Senin, 22 Mei 2017

Konsepsi Manunggaling Kawula-Gusti Menurut Ajaran Suluk Wujil



Berbagai macam pandangan dilontarkan untuk menilai sejauh mana faham ketuhanan yang dianut oleh Suluk Wujil. Pantheisme ataukah monotheisme?. Poerbatjaraka adalah salah satu dari sekian banyak pakar yang menduga bahwa faham ketuhanan yang diajarkan Suluk Wujil bercorak pantheistik, dengan alasan bahwa Suluk Wujil mengajarkan “Ngelmu Kasampurnan” atau mengajarkan “Ajaran Rahasia Manunggaling kawula-Gusti”  yang dianut secara luas oleh masyarakat Jawa pada saat itu, yang pada umumnya bercorak panteistik. (Poerbatjaraka, 1985; 50-51).
Sehubungan dengan dugaan tersebut, tidak dapat disangkal bahwa Suluk Wujil memang mengajarkan ajaran rahasia Manunggaling kawula-Gusti (Rahasia kebersatuan antara manusia dengan Tuhan). Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah, apakah ajaran Suluk Wujil  tersebut  terkandung faham panteisme yang meniadakan batas keberadaan antara Tuhan dan makhluk-Nya? Ataukah ia masih mempertahankan batas keberadaan antara keduanya, sehingga ajarannya dapat dikelompokkan kedalam faham monoteisme? Hal tersebut perlu diadakan penelitian secara khusus setiap ajaran Suluk Wujil yang berkaitan dengan persoalan “Manunggaling kawula-Gusti”. Hanya saja dalam persoalan ini, ada beberapa kesulitan untuk mengungkapkannya, di antaranya adalah :
1.      Ajaran rahasia “Manunggaling kawula-Gusti” tersebar didalam beberapa bait syair secara acak. Artinya, tidak tersusun secara urut dan sistimatis sehingga sering menimbulkan kesulitan didalam merumuskan kembali ajaran yang dikehendaki oleh Suluk Wujil.
2.      Tidak disebutkannya sumber pengambilan ajarannya secara jelas, sehingga menimbulkan kesulitan dalam mengadakan penilaian, perbandingan dan pengelompokan kedalam faham tertentu. Walaupun telah diyakini dan diduga, bahwa ajaran Suluk Wujil bersumber dari Sunan Bonang.
3.      Ajaran Suluk Wujil lebih mencerminkan suatu perasaan keagamaan daripada suatu gagasan pemikiran (sistim filsafat), sehingga sulit ditemukan suatu sistim pemikiran yang sudah jelas batas-batasnya, yang tersusun secara logis dan serba menyatu.
Jalan keluar untuk memecahkan kesulitan dalam membahas persoalan Manunggaling kawula-Gusti ini adalah dengan cara menampilkan pendapat-pendapat atau pilihan kata-kata (bait syair) yang diduga megandung ajaran Manunggaling kawula-Gusti. Walaupun tidak dapat disangkal bahwa cara ini bersiko untuk melakukan penafsiran secara subyektif, jauh dari pemahaman yang dikehendaki oleh penyusunnya.
Uraian di muka menjelaskan, bahwa posisi keberadaan Tuhan dan dunia adalah sangat berbeda. “Ada atau Wujud Tuhan merupakan “Ada” yang bersifat hakiki, mutlak lagi mandiri, yang menjadi sumber dari segala sesuatu yang “ada” (dunia). Sebaliknya, “ada” atau wujud makhluk merupakan “ada” yang bersifat majazi, yakni “ada” yang bukan sebenarnya, dan keberadaannya tergantung kepada “Ada” Tuhan. Dengan perbedaan  posisi keberadaan tersebut, keduanya, nampaknya, tidak dapat dipersatukan atau dilebur menjadi satu-kesatuan wujud. Akan tetapi, jika memperhatikan bait-bait syair Suluk Wujil, maka akan ditemukan beberapa bait syair yang mengajarkan atau sedikitnya menyinggung persoalan Manunggaling kawula-Gusti (kebersatuan hamba dan Tuhan). Persoalannya, kemanunggalan yang bagaimanakah yang dimaksudkan oleh Suluk Wujil? Apakah kemanunggalan dalam pengertian yang sebenarnya, ataukah dalam  pengertian seolah-olah bersatu ?. Untuk menjawab persoalan tersebut, menurut hemat penulis, diperlukan adanya urut-urutan pembahasan sebagai berikut :
1.      Kerinduan manusia kepada Tuhan;
2.      Ajaran tentang “Persatuan hamba dan Tuhan”

1.      Kerinduan  Manusia  Kepada  Tuhan

Suluk Wujil mengajarkan, bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan Allah swt dari empat unsur, yakni tanah, api, angin dan air, yang selanjutnya dilengkapi dengan empat sifat ketuhanan, sebagaimana yang diungkapkan didalam bait 15 berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(15). Catur  prakara anasirneki // bumi geni angin iku toya // samana duk panapele // sipate iku catur // kahar jalal jamal lan kamil // katrapan sipating Hyang // wowolu kehipun // lampahe punang sarira // manjing metu  yen metu ndi paraneki // yen manjing ndi pernahnya.
Terjemahan Suluk Wujil :
(15). “Empat macam anasir itu adalah tanah, api, angin dan air. Ketika Tuhan menciptakan Adam, maka digunakanlah empat macam anasir tersebut, kahar, jalal, jamal dan kamal yang mengandung sifat-sifat Tuhan delapan macam. Hubungannya dengan jasmani ialah bahwa sifat-sifat itu masuk dan keluar. Jikalau keluar, ke mana perginya, dan jika masuk, di mana tempatnya?”
Sesuai bait di atas, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang terdiri dari jasmani dan rohani. Sebagai makhluk jasmani, manusia diciptakan Allah swt dari empat unsur yang meliputi tanah, api, angin dan air. Dan sebagai makhluk rohani, manusia dilengkapi dengan empat sifat ketuhanan, yaitu   kahar (kuat, kuasa), jalal (agung), jamal (elok, indah) dan kamil (sempurna). Perpaduan antara keempat unsur pembentuk jasmani dan keempat sifat ketuhanan yang melandasi kejiwaan manusia itu, akan melahirkan delapan sifat yang saling bertetangan didalam diri-pribadi manusia, sebagaimana yang diungkapkan didalam bait 16 dan 17 berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(16). Tuwa anom kang anasir bumi // lakune puniku kawruhana // yen atuwa ndi enome // lamun anom puniku // pundi rekeh tuwanireki // anasir geni ika // apes kuwatipun // yen kuwat endi apesnya // lamun apes pundi nggene kuwatneki // tan sampun kasapeksa.

(17). Miwah ta rekeh anasir angin // lakune iku ana lan ora // yen ora pundi anane // lamun ana puniku // aneng endi oranineki // ingkang anasir toya // pejah gesangipun // yen urip pundi patinya // lamun mati ndi parane uripneki // sasar yen ora wruha.
Terjemahan Suluk Wujil :
(16). “Anasir tanah menimbulkan adanya kedewasaan dan keremajaan. Sifat-sifatnya harus kau ketahui. Di manakah adanya keremajaan dalam kedewasaan, dan di manakah kdewasaan dalam keremajaan. Anasir api menimbulkan kelemahan dan kekuatan. Di manakah adanya kekuatan dalam kelemahan? Itu harus kau ketahui”.
 (17). “Sifat-sifat anasir angin mencakup ada dan tiada. Didalam tiada, dimanakah letaknya ada ? Didalam ada, dimanakah letaknya tiada ? Anasir air memiliki sifat mati dan hidup. Dimanakah adanya mati dalam hidup, dan kemanakah perginya hidup pada waktu mati? Kamu akan tersesat jika kamu tidak mengetahuinya”.
Kedelapan sifat yang ada didalam diri manusia tersebut (lihat bait 16-17 di atas) mencerminkan adanya sifat-sifat kemanusiaan dan ketuhanan, yang berarti bahwa pada diri manusia itu terdapat unsur kemanusiaan dan unsur ketuhanan. Kedelapan sifat tersebut saling bertentangan dan saling memihak ke arah sifat (unsur) kemanusiaan dan ketuhanan. Unsur-unsur jasmani manusia cenderung ke arah kesenangan duniawi, sementara unsur-unsur rohani manusia (sifat-sifat ketuhanan) cenderung untuk mengajak kembali dan bersatu dengan Tuhan.  Akan tetapi, kesenangan manusia terhadap yang duniawi (untuk memenuhi kebutuhan jasmaninya) ini akan menjadi penghalang bagi rohani atau jiwa manusia untuk kembali bersatu dengan Tuhannya. Agar Rohani dan jiwanya bebas dari rintangan tersebut, maka seseorang harus mematikan hawa nafsu dan menjauhi kesenangan duniawi, sehingga usaha dan tugas hidup manusia untuk rindu dan kembali bersatu dengan Tuhan akan tercapai. Sebagaimana dijelaskan oleh bait 18-19 berikut ini:
Teks Suluk Wujil :
 (18). Kawruhana tatalining urip // ingkang aningali ing sarira // kang tan pegat pamujine // endi pinangkanipun // kang amuji lan kang pinuji // sampun ta kasapeksa //marmaning wong agung // padha angluru sarira // dipun nyata ing uripira sejati // uripira neng dunya.
(19). Dipun weruh ing urip sejati // lir kurungan raraga sadaya // becik den wruhi manuke // rusak yen sira tan wruh // Hih ra Wujil salakuneki // iku mangsa dadiya // yen sira yun weruh // becikana kang sarira // awismaa ing enggon punang asepi // sampun kacakrabawa.
Terjemahan Suluk Wujil :
(18). “Ketahuilah, bahwa pegangan hidup adalah mengetahui diri sendiri, sambil tidak pernah melupakan sembahyang secara khusyuk. Harus kau ketahui juga, dari mana datangnya si penyembah dan Yang Disembah. Oleh sebab itu, maka orang-orang yang agung mencari pribadinya sendiri untuk dapat mengetahui dengan tepat hidup mereka yang sebenarnya, hidup mereka di dunia ini”.
(19). “Kau harus mengetahui hidup yang sebenarnya. Tubuh ini seluruhnya bagaikan sangkar. Akan lebih baik jika kau mengenal burungnya. Oh, Wujil, dengan tindakan-tindakn-Nya, kau akan jatuh sengsara tanpa hasil jika tak kau ketahui. Dan jika kau ingin mengenal-Nya, kau harus membersihkan dirimu. Tinggallah di suatu tempat sunyi, sepi dan jangan menghiraukan keramaian dunia ini”
Berangkat dari pandangannya di atas, Suluk Wujil mendasarkan ajarannya tentang Manunggaling kawula-Gusti pada “Pengenalan diri sendiri”. Pengenalan diri sendiri akan mendorong manusia untuk mengenal Tuhannya. Berdasarkan ajaran ini, Suluk Wujil menganggap penting usaha “pengekangan hawa nafsu” dan “penggairahan cinta” untuk dijadikan sebagai landasan bagi usaha bersatu dengan Tuhan, sebagaimana fragmen berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(23). Wujil kawruh ing sariraneki // iya iku nyataning pangeran // tan angling yen tan ana wadine // dene wasitanipun // ana malih  kang angyakteni // samya  luruh sarira // sabdane tanpa sung // amojok saking susanta // tanpa sung kaliru saking pernah neki // iku kang aran lampah.
 (24). Pan nyata ananing Hyang aneng sih // ening kasucianing pangeran // ana ngaku kang wruh mangke // laksanane tan anut // raga sastra tan den gugoni // anglalisi subrata // kang sampun yekti wruh // anangkreti punang raga // paningale den wong-wong rahina wengi // tanpa sung agulinga.
Terjemahan Suluk Wujil :
(23). “Oh, Wujil! Mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan. Dan orang yang mengenal Tuhan, ia tidak sembarang bicara, kecuali jika kata-katanya mempunyai maksud penting. Ada pula orang lain yang mengenal-Nya, mereka telah mencari dan menemukan dirinya. Mereka tahu, bahwa seseorang tidak boleh terpelanting diluar kehalusan, dan bahwa tidak boleh memilih tempat yang keliru. Demikianlah laku yang benar”.
 (24). “Oleh karena itu jelaslah, bahwa Tuhan beserta kesucian yang murni berada didalam kecintaan. Ada pula orang yang merasa mengenal Dia. Perilaku orang itu tidak sesuai dengan kaidah. Ia tidak patuh terhadap ajaran tentang (pengendalian) hawa nafsu dan mengenyampingkan kehidupan yang saleh. Sesungguhnya orang yang mengenal Dia, ia akan mampu mengekang hawa nafsunya. Siang malam ia mengatur indera penglihatannya dan dicegahnya untuk tidur”.
Suluk Wujil secara berulang-ulang menyebutkan pentingnya  pengendalian hawa nafsu. Hal ini dapat disimak antara lain pada bait 19, 22, 24, 25, 32, 43 dan 69. Di samping menganggap penting sikap Cinta (Mahabbah) kepada Allah swt dalam rangka meningkatkan gairah beribadah, berdzikir dan mengarahkan setiap gerak langkahnya untuk menghambakan diri kepada-Nya, sebagaimana yang diungkapkan Suluk Wujil dalam bait ke 20 dan 24. Dengan kedua dasar tersebut Suluk Wujil mengajarkan agar manusia menempuh cara-cara tertentu (“thariqat”) didalam usahanya untuk bersatu dengan Tuhan, baik cara-cara yang bersifat purgatif (penyiksaan diri), maupun yang bersifat kontemplatif (perenungan). Di antara cara-cara yang bersifat purgatif (penyiksaan diri) misalnya berupa usaha mematikan dan mengekang hawa nafsu, mengasingkan diri di tempat yang sepi dan menjauhkan diri dari keramaian dunia (uzlah), menjaga pembicaraan yang tidak bermanfaat, sedikit tidur  (bait 19 s.d. 23), menghiasi diri dengan akhlak yang mahmudah (terpuji), menjauhi kesenangan duniawi, mengurangi makan-minum. dan tidak menghiraukan pakaian (bait 62, 69 dan 70). Sedangkan cara-cara yang bersifat kontemplatif (perenungan)  antara lain misalnya shalat yang khusyuk, berdzikir (bait 12 s.d. 14, 33 s.d. 36), dan merenungkan kejadian alam (bait 20). Cara-cara tersebut akan mengantarkan seseorang untuk bersatu dengan Tuhan, melalui empat pangkat : syari’at, thariqat, hakikat, dan ma’rifat. (Lihat Bab III, Sub Bab A, tentang Ajaran tentang jalan kembali kepada Tuhan).

2.      Ajaran  Tentang  Persatuan  Hamba  dan Tuhan
Suluk Wujil menampilkan ajaran tentang Persatuan antara manusia dan Tuhan atau ajaran Manunggaling kawula-Gusti didalam bait 26 dan 27 berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(26). …// mapan wartaning kang utami // yen ta ora enggona // pegat tingalipun // tingal jati kang sampurna // aningali nakirah yakti dumeling // kang sajatining rupa.
(27). Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan seng purbane // Wujil sampun tan emut // lamun anggung tinutur Wujil // nora na kawusannya // siyang lawan dalu // den rasani wong akathah // kitabipun upama perkutut adi // asring den karya pikat.
(28). Raosana ing rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene // lewih wong meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // pan saosikipun // ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’ widya nampani // meneng muni den wikan.
 Terjemahan Suluk Wujil :
(26). …Sesungguhnya menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung. Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud yang sebenarnya”.
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya. Jangan kau lupakan selama-lamanya, Wujil. Jika kita bicarakan tentang hal itu, tidak akan habis. Siang dan malam orang berbicara mengenai Dia. Kitab-kitab-Nya yang Suci seolah-olah merupakan burung perkutut yang bersuara merdu, yang kerap kali memikat orang lain kepada-Nya.”
(28). “Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya, tetapi jika ia belum pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia. Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti pengetahuan. Maka pahamilah arti diam dan bicara.”

Bait 26 dan 27 di atas menjelaskan tentang keadaan seseorang yang sedang mengalami “fana’” (“pegat tingalipun”, “berakhir penglihatannya”). Menurut penglihatannya saat itu, tidak dapat lagi dibedakan antara wujud Tuhan dan dunia, termasuk dirinya sendiri, dan yang nampak adalah hanya “Wujud Tuhan”, yakni Wujud yang sebenarnya. Sementara wujud-wujud yang lain seolah-olah tidak ada. Pada tahap selanjutnya merupakan perasaan “Bersatunya hamba dan Tuhan”, karena pada saat itu seseorang merasa tidak dapat lagi membedakan antara yang menyembah (hamba) dan yang disembah (Tuhan).
Menurut Nicholson (didalam Harun Hadiwiyono, 1983 : 59), “Fana’” itu bermacam-macam pangkatnya. Fana’ adalah perobahan moral pada jiwa dengan melalui cara mematikan hawa nafsu dan keinginannya. Fana’ juga berarti penghapusan mental atau pemisahan pikir dari segala sasaran pengamatan, perbuatan dan perasaan, dengan cara memusatkan pikirannya hanya kepada Allah. Dan akhirnya, Fana’ tersebut akan tercapai jika seseorang tidk sadar bahwa dirinya sedang Fana’. Kondisi inilah yang dinamakan Fana’ul Fana’ oleh kaum sufi.
Tampaknya, apa yang digambarkan oleh bait 26 bagian akhir dan bait 27 yang sudah disebutkan di atas adalah sesuai dengan uraian Nicholson tentang pangkat Fana’  yang terakhir, yakni hilangnya kesadaran pikiran pada saat seseorang melihat “Wujud” yang sebenarnya, sehingga ia tidak dapat lagi membedakan antara “Wujud” Tuhan dan “wujud” dunia, bahkan terhadap dirinya sendiri. Pada saat itulah seseorang merasa bersatu dengan Tuhan, atau yang disebut dengan perasaan Manunggaling kawula-Gusti.
Pada bait yang lain didalam Suluk Wujil diungkapkan pengalaman bersatunya manusia dengan Tuhan secara simbolis (kiasan) sebagai berikut :
Teks Suluk Wujil :
(62). Nora’na weruh ing Mekah iki // alit mila teka ing awayah // mangsa tekaeng parane // yen ana sangunipun // tekeng Mekah tur dadi Wali // sangunipun alarang // dahat dening ewuh // dudu srepi dudu dinar // sangunipun kang sura legaweng pati // sabar lila ing dunya.
 (63). Masjid ing Mekah tulya ngideri // Ka’batullah punika ‘neng tengah // gumantung tanpa cecanthel // dinulu sakung ruhur // langit katon ing ngandhap iki // dinulu saking ngandhap // bumi aneng ruhur // tinon kulon katon wetan // tinon wetan katon kulon iku singgih // tingalnya awalesan.
 (64). Tinon Kidul katon lor angrawit // tinon lor katon kidul asineng // pepeloking mrak samine // Ka’batullah puniku // lamun ana sembahyang siji // anging kawrat satunggal // yen roro tetelu // anging samono ambanya // yadyan wong salaksa kawrat iku singgih // tungkep rat pan kawawa.
Terjemahan Suluk Wujil :
(62). “Tidak ada orang yang tahu, di mana Mekah yang sebenarnya. Meskipun mereka memulai perjalanannya sejak muda hingga tua, mereka tidak akan mencapai tujuannya. Apabila orang mempunyai bekal perjalanan cukup, ia dapat sampai di Mekah untuk menjadi Wali. Tetapi bekal itu mahal, besar dan sukar diperoleh. Bekal itu bukan berupa uang rupiah atau dinar. Bekal itu adalah keberanian dan kesanggupan untuk mati, kehalusan budi dan menjauhi kesenangan duniawi (zuhud)”.
 (63). “Didalam masjid di Mekah itu terdapat singgasana Tuhan (Ka’bah) yang berada di tengah-tengah. Singgasana ini menggantung di atas tanpa kaitan. Dan jika orang melihatnya dari atas, orang akan melihat langit di bawah. Apabila orang melihatnya dari bawah, maka tampak bumi di atasnya. Jika orang melihatnya ke barat, ia akan melihat timur, dan jika melihat timur, maka akan terlihat barat. Ini sungguh. Di sana pemandangan menjadi terbalik”.
 (64). “Jika orang melihat ke selatan, yang tampak ialah utara, indah. Dan jika melihat ke utara, nampak selatan, gemerlapan seperti (ekornya) burung merak. Apabila seseorang yang bersembahyang di Ka’batullah maka hanya ada ruangan cukup untuk satu orang itu. Jika ada dua atau tiga orang, maka ruangan itu juga hanya cukup untuk dua atau tiga orang itu. Akan tetapi jika terdapat 10.000 orang yang bersembahyang di sana, maka Ka’bah dapat menampung mereka itu semua. Itu sungguh. Bahkan seandainya seluruh dunia akan dimasukkan di sana, akan tertampung juga”.

Bait-bait syair di atas lebih menggambarkan pengalaman (peristiwa) bersatu dengan Tuhan pada saat seseorang tengah dalam keadaan Fana’  atau terhapusnya kesadaran pribadi. Kata Mekah didalam bait tersebut merupakan simbol dari persatuan antara hamba dan Tuhan. Ka’batu’llah adalah simbol dari Allah, dan orang yang berada didalam Ka’batu’llah merupakan lambang dari orang yang merasa bersatu dengan Tuhan.
Makna yang terkandung didalam bait 62 s.d. 64 tersebut adalah, bahwa orang yang sudah mencapai tingkat Manunggaling kawula-Gusti, pandangannya serba terbalik. Artinya, kesadaran pribadinya atau akal pikirannya saat itu hilang, sehingga ia tidak dapat lagi membedakan benda-benda yang ada di hadapannya. Misalnya arah utara dikatakan selatan, melihat ke atas seakan-akan melihat ke bawah, dan seterusnya (Lihat bait 63). Itulah yang disebut Fana’. Selain itu dapat diambil suatu pemahaman yang terkandung didalam bait 64, bahwa pada saat seseorang merasa bersatu dengan Tuhan, maka semua barang yang ada (“yang jamak”) dipandang bersatu dan terserap (tertampung) kedalam Tuhan (“Yang Satu”). Hal ini berarti, bahwa Yang Jamak dan Yang Satu telah lebur menjadi satu kesatuan, sehingga tidak dapat dibedakan lagi antara keduanya.
Meskipun demikian, tampaknya masih ada satu persoalan yang penting yang berkaitan dengan ajaran Manunggaling kawula-Gusti ini, yakni tentang bagaimana keadaan seseorang pada saat telah mencapai maqam Fana’?  Apakah ia selanjutnya akan menempati kedudukan sebagai Tuhan?
Kalau diungkapkan kembali apa-apa yang sudah dijelaskan di muka, maka kesimpulan yang bisa kita ambil adalah, bahwa menurut Suluk Wujil, manusia merasa identik dengan Tuhan pada saat ia sedang mengalami Fana’. Bukankah Suluk Wujil secara jelas mengatakan didalam bait 23 : “Wujil kawruh ing sariraneki // iya iku nyataning pangeran //…”. (“Wujil, mengenal diri sendiri berarti mengenal Tuhan…”). Bukankah Suluk Wujil juga mengatakan lagi didalam bait 26 dan 27    berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(26). …// mapan wartaning kang utami // yen ta ora enggona // pegat tingalipun // tingal jati kang sampurna // aningali nakirah yakti dumeling // kang sajatining rupa.
(27). Mapan tan ana bedane Wujil //…. 

Terjemahan Suluk Wujil :
 (26). …Sesungguhnya menurut orang-orang utama, Dia tidak mempunyai tempat tertentu. Bagi orang yang berakhir penglihatannya, tampak sesuatu yang benar dan agung. Dan ketika dilihatnya wujud itu, dengan jelas tampak membayang Wujud yang sebenarnya”.
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. 
Demikian juga ungkapan simboliknya pada bait-bait 64, bahwa Ka’batu’llah dapat menampung satu, dua, tiga atau 10.000 orang banyaknya untuk melakukan shalat didalamnya; bahkan seluruh dunia ini seandainya dimasukkan kedalamnya akan tertampung juga. Jika ungkapan tersebut ditafsirkan, maka “yang jamak” (wujud dunia) ini bersatu dan lebur mejadi satu kesatuan dengan “Yang Satu” (Tuhan), sehingga tidak ada lagi perbedaan antara “yang jamak” dan “Yang Satu”, keduanya menjadi identik, sama.
Meskipun demikian,  bukanlah maksud Suluk Wujil mengajarkan bahwa manusia identik dengan Tuhan, yang berarti manusia dapat menduduki posisi Tuhan atau ia dapat bersatu padu dengan-Nya dalam pengertian yang sesungguhnya. Karena jika diteliti secara menyeluruh ajarannya, maka akan diperoleh suatu pemahaman, kalau Suluk Wujil  memang tidak pernah mengajarkan bahwa manusia itu identik dengan Tuhan, atau ia dapat bersatu dengan-Nya dalam pengertian yang sebebarnya.
Ada beberapa alasan yang mengisyaratkan bahwa Suluk Wujil tidak mengajarkan seperti di atas, antara lain :
Pertama. Pernyataan di atas adalah diungkapkan pada saat seseorang mengalami Fana’, dimana saat itu kesadaran akalnya hilang, sehingga ia tidak mampu membedakan antara wujud dunia dan Wujud Tuhan. Lain halnya jika ia mulai sadar kembali dari kefana’annya, tentu ia akan menyadari bahwa kedua wujud tersebut memang berbeda, dan ia tidak akan membuka rahasia pertemuan atau persatuannya dengan Tuhan kepada orang awam. Sebagaimana yang diungkapkan oleh bait 27 dan 28 berikut ini :
Teks Suluk Wujil :
(27). Mapan tan ana bedane Wujil // dening kalindhih solahe ika // bedane tan seng purbane // …
 (28). Raosana ing rahina wengi // yen ora lawan wisik utama // mapan ora na gawene // lewih wong meneng iku // yen kumedal lidhahireki // uninipun punapa // pan saosikipun // ing kalbu nyateng aksinya // wedharing netra sara’ widya nampani // meneng muni den wikan.
Terjemahan Suluk Wujil :
(27). “Antara Dia dan wujud ini, Oh, Wujil, Sesungguhnya tiada berbeda. Hanya Dia tidak tampak oleh karena terdesak oleh gerakan-gerakan (dari alam semesta). Jadi bedanya tidak tampak (terletak) pada sumbernya …”
(28). “Walaupun siang dan malam orang membicarakan-Nya, tetapi jika ia belum pernah memperoleh Ajaran Rahasia yang terbaik, tetap saja tidak ada faedahnya. Lebih baik kita tutup mulut tentang Dia. Betapapun orang membicarakan-Nya, apa yang dapat dikatakan tentang Dia? Karena sesungguhnya isi hati seseorang yang mengenal-Nya tercermin jelas dalam matanya. Pancaran matanya menunjukkan bahwa ia telah menerima inti pengetahuan. Maka pahamilah arti diam dan bicara.”
Bait ke 27 merupakan komentar Suluk Wujil  pada saat seseorang  dalam keadaan sadar, yakni bahwa hakekat kedua “wujud” (dunia dan Tuhan) tetap berbeda. Perbedaan antara keduanya terletak pada sumber “wujud”-nya (‘purbane”).
Dipandang dari sudut “Sumber wujud dirinya”, Tuhan merupakan “Wujud” yang muncul dengan sendirinya dan menjadi Sumber dari semua “wujud” yang ada. Sebaliknya, dunia merupakan “wujud” yang tergantung kepada “Wujud” Tuhan. Selain itu, Dzat Tuhan adalah bersifat ghaib, ysng tidak dapat dilihat dan diketahui oleh siapa saja selain oleh Diri-Nya sendiri. Hal ini berarti, menurut orang yang  sadar penuh, bahwa kondisi melihat Wujud yang sebenarnya (Dzat Tuhan) dan merasa bersatu dengan-Nya pada saat Fana’, adalah dalam keadaan seakan-akan atau seolah-olah, bukan dalam keadaan yang sebenarnya. Karena Dzat Tuhan adalah bersifat ghaib sehingga mustahil untuk dapat dilihat, dan disamping karena hakekat kedua “wujud” (dunia dan Tuhan) adalah sangat berbeda, sehingga mustahil keduanya dapat bersatu atau identik.
Bait 28 merupakan peringatan dari Suluk Wujil kepada kaum sufi yang telah mencapai Fana’, agar ia tidak membuka rahasia yang baru saja ia alami kepada orang awam, kecuali kepada beberapa muridnya atau orang yang selevel dan sama-sama berkecimpung di dunia tasawwuf. Mungkin hal ini dimaksudkan agar tidak membahayakan kepercayaan dan keyakinan orang awam dan agar tidak disalahtafsirkan.
Apa yang diungkapkan Suluk Wujil pada bait 27 dan 28 di atas sama maksudnya dengan apa yang diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali didalam bukunya, Misykatul Anwar (1993 ; 49), sebagai berikut :
“Inilah tujuan dari segala tujuan dan akhir dari segala pencarian. Diketahui oleh siapa saja yang mengetahuinya dan diingkari oleh siapa saja yang tidak mengenalnya. Ia termasuk ilmu yang esensinya tersembunyi dan tersimpan rapat, yang tidak akan mengetahuinya kecuali kaum ilmuwan yang mendalam keilmuannya tentang Allah (“Al-Ulama-u Billah”), atas perkenan Allah. Manakala mereka mengungkapnya, tak mengingkarinya kecuali “Ahlul-ghirrati Billah” (yakni orang-orang yang terkelabui dan mengira dirinya telah mengenal Allah)…”

Selanjutnya Al-Ghazali (1993 ; 42) mengatakan :
“Ucapan-ucapan para ‘Asyiq (orang-orang yang diliputi keasyikan atau kecintaan dan kerinduan) seperti itu, di saat-saat kemabukannya, seharusnya disembunyikan dan jangan diceritakan. Sebab mereka sendiri ketika telah mulai sembuh dari keadaan mabuk itu dan telah kembali pula kekuasaan akal yang merupakan mizan (timbangan, neraca Allah) di atas bumi-Nya, maka sadarlah mereka bahwa itu bukan Ittihad (keadaan menyatu) yang sebenarnya dengan Allah swt, tetapi itu hanya menyerupai ittihad…”.

Kedua. Suluk Wujil mengungkapkan pengalaman mistik Manunggaling kawula-Gusti dalam bait 71 dan 72 berikut ini :
 Teks Suluk Wujil :
(71) … yen sira’rsa temu // sirnakena raganira // yen sira wus atemu akaron kapti // kapti anunggal karsa.
 (72). Tunggal rupa saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira // tinunggal sarwi-sarwine // sampune tunggal iku // saha satya pati saurip // larangane tan ana // sandhang pangan iku // sakarsane tunggal karsa // wong sinihan tan kena andum amilih // cihna tinunggal karsa.
Terjemahan Suluk Wujil :
(71).  Jika kau ingin menemukan-Nya, maka kau harus menghancurkan nafsu-nafsumu. Jika kau telah menemukan-Nya, maka kemauanmu akan manunggal dengan kemauan-Nya
(72). “Engkau akan manunggal dengan Dia; hanya nama saja yang berlainan. Engkau akan menjadi satu dalam rasa dengan Dia, dengan berbeda wujud. Dalam segala hal kau akan manunggal dengan Dia. Setelah manunggal serta kau serahkan mati dan hidupmu kepada-Nya, maka tidak ada larangan bagimu dalam hal pangan dan sandang. Semua kehendakmu menjadi satu dengan kehendak-Nya. Orang yang telah diampuni tidak boleh memilih atau membagi (yakni membeda-bedakan dalam segala hal), sesuatu tanda tentang manunggalnya kehendak dengan Dia”.
Ungkapan kedua bait di atas menggambarkan pengalaman mistik seseorang yang telah mencapai tahap Kelepasan (manusia sempurna), yakni tahap Manunggaling kawula-Gusti. Pada tahap tersebut, seseorang begitu lenyap kedalam Tuhan. Ia kehilangan kesadaran diri dan tenggelam kedalam “ketiadaan”. Apa-apa yang ia rasakan, ia perbuat dan ia kehendaki, adalah bukan ia yang melakukannya, akan tetapi adalah Tuhan yang melakukannya. Itulah yang dimaksud dengan  Manunggaling kawula-Gusti didalam rasa dan karsa.
Dalam keadaan psikologis seperti di atas, manusia dapat diumpamakan sebagai “yang tiada” dan Tuhan dapat diumpamakan sebagai “Yang Ada”. Ketiadaan manusia bukan berarti kekosongan atau khayalan, sehingga tinggallah “Ada” Tuhan saja, melainkan diartikan bahwa manusia yang dalam keadaan tidak sadar tersebut telah lenyap kedalam Tuhan, akan tetapi perbedaan antara “Ada” Tuhan dan “ada” manusia masih tetap diakui keberadaannya. Bahkan orang yang mengalami keadaan tersebut justru lebih memahami perbedaan antara kedua “Ada” tersebut setelah ia sadar kembali, sebagaimana pernyataan Suluk Wujil yang tersirat didalam bait 27 : “Tunggal rupa saose namaneki // tunggal rasa saos rupanira  … //” (Engkau akan manunggal dengan Dia; hanya nama saja yang berlainan. Engkau akan menjadi satu dalam rasa dengan Dia, dengan berbeda wujud.)
Ketiga. Suluk Wujil lebih tegas lagi menyatakan seraya memperingatkan, bahwa manusia adalah bukan Tuhan dan Tuhan bukanlah manusia, akan tetapi tanda-tanda Keberadaa-Nya ada pada diri manusia.
Teks Suluk Wujil :
(11). Pengetisun ing sira ra Wujil // den yatna uripira neng dunya // ywa sumabaraneng gawe // kawruhana  den estu // sariranta pan dudu jati // kang jati dudu sira // sing sapa puniku // weruh rekeh  ing sarira // mangka sasat wruh sira maring Hyang Widi // iku marga utama.
Terjemahan Suluk Wujil :
“Ingat-ingatlah, Wujil, berhati-hatilah dalam hidup di dunia ini. Jangan masa bodoh terhadap setiap tindakan. Dan sadarlah serta yakin, bahwa kau bukanlah Hyang Jati Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), dan Hyang Jati Tunggal bukanlah engkau. Barangsiapa yang mengenal diri sendiri sekarang, seakan-akan ia mengenal Tuhan. Itulah jalan yang sebaik-baiknya”.
Memperhatikan ketiga alasan tersebut di atas, Suluk Wujil mencoba membedakan antara keadaan tidak normal, “Tak sadarkan diri” (Fana’), dan keadaan normal, yakni sadar kembali dari kefana’annya. Ajaran Suluk Wujil tentang “Manunggaling kawula-Gusti” agaknya bukan berarti mengajarkan bahwa manusia benar-benar bersatu padu dengan Tuhan, yang berarti bahwa manusia adalah Tuhan dan Tuhan adalah manusia, akan tetapi  kebersatuan tersebut adalah dalam keadaan seolah-olah bersatu. Dengan demikian, maka  ungkapan-ungkapan Suluk Wujil menganai Manunggaling kawula-Gusti, tampaknya merupakan penggambarannya terhadap pengalaman mistik yang luar biasa, yang ia ungkapkan kembali dalam bahasa  manusia pada umumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar