalam catatan sejarah disebutkan bahwa
Desa Kusamba, Klungkung memiliki ikatan sejarah yang sangat besar atas
perkembangan Islam di Tanah Dewata. Bukti sejarah tersebut ditandai
adanya makam Habib Ali Bin Abubakar Bin Umar Bin Abubakar Al Khamid.
Letaknya tepat di pesisir pantai Kusamba, Klungkung. Semasa hidupnya
Habib Ali dikenal sangat dekat dengan keluarga Kerajaan Gelgel,
Klungkung. Bahkan, ia ditunjuk menduduki jabatan sebagai penerjemah atau
ahli bahasa yang bertugas mengajarkan bahasa Melayu kepada Raja yang
saat itu dipimpin oleh Raja Dewa Agung Jambe. Karenanya Habib Ali
mendapat perlakuan yang istimewa dari Raja. Ia diberi seekor kuda jantan
putih yang gagah perkasa untuk melakukan tugas kerajaan. Tak hanya itu,
ia merupakan satu-satunya rakyat biasa yang bebas keluar masuk
kerajaan.
Konon karena perlakuan istimewa ini akhirnya sempat menghembuskan
angin permusuhan di internal kerajaan. Apalagi ia seorang Muslim yang
“oleh kelompok dengki” dinilai tidak sesuai dengan keyakinan yang dianut
waktu itu. Kedekatannya dengan Raja Dewa Agung Jambe akhirnya menuai
petaka. Suatu hari, usai menghadap sang raja, Habib Ali dihadang oleh
sekelompok pasukan tak dikenal. Akhirnya, terjadi pertempuran (tepatnya:
pengeroyokan) sengit dan tidak imbang yang mengakibatkan Habib Ali
terbunuh. Mendengar penterjemahnya tewas, raja Klungkung, Dewa Agung
Jambe memerintahkan prajurit kerajaan untuk memakamkan jasad Habib Ali
di tepi pantai Kusamba, tempat dimana ia wafat.
Selain makam tersebut, bukti sejarah terkait keberadaan masyarakat
Islam di Kusamba adalah penemuan benda bersejarah yaitu al-Qur’an
tertua. Qur’an ini diakui telah berusia hampir 400 tahun. Al-Qur’an
tertua tersebut ditulis tangan oleh ulama besar asal Bugis. Konon,
al-Qur’an yang ditemukan di Kusamba merupakan salah satu al-Qur’an
kembar tiga. Ternyata, al-Qur’an tertua di Bali ditulis dan dibuat
sebanyak 3 buah dalam kurun waktu yang berbeda oleh ulama yang sama.
Sayangnya, siapa pembuat ketiga al-Qur’an kembar tersebut sampai kini
belum diketahui (Bahrul Ulum/Suara Hidayatullah AGUSTUS 2008). Dan
sayang sekali juga, saya tidak berkesempatan melihat ketiga al Qur’an
itu.
Dalam konteks kekinian Hubungan masyarakat kampung yang mayoritas
keturunan Banjar ini dengan kampung lainnya yang beragama Hindu secara
umum sangat baik. Masyarakat Hindu bersikap toleran terhadap warga
Muslim. Di kampung ini terdapat juga sebuah masjid yang cukup besar,
bernama Masjid Al-Huda. Selain itu, kampung ini juga memiliki sarana
pendidikan berupa sekolah Islam.
Hal lain yang menarik, ternyata sebagaimana komunitas Gelgel,
hubungan masyarakat Muslim di kampung Kusamba dengan pihak kerajaan juga
sangat baik. Demikian juga hubungan Muslim Kusamba dengan komunitas
Hindu di sekelilingnya, semua terjalin sangat baik. “Memang, pernah
sekali terjadi gesekan. Kala itu terjadi pengepungan orang-orang Hindu
terhadap kampung ini. Hal itu terjadi akibat kesalahpahaman saja. Dan
kala itupun, penyulut peristiwanya bukanlah Muslim Kusamba, tetapi
seorang pendatang yang kebetulan kurang paham terhadap kultur Bali. Dia
membentak-bentak secara keterlaluan terhadap seorang Hindu dari kasta
Brahmana –tapi miskin– yang kebetulan melakukan kesalahan. Hal ini
sempat menimbulkan ketersinggungan ”secara kolektif”. Tapi, setelah
saya lakukan dialog dengan tokoh-tokoh Hindu, akhirnya kami saling
memaafkan. Sebab, kami satu sama lain hakekatnya kan memiliki
hubungan kekerabatan akibat proses kawin mawin. Nenek saya pun berasal
dari komunitas mereka, seorang muallaf asal Hindu ”, ungkap Wayan
Mohammad Syaefullah, pengusaha penyewaan alat-alat berat ini.
Umat Islam di Kusamba secara historis dikenal sebagai umat yang jujur
dan teguh memegang janji. Anggapan ini sudah ada sejak zaman nenek
moyang mereka. Misalnya, dalam hal perjanjian untuk tidak saling
mengganggu, atau menyakiti antar umat yang berkeyakinan beda. Umat
Islam adalah kelompok yang belum pernah mengingkari
perjanjian-perjanjian seperti itu. Selain itu, umat Hindu Klungkung
juga melihat kaum Muslim itu sebagai masyarakat yang memiliki aturan
lengkap. Misalnya aturan dalam kehidupan sehari-hari. “Mereka sangat
hormat kepada muslim yang taat menjalankan agamanya, secara percaya
diri memperlihatkan identitas keislamannya, seperti dilakukan komunitas
muslim asli Bali. Orang-orang Islam pendatang yang tidak shalat,
mabuk, yang tidak taat agama lah yang justru menyebabkan kaum Hindu
menjadi kurang respek pada umat Islam”, tegas Wayan.
Pada dasarnya umat Hindu di tempat itu memandang positif terhadap
umat Islam. Hal ini karena sudah terbukti bahwa Islam bisa hidup
berdampingan dengan masyarakat sekitarnya. Buktinya, setiap adanya
perayaan nyepi yang bersamaan dengan shalat Jumat, bisa berjalan
beriringan. Pada saat Nyepi, meski umat Hindu melaksanakan catur berata
panyepian (mati karya, mati lelangunan, mati geni, dan mati lelungan),
namun umat Islam juga menunaikan shalat Jumat di masjid, tentu saja
dengan tidak menggunakan pengeras suara ke luar, tapi cukup ke dalam,
agar tidak mengganggu umat Hindu yang sedang merayakan hari besarnya.
Di Kabupaten Klungkung sebenarnya terdapat satu lagi kampung kuno Muslim yaitu
Kampung Toya Pakeh di Kecamatan –atau tepatnya pulau– Nusa Penida.
Untuk menuju ke tempat itu, kita harus naik kapal –atau tepatnya
perahu—rakyat dalam waktu dua setengah jam. “Bahkan, waktunya bisa
lebih lama terutama bila ombak lautan sedang bergejolak”, jelas pak
Hasan. “Oleh karena itu, bila bermaksud mendatangi Toya Pakeh, minimal
kita butuh waktu seharian, untuk pulang pergi dan sedikit
menyempatkan waktu menelusuri lokasi”. Namun, sejak semula saya memang
tak berniat ke lokasi itu, mengingat perahu rakyat di tempat itu
tergolong kecil, sedangkan gulungan ombaknya terbilang besar. Hati saya
merinding membayangkan bila harus berayun-ayun di samodera menuju Toya
Pakeh.
Kampung Toya Pakeh sebenarnya merupakan pengembangan dari komunitas
Gelgel-Bugis-Banjar di Kusamba. Maka hampir sama dengan masyarakat
kampung Gelgel yang merasa punya hubungan genealogis dengan kampung
Lebah, komunitas Kusamba merasa punya hubungan darah dengan masyarakat
Toya Pakeh. “Dapat dipahami jika sampai kini di Kusamba misalnya,
masih beroperasi pelabuhan (rakyat) yang sangat penting menghubungkan
Pulau Bali dengan Pulau Nusa Penida”, jelas Wayan Mohammad Syaefullah
mengakhiri penjelasannya. Dengan berakhirnya penjelasan dari tokoh asal
Kusamba tadi, maka berakhir pula kunjungan kami di kampung Kusamba
ini. Dengan menembus hujan rintik-rintik di senja hari, mobil kami
beranjak meninggalkan kampung kuno yang dihuni komunitas muslim asli
Bali.
Hubungan Historis-Kultural Muslim – Hindu di Klungkung
Pada hari keempat di kabupaten Klungkung, saya dan teman-teman
diajak pak Hasan Bicks menelusuri kembali jalan di kampung-kampung kuno
Muslim. ”Agar suasana kehidupan komunitas muslim Klungkung nyantel
dalam ingatan”, tegas pak Hasan sambil menyetir mobil dengan penuh
waspada. Maklum, hari itu kami memang berniat melanjutkan perjalanan ke
kabupaten Bangli.
Pagi itu udara terasa dingin. Langit mendung tipis, dan mentari
malu-malu menampakkan diri. Bahkan, gerimis kecil mulai turun
membasahi bumi. Udara di luar membeku, tetapi alhamdulillah kami di
dalam mobil tidak ikut beku. Kami tetap terhangatkan oleh semangat yang
menyala untuk mengunjungi kampung-kampung muslim di Bali lainnya.
Sebelum meninggalkan Klungkung, kami diajak mampir dahulu ke
pelabuhan rakyat di desa Kusamba. Ini merupakan kunjungan yang kesekian
kalinya ke pelabuhan rakyat untuk menuju pulau Nusa Penida ini. Kenapa
kami merasa perlu balik ke tempat ini ? Alasannya hanya satu: menyantap
sate ikan yang luar biasa lezatnya. Sebenarnya, tempat dan
penyajiannya tak ada yang istimewa alias sederhana saja. Tetapi, rasa
khas nya benar-benar menendang lidah kita. Menunya: sate ikan yang
ditusuk dengan potongan kecil pelepah daun kelapa, sop dengan isi
pentolan bakso terbuat dari ikan juga, plecing kangkung, kacang
goreng, ditambah sambal yang pedasnya menyengat lidah kita. Sungguh,
kelezatannya masih kuingat kembali ketika saya menulis naskah ini.
Di Kabupaten Klungkung komunitas-komunitas muslim yang baru tumbuh
sejak era pariwisata sebenarnya tidak ada. Lima Kampung Muslim yakni
Gelgel, Lebah, Jawa, Kusamba, dan Toya Pakeh semuanya merupakan
kampung Kuno. Kaum Muslim yang datang
belakangan apalagi di era pariwisata Bali sejak tahun 1970an sebagian
kecil menginduk kepada kelima kampung kuno itu, tetapi kebanyakan justru
tinggal membaur di komunitas-komunitas Hindu. Kaum pendatang baru di
Klungkung ini pun jumlahnya tidak terlalu signifikan. ”Di Kabupaten
Klungkung jumlah seluruh Muslim maksimal hanya sekitar 30 ribu jiwa atau
sekitar 8000 KK yang sebagian terbesar tinggal di 5 Kampung kuno
Muslim. Bahkan, angka itu sebenarnya masih kebesaran, terutama jika
dirujukkan pada realitas jamaah sholat di hari raya”, kata ketua MUI
Klungkung, Mustafid Amna.
Jika jumlah itu dibagi oleh komunitas 5 kampung Muslim, maka
rata-rata maksimal hanya berpenduduk 6 ribu jiwa perkampung. Dengan
data semacam ini maka jumlah pendatang Muslim di Klungkung tentu sangat
sedikit. ”Di Kampung Gelgel saja misalnya, kampung seluas 8,5 hektar
yang dihuni 288 KK Muslim itu, ternyata pendatangnya hanya tercatat 10
KK yang umumnya berprofesi sebagai pedagang”, ungkap Kepala Kampung
Gelgel, Hanani.
Masyarakat Muslim di Klungkung secara kesejarahan memiliki hubungan
khusus dengan masyarakat Hindu lokal, termasuk khususnya dengan elit
pemerintahan kerajaan. Komunitas-komunitas Muslim lama di berbagai
tempat (terutama kampung Gelgel dan Kampung Lebah) memiliki hubungan
historis dengan Penguasa Hindu, sehingga mereka secara kesejarahan
diperlakukan secara sangat terhormat, termasuk dalam simbolitas
undangan di setiap acara adat yang diselenggarakan keturunan para raja.
Jika di Puri ada hajatan seperti Pitra Yadnya atau potong gigi
(masangih) tokoh Kampung Islam lama biasanya diundang ke Puri dengan
status yang justru diistimewakan, posisi duduk setingkat dengan raja.
Kesenian Islam bahkan pula ditampilkan dalam acara-acara adat mereka.
Ada satu hal lain dimana muslim Gelgel memperoleh keistimewaan,
yakni: khusus masjid kampung Gelgel mendapatkan aliran air subak secara
gratis seberapapun kuantitas yang digunakannya. Air subak terus mengalir
deras siang malam –untuk keperluan bersuci– tanpa dipungut biaya. Jika
ada sebagian orang Hindu mempertanyakan hal ini, otoritas Puri
langsung tampil membela, karena perlakuan istimewa ini memang telah
dijalankan ratusan tahun lamanya, ada sejarah di dalamnya, sehingga
sampai kapanpun tak boleh digugat apalagi dibatalkan keberlakuannya.
Realitas kedekakatan kampung Islam dengan Puri itu terbangun, karena:
Pertama, secara historis memang terjadi ikatan emosional antara
komunitas Muslim dengan sebagian besar raja Klungkung, terutama akibat
dukungan komunitas Muslim tersebut dalam berbagai peperangan antar
kerajaan di Bali. Perlu dicatat bahwa di era lama, peperangan antar
kerajaan di Bali memang seringkali terjadi. Dalam peristiwa-peristiwa
inilah kaum Muslim kala itu dimintai bantuan agar menjadi bagian dari
pasukan khusus.
Kedua, terdapat hubungan perkawinan antara Muslim keluarga raja,
bahkan juga diikuti pada level masyarakat biasa, yakni antara para
pengikut, saudara, dan keturunan tokoh-tokoh Islam dengan wanita-wanita
Hindu. Proses kawin mawin ini bahkan juga terjadi di kampung-kampung
Islam yang muncul pada periode-periode berikutnya (tetapi juga kampung
tua), seperti kampung Kusamba, Kampung Jawa, dan Kampung di Nusa
Penida.
Realitas sosio historis ini secara psikis akhirnya menumbuhkan ikatan
emosional genealogis antara komunitas Hindu lokal dengan kaum Muslim
lama. Oleh karena itu sebutan Nyamo Slam/saudara Muslim bukan sekedar
istilah basa-basi tetapi memang memiliki sejarah genealogis. Kedua hal
tersebut menyebabkan hubungan erat antara komunitas muslim lama dan kaum
Hindu, bahkan sampai disebutnya sebagai Nyamo Slam, saudaraku Muslim.
Sejarah masuknya Islam ke sejumlah lokasi di Bali yang kini lebih
dikenal dengan Banjar Muslim, tidak merupakan satu kesatuan yang utuh,
namun satu sama lainnya kemudian saling berinteraksi. Namun perlu
dicatat bahwa Keberadaan muslim Klungkung terhitung paling tua dalam
catatan sejarah Muslim Bali. Mereka yang terutama tinggal di Gelgel
bahkan tercatat sebagai generasi pelopor muslim di wilayah Bali pada
umumnya.
Sebagaimana telah disinggung pada tulisan sebelumnya (tulisan
pertama), kedatangan Muslim pertama di Bali terjadi sejak era Dalem
Ketut Ngelesir. Sebagai kepanjangan penguasa Majapahit, Dalam Ketut
Ngelesir (1380-1460) memang pernah mengadakan kunjungan ke Majapahit,
ketika Hayam Wuruk mengadakan konperensi kerajaan-kerajaan vasal
(taklukan) di seruruh Nusantara. Ketika kembali Ketut Ngelesir diberi 40
orang pengiring beragama Islam. Kaum muslim tersebut lantas menetap di
Bali bertindak sebagai abdi dalem kerajaan Gelgel, serta menempati
satu permukiman dan membangun sebuah masjid dan menjadi tempat ibadan
umat Islam tertua di Bali. Sejak itu komunitas muslim mulai muncul di
Bali dan terus berkembang, walaupun tidak sepesat di Jawa.
Ketika Dalem Waturenggong (1460-1550) menggantikan Ketut Ngelesir,
perkembangan Islam di nusantara makin pesat terutama setelah tahun 1518
Demak/ Raden Patah (putra Brawijaya V) meruntuhkan Majapahit (pimpinan
orang yang menyebut diri Brawijaya VII) dengan berbagai alasan politik.
Di era Demak inilah, misi Islam datang lagi ke Gelgel, Klungkung.
Memang, waktu itu Watu Renggong yang tak lain cucu Dalem Krisna
Kepakisan tidak berkenan terhadap Islam. Banyak muncul versi bagaimana
cara Waturenggong menolak himbauan Islam, namun satu versi yang
dianggap kuat adalah Waturenggong menantang pimpinan ekspedisi (Dewi
Fatimah, yang masih kerabat Waturenggong sendiri) untuk mengadu
kesaktian, dan ternyata Waturenggong menang. Konsekuensinya misi Islam
tidak dapat diterima melalui jalur kerajaan, sedangkan kaum muslim
dalam ekspedisi itu diijinkan bergabung dalam komunitas Muslim Gelgel
yang telah ada sebelumnya. Mereka membangun misi dengan cara lain yakni
kawin mawin dengan wanita lokal serta membangun cikal bakal
komunitas-komunitas muslim di Bali. Ketika kampung Gelgel sudah tak
mampu menampung, kerajaan memberi tanah pelungguhan baru di kampung
Lebah. Dua kampung itulah sebagai komunitas muslim tertua di tanah Bali.
Bahkan Watureggong konon senantiasa memberikan sangu/tambahan bekal
kepada umat muslim yang akan menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci
Mekkah. Keturunan komunitas yang telah ada sejak 500 tahun lalu ini
jejak sejarahnya masih ada dan masih mempertahankan adat istiadat dan
keyakinannya. Mereka bersosialisasi dengan masyarakat sekitar dan saling
berinteraksi dengan kaum Hindu.
Hubungan Muslim – Hindu Klungkung dalam konteks kekinian tetap
harmonis. Kalaupun terjadi friksi umumnya terkait dengan kenakalan
remaja (seperti beberapa kali terjadi di kampung Lebah). Namun, tetap
harus dicermati bahwa: terutama seiring dengan terbangunnya Bali sebagai
wilayah wisata maka problema-problema baru memang muncul. Tetapi
umumnya, problema bukan bersifat kultural, tetapi lebih bersifat
ekonomi. Dengan status wilayah wisata, maka banyak pendatang baru,
yang umumnya muslim. Problemnya adalah: motivasi utama mereka adalah
ekonomis, tanpa diimbangi oleh usaha pemahaman terhadap kultur dan
kearifan lokal. Problema politik nasional ditambah euphoria politik
otonomi daerah –yang acapkali dibumbui oleh eksploitasi semangat
primordial oleh mereka yang berebut kuasa– tampaknya ikut pula
merembeskan pengaruh negatifnya terhadap konstelasi hubungan sosial di
wilayah Klungkung.
Rinai kecil pelan-pelan membesar. Suaranya makin lama kian
bergemuruh. Sesekali kilat menyambar di udara, meski tanpa suara.
Langit menangis. Udara membeku. Tapi kami tetap bersemangat
melanjutkan perjalanan, menerobos hujan menuju kota tujuan: Bangli.
***
Dhurorudin
---------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2011/12/18/mengunjungi-kampung-muslim-gelgel-di-klungkung-bali-tulisan-1/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/01/19/berkunjung-ke-kampung-muslim-kusamba-bali-tulisan-2-2/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/02/19/hubungan-historis-kultural-muslim-hindu-di-klungkung-bali-tulisan-3/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar