Rabu, 30 Juli 2014

MJIB - 41. Mengenal beberapa Kampung Muslim di Kab. Bangli Bali

________________________
Oleh : Dhurorudin Mashad


Muslim di Kota Bangli

Pagi menguasai mayapada.  Sinar mentari  masih malu-malu menampakkan dirinya. Awan tipis bergerak berarak, sesekali sempat menutupi sang surya. Saya dan teman-teman sepagi itu sudah menapak bumi Bangli,  salah satu kabupaten di tanah Bali. Di lokasi ini sekali lagi,  saya ingin melanjutkan silaturrahmi ke kampung-kampung  Muslim.
“Alhamdulillah”,  desisku dengan suara pelan, nyaris tak kedengaran. Mobil kami berhenti tepat di sebuah warung makan. Di depannya terpampang tulisan  besar:  Depot Muslim. Dari tulisan ini ada dua pesan yang dapat kutangkap: pertama, pemilik warung hampir pasti berasal dari Jawa Timur. Sebab,  istilah depot  yang saya tahu memang dipergunakan orang-orang dari ujung timur pulau Jawa.  Kedua,  menu yang disajikan di warung dijamin halal bagi setiap muslim.
Hups…jangan berprasangka dulu, ya… Dalam hal ini,  saya sama sekali tak bermaksud mengembangkan primordialisme agama dan atau daerah: hanya mau beli di toko milik Muslim dan atau dari Jawa. Bahkan, sebelum masuk ke depot saja, saya telah mampir dulu ke toko warung Bali–Hindu untuk beli sesuatu.  Bagaimana saya tahu,  toko itu milik orang Hindu ? Gampang untuk mengenalinya.  Pertama,  di depan warung terdapat rangkaian wadah janur kecil berisi bunga dan atau beras persembahan (seingatku bernama canangsari). Kedua, di setiap rumah/toko orang Hindu “pasti” di depannya terdapat tempat persembahyangan kecil (seingatku bernama sangga) yang diselimuti kain khas bali.  Ketiga, saya sempat ngobrol dengan pemiliknya yang ternyata memang asli Hindu Bali. Bahkan,  sampai hari kelima di Bali,  saya lebih sering belanja di toko-toko orang Hindu-Bali untuk berbagai keperluan sehari-hari.
Hanya khusus untuk makan,  di wilayah manapun ketika Muslim minoritas –termasuk di Bali– saya memang harus meyakinkan diri menyantap makanan halal: halal dalam zat nya (bukan barang najis,  seperti mengandung babi dll) maupun dalam proses pengolahannya (termasuk sembelihan secara Islam).  “Di Bali ini,  meskipun disebut Restoran Padang,  Warung Soto Kudus,  atau apapun sebutannya,  jika tidak secara eksplisit dinyatakan: rumah makan Muslim,  atau rumah makan Halal, maka hati-hati untuk mampir makan.  Sebab,  belum tentu dijamin halal”,  kata pak Hasan Bick beberapa kali mengingatkan.  Nah,  berbekal label  “Depot Muslim” itu,  saya dkk. langsung masuk depot dengan penuh keyakinan.
Alhamdulillah,  berbekal ngobrol ringan dengan  pemilik warung yang ternyata asli Madura itu saya dapat gambaran awal tentang kantong-kantong Muslim di kota Bangli. “Dibanding wilayah lain di Bali,  Muslim Bangli terhitung paling kecil”,   jelas ibu pemilik Depot, “Di Bangli kota ada beberapa kantong komunitas Muslim,  seperti di Bebalang, banjar Blumbang, banjar Kawan, dan banjar  Cempage (Cempaka ?).  Ada juga komunitas Muslim lebih besar jumlahnya,  tetapi berada di  luar kota, yakni Kintamani. Selain itu ada pula muslim di pegunungan terpencil,  namun kecil sekali jumlahnya”.
Setelah saya mengecek data dari BPS,   jumlah Muslim di Bangli memang hanya  2.573 jiwa (Bali Dalam Angka,  2010).  Jumlah tersebut tersebar  terutama di empat kecamatan, yakni: Kecamatan Susut ada 158 jiwa,  Kecamatan Bangli terdapat 1.475 jiwa,  Kecamatan Tembuku  ada 9 jiwa, dan di Kintamani tercatat 931 jiwa.   Dari data tersebut tampak betapa jumlah Muslim sangat kecil,  apalagi dibanding komunitas Hindu yang mencapai 195.825 jiwa.  Jika dihitung dalam prosentase,  maka jumlah muslim hanya 1, 29 prosen dari  seluruh penduduk yang mencapai 199.229 jiwa.  Namun,  jumlah itu tetap lebih banyak dibanding kaum Protestan/Katolik yang hanya 0,22 persen,  apalagi Budha yang  cuma 0, 19 persen.
Untuk menampung acara peribadatan seluruh muslim Bangli,   mereka (berdasar data BPS tahun 2009) telah memiliki tiga masjid  yakni satu di Bangli dan dua di Kintamani.  Sementara untuk musholla,  di Susut ada satu dan di Bangli ada 5 buah musholla.
Berbekal informasi dari ibu Madura tadi dan ditambah data awal dari BPS Bangli,  saya dkk. berarak menuju komunitas muslim di banjar Bebalang guna mencari informasi tentang kehidupan Muslim khususnya di Bangli kota. Sampai di lokasi,  kami langsung menuju ke sebuah masjid besar, yang ternyata masjid Agung Bangli.  “Dalam pemilu kada terakhir di Bangli,  jumlah pemilih muslim tercatat 1300 jiwa. Jika ditambah dengan anak-anak di bawah 17 tahun,  maka jumlah Muslim Bangli paling sekitar 3000 jiwa”,   jelas seorang tokoh Muslim Bangli,  H. Lukman yang berhasil saya jumpai. Penjelasan itu tidak jauh berbeda dari data BPS yang mencatat sekitar 2.573. Jika ditambah dengan orang muslim yang hanya memiliki Kipem (Kartu Identitas Penduduk Musiman) atau bahkan tidak tercatat,  maka jumlah 3.000 jiwa tidaklah terlalu kebesaran.
Secara umum tercatat bahwa sejarah perkembangan komunitas Muslim Bangli dimulai sekitar tahun 1970-1980an. H. Lukman misalnya,  diajak orang tuanya, Muhammad Husin,  pindah dari Banyuwangi ke Bangli pada Juni 1976.  Kala itu di kota Bangli baru ada sekitar 12 KK Muslim. “Itupun kadar keagamaannya tidak jelas. Mereka hobi main judi, ikut sajen (adu ayam),  tidak jum’atan apalagi shalat lima waktu”,  tandas H. Lukman.  Jumlah tersebut sedikit berkembang, ketika datang Muslim lain dari aneka daerah. Mereka kebanyakan tugas sebagai PNS atau polisi,  sehingga tinggalnya pun di asrama polisi. Bersama mereka inilah orang tua saya lantas membentuk komunitas  Ikatan Keluarga Islam Bangli (IKIP) dengan diketuai R. Sumardi. Di tahun 1976 itu pula mulai digagas untuk membangun masjid. Kalau soal kuburan, sejak awal tak ada persoalan,  sebab memang sudah ada tanah kubur peninggalan Belanda. Setelah tanah berhasil didapatkan,  setahun berikutnya masjid pun pelan tapi pasti mulai didirikan.  “Waktu itu Kapolres nya pak Suseno PBA  dan Kajarinya Makmur Hadi.  Keduanya muslim”,  kenang H. Lukman.
Komunitas muslim di perkotaan Bangli mulai membesar,  terutama mulai tahun 1986, ketika para pedagang mulai masuk.  Bahkan, untuk menampung kebutuhan peribadatan masjid yang letaknya di Bebalang itu pun akhirnya tahun 1997 direnovasi hingga keberadaannya berkembang sampai sekarang menjadi masjid agung.
Di era kekinian,  komunitas Muslim khusus di sekitar Bangli kota memang tidak begitu banyak.  Keberadaan mereka terutama tersebar di empat banjar :  Bebalang,  banjar Blumbang, banjar Kawan, dan banjar Cempage,    serta sebagian lain tersebar di banyak tempat. Untuk mengikat silaturrahmi antar muslim,  telah dibentuk sekitar 14 majlis taklim, yang mencakup kecamatan Susut, kecamatan Kota, dan  Cempage. Khusus pada setiap malam Jum’at para ketua majlis taklim bersilaturrahmi di mesjid Agung di Bebalang. “Sebenarnya,  umat Islam Bangli juga memiliki sebuah masjid masjid Jami’ di kecamatan Kintamini, jauh dari kota. Selain itu masih ada beberapa musholla:  di Blumbang ada 3, di Bebalang ada 4,  sementara di Cempage,  di banjar Kawang,  dan di Susut masing-masing  punya 1 musholla”,  kata H.  Luqman menambahkan.
Berbeda dengan wilayah lain di Bali,  di  kabupaten Bangli  umat Islam tidak memiliki kampung muslim,  kecuali hanya di Kecamatan Kintamani. Kantong komunitas muslim memang ada di beberapa tempat,  tetapi tidak sampai “dilegitimasi” sebagai Kampung Muslim. Di seluruh wilayah Bangli,  komunitas muslim berada di dalam banjar adat. Dengan posisi ini,  setidaknya ada beberapa konsekuensi penting yang harus dihadapi:
Pertama, kepada komunitas muslim dikenakan pungutan-pungutan dengan alasan adat, yang tentu saja penggunaannya untuk keperluan adat Hindu-Bali. Hal ini berlaku di semua  komunitas Muslim di kota Bangli,  kecuali hanya di sekitar masjid Agung dimana  umat Islam tidak kena aturan adat.  Pengenaan adat dalam konteks ini bukan karena tanah yang ditempati merupakan bagian dari tanah adat.  Di Bebalang misalnya,  umat Islam tidak ada yang menempati tanah adat,  tetapi  tanah hak milik  asli yang telah dibeli. Meski demikian,  secara kewilayahan komunitas Islam tetap disebut tercakup dalam wilayah adat banjar tertentu,  sehingga harus membayar iuran untuk kepentingan adat. “Khusus untuk tanah adat aturannya beda lagi, karena sewa tanahnya tanah adat, bayar sewanya ke adat. Biasanya 7 bulan sekali, yakni waktu perayaan pura, penyewa harus bayar ke adat”, tambah H. Luqman.
Kedua,  terkait keterlibatan umat dalam kegiatan adat yang tentu saja memiliki substansi kehinduan. Bagi umat Islam,  realitas ini menjadi sangat problematic.  Namun,  melalui tokoh-tokoh Islam yang terlibat dalam Forum Komunikasi Antar Umat Beragama,  problem itu lantas didiskusikan bahkan disampaikan kepada Bupati.  “Bahwa umat Islam memiliki prinsip Hablum minallah (hubungan dengan tuhan) dan hablum minanas (hubungan antar sesama manusia). Untuk hablum minannasnya silahkan umat Islam diajak kerja bakti bersama.  Tetapi khusus hablum minaullah, urusan peribadatan, kita ga bisa.  Mereka mau atur, tetapi kita punya waktu sendiri yang tidak bisa mereka atur.  Persoalan ini masih   dalam proses”,   kata H. Luqman.
Ketiga, karena berada di banjar adat, maka kalau ada persoalan-persoalan tentu akan diselesaikan oleh adat. Jika seorang Muslim mati misalnya,  harus lapor ke banjar adat. “Banyak problem terkait dengan soal ini. Misalnya, ketika kematian bersamaan waktu dengan ada upacara adat, maka pemakaman harus menunggu setelah upacara adat selesai.  Umat Islam bisa juga terpaksa mensiasati pemakamannya, misalnya dilakukan pada jam 10 malam. Problem lainnya,  walaupun si muslim punya rumah,  tetapi mayat tidak boleh ditaruh rumah. Akhirnya,  terpaksa disiasati mayat ditaruh dimasjid,  setelah itu langsung dikubur agar tidak terjadi konflik”,  jelas H. Lukman.
Namun, secara umum kehidupan Muslim di Bangli sangat aman dan nyaman. Terutama,  menurut H. Luqman mantan ketua MUI Bangli,  karena ada ikatan emosional dimana para   kelian adat adalah teman-teman sepermainan diwaktu muda. Apalagi,  di Bangli tokoh muslimnya menetap, tidak pindah-pindah,  sehingga silaturrahmi dengan tokoh-tokoh Hindu lokal bersambung terus.
Dari berbagai informasi yang berhasil saya peroleh,   secara umum memang dikatakan bahwa:  sebenarnya orang Hindu Bali di Bangli  sejak dahulu bersikap sangat baik terhadap umat Islam,   muslim asli maupun pendatang.  “Dahulu kalau takbir lebaran,  kita keliling. Mereka kaum Hindu keluar menonton di pinggir jalan,  ketawa-ketawa,  tangannya dada-dada. Harmonis sekali. Dahulu kita tahlilan selamatan mereka ikut bersila, harmonis betul dulu. Tahun 1980 an harmonis sekali”,  kata H. Luqman membenarkan.
Baru sekitar sepuluh tahun terakhir ini saja,  mulai sedikit ada problem. Setelah bom Bali meletus,  sejak itulah mulai ada problem. Mereka,  yang umumnya anak muda dn tak tahu sejarah,  melihat semua orang  Islam sebagai pendatang. Padahal,  “anak saya lahir di Bali, saya dengan anak yang sudah berumur 30 tahun. Berarti,  justru lebih lama saya menginjak Bali ini, dibanding orang Hindu yang muda-muda itu.  Tapi sampai sekarang ini konotasinya masih dianggap belum orang  Bali. Sekarang konotasinya kita nomaden : di Jawa ndak dianggap orang Jawa,  di Bali ndak dianggap orang Bali”,  jelas H. Luqman,  “Jadi,  kadang-kadang lucu kalau saya bicara sama teman-teman di Parisade.  Di forum itu,  ketika kebetulan hari raya,  saya ditanya:  gak pulang ? Maksudnya apa ndak mudik ?  Jawab saya:  pulang ke mana ?  Lha wong saya ini orang Bali”.
Realitas inilah yang kini agak menjadi problem bagi umat Islam.   Meskipun lahir di Bali dan sudah turun temurun ada di Bali,  tetapi logika umum yang dibangun masih dianggap bukan orang Bali. “Jadi yang dianggap hanya yang beragama Hindu. Kalau diluar itu dianggap pendatang, walaupun lahir di Bali, hidup di Bali, sampai tua, sampai beranak cucu, tetap bukan orang Bali. Jadi  identitas Bali adalah Hindu. Kalau diluar itu tidak kategori orang Bali. Logika seperti ini perlu dibenahi”,   Kata H. Luqman mengakhiri penjelasan.
Udara masih temaram.  Mendung menggelayut di angkasa.  Meski siang hari,  tapi mentari tidak kunjung menampakkan diri.  Setelah mendapat banyak informasi dari tokoh-tokoh Muslim –juga Hindu– di Bangli,  kami masih menyempatkan waktu mengelilingi kota Bangli, terutama menyusuri  lokasi-lokasi komunitas muslim yang jumlahnya terhitung masih sedikit sekali.  Rinai turun ke bumi,   tetapi hati kami bernyanyi,   mensyukuri nikmat Ilahi yang tak terperi.***


Sudihati, Kampung Muslim di Kintamani

Danau Kintamani
Esuk Hari. Sinar mentari tampak berseri-seri. Setelah sehari sebelumnya saya menghabiskan waktu menyusuri kota Bangli, Silaturrahim ke komunitas Muslim di wilayah kota ini, hari berikutnya bersiap menuju kecamatan Kintamani. Sebagaimana mentari, wajah Pak Hasan yang akan mengantar ke lokasi juga tampak berseri. “Kita menuju tempat wisata yang super Indah”, kata pak Hasan membangkitkan penasaran di hati.
Kintamani dikenal wisatawan dunia dengan Gunung Batur dan Danau Baturnya. Posisi Kintamani sekitar 100 meter di atas permukaan laut, dihiasi oleh sawah dan pemandangan mempesona. Sedangkan, gunung Baturnya sendiri yang terakhir aktif di tahun 1926 tingginya sekitar 1.750 meter dari permukaan laut. Kompleks Batur sungguh digambarkan sebagai salah satu panorama terbaik di mayapada. Danau Batur merupakan sumber utama air irigasi bagi wilayah Bali bagian selatan dan timur. Di pantai barat Toyah Bungkah, dikelilingi landskap vulkanik secara mencolok menjadi tempat ideal untuk memancing dan berenang. Selain itu ada pula sumber air panas yang menantang untuk dikunjungi. Belum lagi desa Trunyan, terletak di panti timur laut Danau Batur, sebuah lokasi dengan adat Bali Mula alias Bali Aga (Bali asli) membuat pelancong penasaran untuk menapaki. Maklum, di tempat ini konon terdapat mayat-mayat yang tak dibakar (seperti kepercayaan Hindu) ataupun dikubur, melainkan dibiarkan tergelatak di tanah saja. Namun , konon –anehnya—tidak tercium bau busuk. Benarkah ? Wallahu a’lam, sebab saya memang tak mengagendakan mendatangi lokasi ini. Trunyan hanya dapat diakses oleh perjalanan perahu selama 30 menit, berangkat dari desa Kedisan di sisi selatan danau .
Seluruh lekak lekuk Kintamani katanya memang menjadi obyek plesiran yang cukup menarik dikunjungi. Oleh karena itu, sebagaimana mentari dan pak Hasan yang berseri-seri, hati saya dkk pun ikut berseri-seri menuju Kintamani. Di Kintamani inilah terdapat sebuah komunitas Muslim dengan nama Kampung Sudihati. “Dulu namanya Kampung Islam, tetapi akhirnya diubah menjadi Sudihati. Alasan pergantian karena mengikuti aturan dari pemerintah daerah”, jelas H. Husain, seorang tokoh Sudihati. “Kampung ini sudah menjadi dusun definitif. Dan kami telah memiliki hak pilih tetap sejak tahun 1985. Bahkan, kalau ada pemilihan kepala desa, kita sebenarnya punya hak mencalonkan juga. Sudihati merupakan satu dari delapan dusun yang ada”.
Penghuni Kampung Sudihati semuanya muslim. Pembinaan keagamaan intensif dilakukan sejak tahun 1981: mengaji Al Qur’an serta pengajian malam Jum’at. Bahkan, di tahun yang sama didirikan yayasan dan sebuah sekolah diniah, di atas sebidang tanah sewa (milik desa) secara oper sewa (dengan dibeli) dari orang Islam juga. Tanah sewa adalah tanah miliki desa, tetapi dipergunakan umat Islam Sudihati, di bawah pemeliharaan kampung Sudihati, dengan tiap tahun membayar sewa kepada desa dengan nilai sekedar simbolitas belaka.
Secara cultural komunitas Sudihati menganut paham Nahdliyyin bertipe Madura. Oleh karena itu, seperti kaum Madura pada umumnya, mereka cenderung menolak kedatangan aliran-aliran baru. “Karena ini pernah kejadian, shalat taraweh bubar. Waktu itu imamnya mantan pimpinan KUA, Abdurrahman, seorang Muhammadiyah. Karena disini shalat taraweh biasa 23 rakaat dikurangi jadi 11 rekaat. Akhirnya semua bingung, kok sudah selesai cepat sekali. Besoknya ribut warga. Akhirnya dikembalikan seperti sedia kala, 23 rakaat. Heboh. Ya betul, karena sudah membudaya dari Madura, Jawa Timur. Itu masalahnya. Jadi Muhamadiyah –apalagi aliran lain– tidak bisa masuk di Sudihati”, kata H. Husain sambil tertawa kecil.
Secara ekonomi, komunitas Islam terhitung berkecukupan. “Orang Sudihati-Kintamani hampir 90 persennya pedagang. Dagang sate dan macam-macam lainnya. Sebagian ada Guru atau PNS kiriman”, tambah H. Sulkan, tokoh Islam lainnya di Sudihati. Karena umumnya umat Islam bergerak di sector perdagangan, implikasinya restoran di wilayah Kintamani umumnya juga dijamin halal. Sebab, restoran mengambil daging sapi maupun ayam juga dari kalangan Islam. Daging ayam misalnya, dari H.Ali. Jadi seperti restauran Batursari atau Puncaksari dijamin halal. Restoran Kintamani juga ada, yang punya bahkan orang Jawa. Tetapi dia kalah ramai dibanding Grand Puncak dan Grand Kintamani. Para penjual bakso juga hampir semua muslim. Hanya satu dua yang tidak ada label, biasanya punya orang Hindu Bali.
Bagaimanakah sejarah asal usul kampung muslim Sudihati ?. Kampung itu dimulai tahun 1935, oleh empat pasang suami-istri: bapak Diye, bapak Tumah, bapak Saefudin, dan bapak Abdul Kadir. Mereka dari Madura untuk berjualan sate, kecuali Kadir asal Surabaya sebagai penjual Bandeng. Setahun berikutnya datang, Abdul Kamrah, asli Lombok pegawai kehutanan. “Dengan modal papan pemberian pak Abdul Kamrah mereka lantas membuat musholla, tepat di lokasi masjid ini”, jelas H. Husain. Keempat KK inilah yang akhirnya beranak pinak di sudut Kintamani.
Pada tahun 1970 an beberapa muslim datang lagi ke tempat ini, yakni: 3 KK dari Jawa dan 20 KK dari Madura. Pak Husain (asal Banyuwangi) sendiri juga datang di tahun 1970, setelah sebelumnya sempat di Bali Beach menjadi tenaga teknik lalu pindah ke Singaraja sampai 1970. Di tahun 2011 jumlah Muslim Sudihati mencapai 153 KK, 603 jiwa, serta yang memiliki hak pilih mencapai 402 orang.

Musholla yang dibangun tahun 1936 dikembangkan menjadi masjid (jami’). Semula masjid tidak memiliki nama, tetapi di tahun 1970 atas kesepakatan bersama diberi nama Masjid Al Muhajirin, sekaligus dibentuk pengurus dengan Ketua: H. Husain, Sekretaris: Kasim (mantan camat), bendahara: putranya Abdul Kadir, Agus Iskandar. Di tahun 1980 masjid dipugar dan dilengkapi alat pengeras suara atas bantuan dari Jakarta (Ibu Tien Soeharto) sebesar 250 juta.


Masjid Al-Muhajirin Kintamani Bangli
Tanah masjid dan sekitarnya semula hanya sewa. “Tetapi, akhirnya diberikan kepada seorang veteran etnis Madura, Saefudin oleh Wayan Jingge (seorang Hindu), sebagai tanda penghargaan bahwa Syaefuddin telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan di bawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Tanah ini diberikan untuk tempat ibadah dan kuburan”, kenang H. Sulhan. Memang, tanah hibah yang kala itu dilegalisir camat Made Ringin tidak luas, tetapi statusnya sudah kuat sebagai tanah wakaf. Adapun tanah pemukiman sekitar masjid yang ditempati umat Islam sampai kini masih merupakan tanah desa/adat. Umat Islam punya hak pakai/sewa dengan membayar pajak (sewa) setiap tahunnya.
Semula pembayaran sewa berupa beras dan janur kelapa. Tetapi melalui kesepakatan, akhirnya diganti uang secara tahunan (bukan perbulan) sehingga lebih tepat disebut uang pajak dibanding sewa. “Pertahun per KK dikenakan 50 ribu, yang diberikan ke kas adat”, jelas H. Husain. Uang itu dapat dikatakan sekedar simbolitas, sebagai silaturrahmi terhadap adat mereka, sebab umat Islam tidak ikut ke Pura.
Perlu diketahui bahwa di Bali tanah ada tiga penggunaan: parahyangan, pawongan, pelemahan. Umat Islam hanya terkait palemahan, sehingga untuk pawongan (yang intern Hindu) umat Islam cukup mengganti dengan pajak (sewa) tadi. Sebetulnya yang dikenakan kepada komunitas Islam namanya janur busung, janur sama beras 5 kg pertahun. “Tetapi agar tidak repot akhirnya diuangkan. Pertama kali 6 ribu rupiah, lalu naik lama-lama menjadi 20 ribu, dan baru dua tahun menjadi 50 ribu rupiah. Penilaian kenaikan dilakukan oleh adat”, jelas H. Sulhan.
Hubungan umat Islam – umat Hindu relatif berjalan baik. Kalau ada pembangunan pura desa, warga kampung Islam sebenarnya tidak pernah dimintai iuran. Namun, mereka biasanya partisipasi dengan sumbangan sukarela kepada panitia. Jika kepala dusun Islam punya hajat, senantiasa mengundang tokoh-tokoh Hindu, demikian pula sebaliknya. Orang Hindu yang mengundang kalangan Islam biasanya membawa tukang masak dari kalangan Islam agar tidak menimbulkan keraguan. Selain itu, kalau ada upacara adat (seperti upacara pertama kematian) ada perwakilan yang datang. “Yang penting orang desa tahu, ada warga kampung Muslim datang. Begitu pula sebaliknya. Bahkan pecalang pun ikut terlibat bila kita ada acara, seperti hari raya”, kata H. Husain. Semua generasi anak-anak Sudihati juga bisa berbahasa bali, realisasi dari identitas kebalian mereka. Dengan komunikasi seperti itulah, maka dalam konteks kerukunan antar umat, Sudihati menjadi percontohan di Bangli.
Selain itu ada hal istimewa yang membuat komunitas Hindu menjadi bersikap baik kepada umat Islam, yakni: di tahun 1981 kampung Sudihati membela warga Hindu Kintamani ketika berselisih dengan warga Hindu dari Batur Selatan. “Terjadi pada saat hari raya nyepi. Perselisihan akibat pelemparan ketika mengusung ogoh-ogoh. Massa dari Batur Selatan keluar mengancam Kintamani. Saat itu malam hari. Kaum tua Hindu Kintamani musyawarah, dan meminta bantuan dari kampung Islam Sudihati yang kebanyakan etnis Madura. Waktu itu sebenarnya belum apa-apa, tapi kita berinisiatif barang-barang berharga ditanam agar aman. Kerugian memang ada, terutama karena tidak sempat berjualan. Kita tampil, sehingga sampai bantuan sekian kompi dari Denpasar datang mengamankan. Kita sempat dijaga Brimob, dikira kita yang memulai”, cerita H. Husain mengenang peristiwa tiga decade lalu.
Solidaritas kintamani itulah yang menjadi factor lain dimana umat Hindu bersikap baik terhadap umat Islam. Bahkan setelah peristiwa itu hal-hal terkait administrasi pertanahan misalnya, segera diselesaikan, mungkin sebagai wujud penghargaan terhadap loyalitas kampung Muslim sebagai warga Kintamani. Makam muslim juga ditata, bahkan dewasa ini sudah ada pagar, ada pintu masuk alias gapura. “Makam kita nomer satu alias paling bagus. Bangli saja kalah sama makam kita”, kata H. Sulhan bangga.
Problem kecil tentu saja ada dalam konteks hubungan antar umat beragama. “Sebelum tahun 1980an misalnya, soal bedug di masjid. Saya sampai dipanggil sama kepala desa karena dianggap menyamai kulkul. Kami memberikan sosialisasi, pengertian, dan akhirnya dibolehkan”, Timpal H. Husein. Setelah bom Bali pun di Kintamani tidak ada problema berarti. Hanya intel saja yang kadang-kadang datang, bahkan sampai di tahun-tahun sekarang. Kalau ada masalah (teroris) di Jawa misalkan, Intel dan dari Polda biasanya datang menanyakan mungkin ada orang yang dua hari terakhir datang atau pindah. “Memang, (tempat ibadah) kita sempat terusik 10 tahun lau (menyusul peristiwa bom Bali) yakni ada pelemparan baru. Hal ini kita bawa sampai ke level kabupaten. Dari Trantip, Dandim, Kapolres, Pemda kabupaten, kala itu dikumpulkan, maunya di masjid tetapi saya tidak boleh karena lebih enak di kecamatan. Setelah dimusyawarahkan bersama, sampai kini tidak ada problem lagi”, timpal H. Sulhan.
Ada juga peristiwa lain, di dusun tidak jauh dari Sudihati. Pernah seorang pendatang muslim kencing berdiri, tidak tahu bahwa itu di tempat sangga. Orang itu dihajar massa bahkan hampir dibakar. “Saya membesarkan keberanian, datang ke pak Kades, komunikasi dalam konteks hukum karena si tersangka sudah satu dua hari tidak diberi makan. Akhirnya, lelaki yang sudah babak belur itu dibebaskan. Semua problema umat Islam yang datang ke sini tetap kita bantu, kecuali kalau masalah judi, saya tidak mau”. Agar umat Islam yang datang ke Kintamani tidak mengalami problema cultural, mereka disarankan tergabung dalam Perkumpulan Suka Duka Sudihati, termasuk ikut pengajian. Memang perkumpulan itu ada iurannya, namun dari sisi jumlah (lima ribu perbulan) tidak seberapa dibanding manfaatnya, terutama untuk mengatasi bila ada problema, seperti kasus kematian, problem penguburan, masalah ketidakpahaman adat, yang semuanya menjadi problematic ketika berhubungan dengan adat lokal. “Adanya adat. Desa adat, itu yang saya takutkan”, tandas H. Husain. “Aturan pemerintah lain dengan aturan adat. Cuma adat inilah sekarang di atas pemerintahan desa. Sekarang berubah seperti itu. Bupati saja kalah. Makanya saya tidak salut dengan otonomi daerah karena menjadikan raja-raja kecil. Bagi kami, raja-raja kecil jadi muncul semua akibat otonomi daerah”, tandas H. Husain.
` Di Kintamani sebenarya terdapat komunitas muslim lain selain Sudihati. Tetapi lokasinya agak terpencil dan jumlah penduduknya tidak banyak, yaitu di wilayah Kutuh. Mereka adalah kaum muallaf yang diislamkan oleh yayasan Sudihati di tahun 1982. Asal usul mereka sebenarnya dari Karangasem, datang ke Kutuh mengungsi dari letusan gunung Agung tahun 1963. Mereka asalnya muslim, semula hanya 2 KK. Ketika suaminya meninggal si wanita kawin lagi dengan orang Hindu dan beranak pinak. Di tahun 1982, ada seorang Hindu –belakangan berganti nama Ihsan– sakit-sakitan. Dia bermimpi yang intinya menjelaskan bahwa dahulu keluarganya adalah Islam. Orang inilah yang akhirnya menyatakan diri menjadi Islam, dan lantas diikuti anggota keluarga lainnya, sekitar 27 jiwa atau 7 KK. “Ada yang namanya pak Darma, Pak Suta. Saya suruh ganti namanya menjadi Ihsan. Dialah yang disunat di tahun 1981 ketika berusia 17 tahun, dan sekarang menjadi menantu pak H. Saad”, kenang H. Husain menerangkan. Komunitas ini lantas dibina ustadz Miyadi asal Karangasem yang memang ditugaskan Habib Adnan (MUI). “Masyarakat Kutuh secara ekonomi kurang. Kalau masjid Al Muhajirin ada kelebihan, fitrah-fitrah kita kirimkan. Lokasi mereka di atas gunung”, kata H. Husain mengakhiri penjelasan.
Seiring berakhirnya keterangan itu, saya dkk segera meluncur cari makan. Setelah menyantap sate Madura ala kampung Sudihati, kami sesaat menikmati panorama indah khas Kintamani. Dari lokasi ketinggian Kintamani, kami dapat melepas pandangan ke segala posisi. Memang, Kintamani sungguh elok menawan hati. ***


Pura Langgar Di Bunutin: Bukti Sejarah Islam Permulaan di Bangli

 

Pura Langgar di Bunutin
Selama penelusuran  di Kabupaten Bangli,  umumnya saya memperoleh informasi bahwa Muslim Bangli baru mulai berkembang di tahun 1970an.  Namun,  jika ditelusuri lebih mendalam sebenarnya eksistensi Muslim di Bangli sudah ada jauh sebelum era kemerdekaan.  Tercatat misalnya,  pernah ada seorang Muslim bernama Tengku Hasan yang berasal dari Aceh. Beliau datang ke Bangli karena lari dari kejaran Belanda,  sehingga orang ini sangat dihormati orang Bali yang juga anti kolonial.  Bahkan Tengku Hasan itu akhirnya kawin dengan orang Bali.  “Konon dia punya satu anak lelaki, Tengku Zaenudin, yang juga memiliki nama Bali Putu Badung. “Jadi,  keluarga Pak Putu Badung ini dipercaya sebagai muslim yang pertama kali tinggal di kota Bangli”,  jelas H. Lukman.
Bahkan,  untuk kabupaten Bangli secara keseluruhan,  sejarah kedatangan Muslim usianya jauh lebih tua dari eksistensi Tengku Hasan tadi. Eksistensi Pura Langgar di wilayah Bunutin misalnya,  menjadi bukti otentik dari kedatangan Islam. Langgar merupakan istilah khas Jawa Timur untuk menyebut masjid kecil alias musholla, tempat ibadah orang Islam.  Sedangkan,  pura merupakan tempat ibadah orang Hindu. Dengan demikian,  Pura Langgar merupakan refleksi  nama dari dua tempat peribadatan bagi dua komunitas agama: Hindu dan Islam.
Pura Langgar berada di Desa Bunutin, Kecamatan Bangli, Kabupaten Bangli. Rumah persembahyangan umat Hindu ini dikenal pula dengan nama Pura Dalem Jawa. Perlu waktu sekitar 15 menit melaju dengan kendaraan bermotor dari Kota Bangli ke arah selatan untuk sampai ke pura ini. Lokasinya di sisi Timur jalan raya,  lantas memasuki sebuah gang sekitar 100 meter.
Pura yang dikelola Puri Bunutin ini memiliki sisi sejarah sangat panjang, yang konon ada kaitannya dengan Kerajaan Blambangan tempo dulu. Bahkan, leluhur kalangan Puri Agung Bunutin juga berasal dari trah Raja Blambangan, Jawa Timur. Apa dan bagaimana sejarah keberadaan Pura Langgar ?
Kisahnya bermula dari sosok raja Bunutin yakni I Dewa Mas Wilis yang memiliki dua istri. Sang permaisuri (padmi) melahirkan dua putra:  Ida I Dewa Mas Blambangan dan Ida I Dewa Mas Bunutin. Dari istri penawing (selir) lahir : I Dewa Wayahan Mas, I Dewa Made Mas, dan I Dewa Nyoman Mas.  Ketika Mas Wilis turun tahta digantikan Mas Blambangan,  raja baru ini mendadak sakit parah usai penobatan. Penyakit berlarut-larut bahkan sampai lima tahun,  meskipun berbagai upaya pengobatan telah diupayakan.
Adik kandungnya,  Ida I Dewa Mas Bunutin, merasa iba lantas berinisiatif melakukan dewasraya di Mrajan Agung, melakukan yoga samadhi melalui seorang perantara (balian). Ketika mengalami kerauhan dari mulutnya keluar sabda, “Wahai Mas Blambangan, Mas Bunutin, dan semua yang ada. Aku Dewaning Selam yang bernama Tuhan Allah. Aku minta supaya dibuatkan pelinggih Langgar tempatmu sembahyang kepadaKu. Jika tidak , maka terus-menerus secara turun-temurun akan menderita sakit berat, walau tidak akan mati”.   Inti perintah itu adalah:  Mrajan Agung yang sudah ada perlu dilengkapi sebuah pura berbentuk langgar. Ini dianggap sebagai Pelinggih Ida Bhatara Dalem Blambangan untuk mewujudkan bhakti kepada kawitan. Jika tidak dibuatkan pelinggih berupa langgar, penyakit sang raja tidak akan sembuh. Raja Bunutin bakal menderita selamanya. Namun, jika dibuatkan langgar, penyakit beliau akan sembuh. Prosesnya tanpa obat. Jika kelak sehat, hidupnya akan selamat sejahtera, bahagia tanpa kekurangan apa pun. Namun, jika ada yang menolak membuat langgar kelak tidak akan selamat. Bahkan, mereka yang menolak ini dibayangkan akan turun wangsa kesatriaannya.
Tiga bersaudara dari ibu selir tidak setuju membangun langgar, serta siap menerima segala risikonya. Mereka menganggap permintaan membuat langgar dalam areal pura tidak sesuai ajaran Hindu. Namun, Raja Bunutin dan adiknya, Mas Bunutin, tetap membangun langgar, apalagi setelah direstui Raja Gelgel (sekarang masuk wilayah Klungkung).  Persetujuan Gelgel ini tidak terlalu aneh, sebab Gelgel sendiri memang memiliki rakyat –yang mengabdi kepada kerajaan– dari kalangan Muslim (yang tingggal di Kampung Gelgel) yang terjadi bahkan sejak Dalem Ketut Nglesir (sebelum 1460) dan Watu Renggong di tahun 1460-1550. Bahkan,  merujuk ke era Gelgel berarti pembangunan Langgar ini pun setidaknya terjadi  di tahun 1500 an juga.
Ketiga saudara yang tak sepakat (Wayahan Mas, I Dewa Made Mas dan I Dewa Nyoman Mas) terhadap pembangunan Langgar akhirnya dipanggil untuk tinggal di Puri Gelgel. Namun, ketiga orang itu akhirnya dituduh bersekongkol saat terjadi aksi kudeta yang diotaki lima patih Kerajaan Gelgel (yakni: Kyai Batan Jeruk, I Gusti Tusan, I Gusti Abian Nangka, I Gusti Bebengan, dan I Dewa Anggungan). Para tersangka termasuk ketiga saudara seayah Mas Blambangan pun ikut hengkang. I Dewa Wayahan Mas lari ke Desa Abian Bambang, Karangasem. I Dewa Made Mas lari ke Denbukit, Desa Banjar, Buleleng.  Sedangkan I Dewa Nyoman Mas memilih ke Tukad Unda. Bahkan,  jejak keturunan mereka akhirnya tak diketahui hingga kini.  Dengan demikian,  “sabda” dari Dewaning Selam terhadap siapa yang mengikuti perintahnya dan siapa yang mengingkarinya menjadi terbukti.  Jika pembangunan Langgar itu dirujukkan pada era pemberontakan di Gelgel (oleh Patih Batanjeruk) berarti peristiwa itu terjadi di tahun 1556 M. Dengan demikian,  usia Langgar itu sudah lebih dari 450 tahun.  Atas dasar sejarah itulah, maka secara turun-temurun keberadaan Pura Langgar mendapat penghormatan sangat  besar dari masyarakat Hindu di Bunutin hingga kini.
Namun,  ada versi yang agak berbeda terkait dengan kesembuhan sang Raja.   informasi alternatif menyebutkan bahwa raja yang sakit berhasil disembuhkan oleh seorang ulama Islam.  Bahkan, ulama ini akhirnya diangkat menjadi tabib kerajaan,  serta memberi pelayanan pengobatan pula kepada masyarakat setempat. Dialah pendiri bangunan langgar sebagai tempat ibadah keluarga dan para pengikutnya. Bahkan, ditempat itu pula,  akhirnya ia dimakamkan setelah wafatnya.  Langgar  itulah yang sampai kini tetap dihormati, oleh masyarakat Bunutin.  “Bangunan langgarnya memang sudah lama hilang. Mungkin bangunan dasarnya saja yang sama : yang kalau boleh kita katakan makam ya”,  kata H. Luqman yang pernah menjadi ketua MUI Bangli,   “Peninggalannya masih,  Batu tempat sujud malah dikeramatkan oleh mereka. Terus ada air kelembutan. Air kelembutan konon oleh aulia Islam dahulunya dipakai untuk wudhu. Kini air itu malah dipakai sebagai air suci. Mereka melestarikan pada jalur spiritual yang begitu ya”.
Terlepas versi mana yang lebih akurat,  setidaknya terkait dengan keberadaan Pura Langgar,  terdapat dua hal yang patut digarisbawahi:
Pertama, Realitas Pura Langgar di puri Bunutin menunjukkan bahwa eksistensi Muslim di Bangli sebenarnya sudah ada sangat lampau,  di tahun 1500 an, hanya saja memang terhenti atau tidak berkembang seperti di wilayah-wilyah lain di Bali.  Komunitas muslim Bangli baru berkembangkan lagi di tahun 1970-1980an.
Kedua, keberadaan Pura langgar menunjukkan adanya akulturasi yang bersifat kelampauan antara budaya Islam dengan Hindu. Akulturasi itu dipegang secara kukuh oleh orang Hindu Bangli sampai saat ini. Dalam  ritual upakara Galungan di Pura Langgar misalnya,  sesajen babi hanya boleh disajikan di Pura Dalem. Sajen babi tidak boleh di bawa ke Bale Agung, Kaler, dan Pajenengan. Bahkan, Banten atau sesajen satu-satunya di Bali yang diberi nama sajen selam hanya ada di Bangli. Selam adalah penyebutan Islam oleh lidah orang Hindu Bali. Karena disebut sajen selam,  maka yang disajikan hanya makanan-makanan yang tidak diharamkan orang Islam.
Masyarakat Hindu Bunutin secara umum terus merawat pura langgar dan mengikuti apa yang sudah jadi adat leluhur. Disitu yang boleh disajikan untuk tingkatan yang tertinggi harus itik. Babi tidak boleh, dan hanya dibolehkan di luar kawasan pura langgar. Memang,  untuk kawasan pura dibolehkan babi,  tetapi habis itu ke tempat yang paling suci yang disebut  pura langgar dia harus naik tangga lagi. “Nah di lingkungan yang tertutup ini, letaknya di  tengah-tengah,   berbagai hal yang dilarang Islam,  tidak boleh ada”,  terang H. Lukman. “Tempat utama atau tertinggi di pura itu biasa pula disebut utamaning Mandala. Dengan demikian,  justru lokasi langgar  itu yang dianggap paling suci oleh umat Hindu Bunutin”.
Bangunan yang disebut langgar itu memiliki ciri khas berundak dua,  berpintu empat,  serta atapnya bertingkat dua.  “Konon, dua tingkat atap dan dua undak itu melambangkan syariat dan tarekat dalam Islam.  “Syariat adalah hukum yang mengatur tata kehidupan dan peribadatan umat,  sedangkan tarekat adalah jalan menuju Tuhan”,  demikian penjelasan Ida I Dewa Ketut Raka,  sebagaimana saya kutib dari sebuah tulisan. Ida I Dewa Ketut Raka adalah penglisir Pura Langgar alias Pura Dalem Jawa ini. Sayang sekali saya tak sempat bertemu dengan penglisir itu,  dan hanya bertemu dengan bu Mangku,  sebab suaminya memang sudah meninggal.
“Silahkan masuk saja, pak” kata bu Mangku sangat ramah mempersilahkan, “Kebetulan kita lagi ada upacara rajekwesi”.  Namun,  saya terus terang merasa tidak nyaman untuk blusukan ke dalam,  takut mengganggu acara. Hanya dua temanku,  Hamdan dan Indri yang nekad masuk dengan syarat melilitkan selendang kuning ke pinggangnya.
Meski tidak ikut blusukan masuk,  banyak hal tetap bisa saya dapatkan dengan cara ngobrol dengan seorang ibu yang sedang sibuk mempersiapkan banten untuk upacara.  Ibu itu menjelaskan bahwa upacara rajekwesi merupakan proses ritual terhadap segala perabotan yang terbuat dari besi,  termasuk kendaraan,   agar semua tidak menimbulkan celaka,  tetapi justru membawa keberkahan bagi kehidupan mereka. “Umat Hindu di sini juga mengenal istilah Qurban,  seperti dalam Islam yang kita sebut dengan upacara titimamah dengan menggunakan pakelem berupa godel bang (merah).  Bedanya, jika umat Islam melakukan korban pada hari raya Idzul Adha,  maka upacara qurban di Pura Langgar dilaksanakan pada Tilem Sasih Kawulu,  atau sekitar bulan Pebruari”,  tambah ibu tadi.
“Pakelem berupa godel bang, itu apa maksudnya bu ?,  tanya saya tak mengerti. “Maksudnya, sapi muda berambut merah,  sebagai unsur alami yaitu untuk menjaga keselarasan kosmis.  Sapi adalah simbul dari bumi ibu karena semua bagiannya dapat digunakan untuk kepentingan manusia”,  tandas ibu itu mengakhiri penjelasannya. Sayang sekali,   saya lupa menanyakan namanya. Tetapi,  saya tentu tidak lupa untuk berterima kasih kepadanya.
Senja membayang.  Angin berhembus pelan.  Dengan laju pelan pak Hasan menyetir mobil menembus gerimis timis yang  terus membayangi kami dalam perjalanan.***



-----------------------------------
Sumber :
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/03/05/muslim-di-kota-bangli-bali-tulisan-4/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/03/15/sudihati-kampung-muslim-di-kintamani-bangli-tulisan-5/
http://dhurorudin.wordpress.com/2012/04/05/pura-langgar-di-bunutin-bukti-sejarah-islam-permulaan-di-bangli-bali/



Tidak ada komentar:

Posting Komentar