Senin, 22 Mei 2017

Perkembangan Islam Di Jawa Sampai Jaman Kerajaan Pajang






Agama Islam di Jawa mengalami perkembangan yang unik. Sebelumnya, orang Jawa memuja roh nenek moyang dan percaya terhadap adanya kekuatan daya sakti. Kepercayaan tersebut belum menunjukkan diri sebagai suatu agama secara nyata dan sadar. Pada taraf  keagamaan seperti itu, suku Jawa menerima pengaruh agama dan kebudayaan Hindu, sampai pada akhirnya agama tersebut menjadi agama resmi Kerajaan Hindu di Jawa. Pada masa Airlangga, kerajaan menganut agama sinkretis Syiwa-Budha Tantra, yang kemudian diteruskan oleh kerajaan-kerajaan yang muncul belakangan. Agama Syiwa dan Budha Mahayana dapat hidup berdampingan dan menjadi agama resmi kerajaan Majapahit, sampai akhirnya kerajaan tersebut runtuh dan digantikan oleh kerajaan Daha Kediri, lalu oleh kerajaan Demak.
Kedatangan agama Islam di Jawa bersamaan dengan kedatangan para pedagang muslim ke pulau Jawa yang diperkirakan terjadi pada masa pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini terbukti dengan ditemukannya kuburan islam tertua, Fathimah binti Maimun, di desa Leran Manyar Gresik Jawa Timur, yang berangka tahun 1082 M. Meskipun demikian, hal ini belumlah berarti telah terjadi adanya proses Islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur.
Sejak akhir abad kesebelas sampai abad ketigabelas masehi, sangat sedikit bukti-bukti sejarah tentang kedatangan agama Islam tersebut. Akan tetapi sejak akhir abad ketigabelas sampai abad-abad berikutnya, terutama saat kerajaan Majapahit mencapai puncak kebesarannya, telah banyak diketemukan bukti-bukti sejarah, yang antara lain telah diketemukannya beberapa puluh nisan kuburan orang Islam di Troloyo, Trowulan dan Gresik. Di samping itu terdapat penemuan berita dari Ma Huan, bahwa pada  tahun 1416 M terdapat sekelompok masyarakat muslim yang bertempat tinggal di daerah Gresik. Hal itu menunjukkan, bahwa telah terdapat suatu masyarakat muslim, baik di kota-kota pelabuhan pesisir utara Jawa maupun di sekitar pusat kerajaan Majapahit. (Poesponegoro,M.D., dkk, 1993; 4-5).
Pertumbuhan masyarakat muslim di sekitar beberapa kota pelabuhan erat hubungannya dengan perkembangan jalur pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Islam, yang pada saat itu telah mempunyai kekuatan ekonomi dan politik di kerajaan Samudra Pasai dan Malaka pada abad 14 dan 15 masehi. Pertumbuhan masyarakat muslim tersebut mungkin belum dapat dirasakan akibatnya di bidang politik oleh pihak kerajaan Majapahit. Oleh karena kerajaan ini masih mementingkan usaha untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pertumbuhan masyarakat muslim mencapai bentuk kekuatan politik, seperti munculnya kerajaan Islam Demak, pada saat kerajaan Majapahit mengalami kelemahan di bidang politik akibat terjadinya pertentangan kepentingan di antara keluarga istana, seperti yang ditunjukkan oleh adanya pemberontakan Ranggalawe di Tuban pada tahun 1295 M, pemberontakan Sadeng, dan juga penyerangan terhadap pusat kerajaan Majapahit oleh Raja Girindrawardhana dari kerajaan Kediri. (Poesponegoro,M.D.,dkk. 1993 ; 178-179).

1.      Proses dan Saluran Islamisasi
Adapun mengenai cara proses Islamisasi beserta saluran-salurannya yang dominan sampai terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, diantaranya adalah melalui : 1. Perdagangan;  2. Perkawinan;  3. Pendidikan pesantren;  4. Ajaran-ajaran tasawuf;  dan 5. Kesenian, sebagaimana yang akan diuraikan di bawah.

a. Perdagangan. Saluran Islamisasi pada permulaan adalah melalui perdagangan. Para pedagang muslim mula-mula berdatangan ke kota-kota pelabuhan di sepanjang pesisir utara Jawa. Diantara mereka ada yang bertempat tinggal sementara dan ada yang menetap di suatu perkampungan tersendiri. Mereka setiap hari bergaul dan berbaur dengan para pedagang pribumi dan penduduk di sekitar daerah pelabuhan. Lambat laun pergaulan dan pembauran mereka tentu membawa perubahan dalam bidang kepercayaan atau agama di kalangan penduduk dan pedagang pribumi tersebut. Masyarakat pribumi yang mula-mula menerima Islam, tentu saja, adalah para pedagang yang sering berhubungan dengan mereka, lalu diikuti oleh para pekerja atau pembantu, kemudian para penduduk sekitar daerah pelabuhan, sampai akhirnya melebar ke daerah-daerah sekitarnya. Bahkan diantara penduduk yang masuk Islam tersebut ada yang memiliki status terhormat di tengah-tengah masyarakatnya, seperti para syahbandar, adipati, dan kaum bangsawan, sehingga sangat menguntungkan bagi proses Islamisasi di kalangan masyarakat yang lebih luas lagi. Tersebarnya agama Islam secara cepat agaknya bukan hal yang mustahil, apalagi karena agama Islam merupakan agama Missi yang mendorong para pengikutnya untuk menyebarluaskannya kepada orang lain.

b. Perkawinan.  Para pedagang muslim yang bertempat tinggal di sekitar kota-kota pelabuhan tersebut, tentu ada yang kaya, pandai, bahkan menjadi syahbandar, sehingga mereka memiliki status sosial yang lebih tinggi daripada masyarakat pada umumnya. Apalagi mereka biasanya tidak membawa serta isteri dan anak-anaknya, sehingga hal itu mendorong mereka untuk memperistri penduduk pribumi setempat. Para wanita pribumi yang akan diperistiri itu tentu harus disyahadatkan atau diislamkan terlebih dahulu. Sebab tanpa itu, maka perkawinannya dianggap tidak sah; apalagi pengislaman model seperti ini sangat sederhana, sehingga para calon isteri merasakan senang melakukannya. Islamnya isteri, paling tidak, akan diikuti oleh anak-anak keturunannya, yang lambat laun akan diikuti juga oleh keluarga dan kerabat dekat atau jauh.
 Saluran Islamisasi melalui Perkawinan ini akan lebih sukses dan menguntungkan jika dilakukan antara pedagang muslim, ulama, muballigh atau penguasa muslim dengan wanita anak Bangsawan, Bupati, atau Raja. Bukan hanya keuntungan di bidang ekonomi dan strategi dakwah, akan tetapi juga dalam bidang politik. (Poesponegoro,M.D.,dkk., 1993 ; 189-190)).
Cerita-cerita babad, hikayat, dan bahkan sejarah menceritakan tentang adanya perkawinan antara tokoh-tokoh muslim dengan anak bangsawan di Jawa. Misalnya perkawinan antara Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila,  putri Bupati Tuban; Syeh Maulana Ishak mengawini Dewi Sekardadu, puteri Raja Blambangan; Raden Patah, yang putera Raja Brawijaya, diambil menantu oleh Sunan Ampel; Raden Paku Muhammad Ainul Yakin (Sunan Giri) mengawini putri Sunan Ampel; dan lain-lain. Dengan saluran Perkawinan tersebut, akhirnya agama Islam berkembang dengan cepatnya, bahkan sudah mulai menyusup masuk kedalam istana kerajaan Hindu Majapahit.

c.  Pendidikan Pesantren.  Pendidikan pesantren berperan besar dalam mempercepat proses Islamaisasi. Sistim pendidikan pesantren sebenarnya sudah dikenal sejak jaman pra-Islam, yakni yang lebih dikenal dengan lembaga pendidikan Mandhala, yang digunakan untuk mendidik para calon Pendeta Hindu. Siswanya terbatas pada kalangan Brahmana. Lembaga pendidikan model seperti ini kemudian dikembangkan oleh para Wali atau guru pesantren menjadi suatu lembaga pendidikan Islam yang sekarang lebih dikenal dengan nama “Pesantren”, dimana siswanya terbuka untuk umum dari berbagai lapisan masyarakat dan tidak terbatas pada kalangan atau golongan tertentu.
Pesantren bukan hanya sekedar sebagai tempat pendidikan Islam, akan tetapi juga sekaligus menjadi tempat tinggal Guru beserta keluarganya dan para santrinya. Komplek-komplek tempat tinggal mereka tersebut, kemudian lebih dikenal dengan sebutan “Pondok Pesantren”.
 Tujuan  Pesantren ini, sama halnya juga dengan tujuan Mandhala, adalah untuk mempersiapkan kader-kader ulama dan muballigh yang siap menyebarkan agama Islam kepada masyarakat luas. Disamping juga untuk meningkatkan kualitas pengetahuan agama Islam para santrinya. Para santri setelah pulang diharapkan menjadi penyebar Islam dan atau mendirikan Pesantren-pesantren di sekitar daerah tempat tinggalnya. (Koentjaraningrat, 1984 ; 60, dan Zhafier,Z., 1982 ; 17-18)

d. Ajaran Tasawwuf.  Ajaran tasawwuf merupakan salah satu saluran Islamisasi yang penting di Indonesia, khususnya di pulau Jawa. Melalui ajaran tasawwuf ini, agama Islam lebih mudah diterima oleh masyarakat Jawa. Karena ajaran tasawwuf memiliki beberapa kesamaan unsur dengan kepercayaan lama (Hindu dan Budha) yang dianut oleh mayoritas masyarakat saat itu, yakni kesamaan dalam hal mementingkan aspek batiniah atau mistik, bahkan memiliki ciri-ciri yang hampir sama dalam hal ajaran Ketuhanannya. (Koentjaraningrat, 1984; 53. Dan juga Poesponegoro,M.D., dkk., 1993; 192).
Menurut Martin van Bruinessen (1993 ; 15), ajaran Islam dan tulisan-tulisan paling awal karya orang Indonesia adalah bercorak tasawwuf. Hal itu tidak musatahil, karena pada saat itu (sekitar abad 13 – 14 masehi), tasawwuf  merupakan corak pemikiran yang dominan di dunia Islam. Ajaran-ajaran kaum sufi yang sangat berpengaruh terhadap para pengarang generasi pertama di Indonesia adalah ajarannya Ibnu Arabi dan Abu Hamid Al-Ghazali. Sebagaimana dicantumkannya nama kitab Ihya’ Ulumiddin, karya Imam Al-Ghazali, didalam Buku Bonang  (Het Boek van Bonang) dan buku Een Javaanse Primbon Uit De Zestiende Eeuw (Primbon Jawa Abad Keenambelas).

e. Cabang-cabang Seni dan Aspek-Aspek Budaya Lainnya.  Cabang-cabang seni yang sudah berkembang di kalangan masyarakat Jawa, misalnya wayang, seni sastra, dan lain-lain, dijadikan sebagai saluran dan cara-cara Islamisasi oleh para muballigh Wali Sanga. Demikian juga berbagai bentuk tradisi dan aspek-aspek budaya lainnya dilestarikan dan dibiarkan tumbuh subur, bahkan dikembangkan menjadi suatu bentuk yang baru, sekaligus dijadikan sebagai sarana dan metode berdakwah, setelah mereka (Wali Sanga) memasukkan unsur-unsur keislaman kedalamnya.
Wali Sanga, khususnya Sunan Kalijaga, sangat berjasa dalam mengembangkan kesenian wayang, dan menjadikannya sebagai metode dakwahnya. Cerita-cerita (lakon) wayang  diambil dari kitab Mahabarata, namun diselipi dengan muatan ajaran islam. Misalnya ajaran Rukun Islam dipersonifikasikan kedalam bentuk  Pandawa Lima, yakni yang terdiri dari Puntadewa (simbol Syahadat), Bima atau Wrekudara (simbol Shalat), Arjuna (simbol zakat) dan tokoh kembar Nakula-Sadewa (personifikasi dari ajaran Puasa Ramadhan dan Haji).  Lakon Jimat Kalimasada merupakan cerita yang dihubungkan dengan ajaran Tauhid, kalimat Syahadat. Silsilah atau garis keturunan para Dewa dihubungkannya dengan Nabi Adam, yakni bahwa mereka, para Dewa itu, dipahami sebagai anak keturunan Nabi Adam, bukan sebagai Dzat setingkat Tuhan.
Beberapa peralatan wayang diadakan pembaharuan atau diciptakan secara baru sama sekali, seperti Kelir, Blencong, batang pohon pisang / gedebog, Gunungan yang menyerupai mustaka Masjid Demak. Demikian pula beberapa nama dan istilah dalam wayang dimasuki unsur-unsur keislaman, baik dari segi bentuk istilahnya, maupun segi pemaknaannya. Misalnya istilah “Dalang” adalah diambil dari kata bahasa arab “Dalla” yang berarti orang yang menunjukkan. Nama “Petruk” diambil dari kata bahasa arab “Fatruk”, yang berarti  tinggalkanlah; nama “Bagong”, berasal dari kata arab “Bagha” yang artinya durhaka, zhalim; nama “Semar”, dari kata arab “Syimr”, artinya yang arif dan waspada.  (Ismunandar,K., 1988 ; 95-103).
Pertunjukan wayang selalu dihubungkan dengan dakwah Islamiyah, seperti Sunan Bonang menanggap wayang, lalu diadakan dialog dengan para muridnya tentang tema yang dilakonkan Sang Dalang (Suluk Wujil bait 89 s.d. 92). Demikian juga setiap datangnya bulan Mulud atau Rabiul awwal, di alun-alun Kraton Demak selalu diadakan acara pertunjukan wayang dan para pengunjungnya tidak ditarik biaya sepeser pun, mereka hanya disuruh membaca kalimat syahadat.
Demikianlah saluran-saluran dan cara-cara Islamisasi yang dilakukan oleh para muballigh yang terdiri dari  ulama, pedagang, guru agama, kaum sufi dan masyarakat muslim pada umumnya. Sehingga atas jasa mereka itu, agama Islam berkembang dangan cepat dan pesat, serta dapat diterima secara luas oleh masyarakat Jawa.


2.      Perkembangan  Agama Islam

Perkembangan agama Islam yang cukup pesat terjadi setelah kerajaan-kerajaan Islam di Jawa bermunculan, seperti kerajaan Islam di Demak, Pajang, Mataram, Banten, Cirebon dan lain-lain. Agama Islam tidak hanya berkembang di pesisir utara Jawa, malahan berkembang sampai ke daerah-daerah pedalaman Jawa. Bersamaan dengan itu, agama Islam juga mengalami beberapa hambatan dan perlawanan di sejumlah daerah tertentu, khususnya daerah pedalaman. 

a. Perkembangan Islam pada jaman Kerajaan Demak.  Kerajaan Islam Demak didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478 M, yang saat itu masih berada didalam naungan kerajaan Majapahit. Kerajaan Demak menjadi kerajaan yang berdaulat penuh pada tahun 1517 M. Tepatnya setelah kerajaan Majapahit yang saat itu berada didalam kekuasaan Raja Girindrawardhana dari kerajaan Daha Kediri,  diserang dan dapat dikalahkan pasukan Raden Patah. (Poesponegoro,M.D., dkk,  1993 ; 19-21).  Pusat pemerintahan Kerajaan Demak berada di daerah pesisir utara Jawa Tengah, yakni di Bintara Demak. Sepanjang perjalanan hidupnya,  Kerajaan ini hanya mengalami tiga kali pergantian kepemimpinan, yakni : 1. Raden Patah (tahun 1478 – 1518);  2. Adipati Yunus (1518 – 1521);  3. Sultan Trenggono (1521 – 1550).
 Agama Islam pada masa ini dapat dikatakan tumbuh dan berkembang dengan cukup pesat. Islam ditetapkan sebagai agama resmi kerajaan dan dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan dukukangan dari kerajaan ini, agama Islam dapat berkembang dan melebarkan sayapnya di seluruh pulau Jawa, baik di daerah sepanjang pesisir utara, maupun daerah-daerah pedalaman Jawa.
Para Walisanga pada saat itu mempunyai peranan yang cukup besar dalam menentukan kehidupan politik, agama, pendidikan, dan sosial budaya lainnya. Didalam cerita-cerita babad pun sering dikatakan, bahwa penyerangan yang dilakukan oleh Demak terhadap kerajaan Majapahit, yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Kediri, adalah atas persetujuan dan dukungan para Walisanga yang dikordinir oleh Sunan Giri. (Lor 6379, jilid 9, 1988; 141 – 149). Bahkan mereka juga berperan sebagai penasehat Sultan dalam mengambil setiap kebijakan penting tertentu. Misalnya keputusan tentang eksekusi hukuman mati terhadap beberapa tokoh sufi  penyebar faham Wahdatul Wujud, yang dipandang telah menyimpang dari faham resmi kerajaan dan menyesatkan masyarakat awam, sebagaimana yang terjadi pada kasus Ki Ageng Pengging, Seh Siti Jenar, dan Pangeran Panggung. (LOr 6379 jilid 9, 1988 ; 154, 166 dan 170).
Lepas dari benar dan tidak cerita di atas, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa pada saat itu telah terjadi pertarungan faham tasawwuf, antara faham ortodoks (tasawwuf sunni) dan faham heterodoks (tasawwuf Syi’iy, wahdatul wujud). Faham ortodoks lebih berkembang di sepanjang daerah-daerah pesisir utara Jawa, sedangkan faham heterodoks lebih berkembang di daerah-daerah pedalaman Jawa yang jauh dari pusat kerajaan Demak.. Dengan dukungan Raja Demak, Walisanga dapat menekan dan menghambat perkembangan faham heterodoks. Meskipun faham ini tidak seluruhnya berhasil ditumpas. Keadaan ini menjadi lain pada saat berdirinya kerajaan Islam Pajang dan Mataram Islam, yang pusat kerajaannya berlokasi di wilayah pedalaman Jawa.

b. Perkembangan Islam pada jaman Kerajaan Pajang dan Mataram. Kerajaan Pajang merupakan penerus kerajaan Demak, yang didirikan pada tahun 1550 oleh Mas Karebet, alias Jaka Tingkir, seorang putra dari Ki Ageng Pengging yang diambil menantu oleh Sultran Trenggono. Setelah menjadi Raja, ia memakai nama Sultan Hadiwijaya. Ibu kota kerajaannya dipindahkan dari Demak ke Pajang. Istana Pajang merupakan istana kerajaan  di daerah pedalaman Jawa pertama kali yang menjadi pusat peradaban Islam. Berdasarkan laporan sejarah yang dikuatkan oleh beberapa penemuan arkeologi menunjukkan, bahwa lokasi istana Pajang berada di desa Butuh, dekat Kartasura. (Koentjaraningrat, 1984; 58).
Perpindahan istana kerajaan dari Demak ke Pajang sebagai pertanda bahwa pengaruh Islam dari pantai utara Jawa berhasil masuk ke daerah pedalaman, meskipun agama Islam pada saat itu masih dianggap asing oleh penduduk daerah tersebut. Para penduduk, di satu sisi, tidak mendapat kesempatan untuk mengenal Islam dengan baik, sebagai akibat dari para Walisanga yang banyak berdomisili di pesisir utara Jawa, dan di sisi lain, mereka masih mempertahankan unsur-unsur tradisi Jawa yang sangat dipengaruhi oleh kepercayaan Hindu-Budha, sehingga timbul usaha mensinkretiskan antara kepercayaan Islam dan tradisi jawa tersebut. (Koentjaraningrat, 2984 ; 59 dan 315.  Hamka, 1986 ; 51).
Kerajaan Mataram Islam. Usia kerajaan Pajang hanya sebentar, berkisar antara tahun 1550 – 1588 M. Selanjutnya digantikan oleh kerajaan Mataram Islam, setelah Sultan Hadiwijaya dapat dikalahkan pada tahun 1588 oleh Sutawijaya, yang kebetuan adalah anak angkatnya sendiri. Pusat pemerintahan pun dipindahkan dari Pajang ke wilayah pedalaman Mataram, yakni suatu wilayah yang dulunya pernah ditempati kerajaan Mataram kuno (yang beragama Hindu-Budha), tepatnya di daerah aliran sungai Opak dan Progo, di sebelah selatan gunung Merapi dan Merbabu. 
Sutawijaya wafat pada tahun 1601 M. Kedudukannya lalu diganti oleh anaknya yang Mas Jolang, alias Pangeran Seda Krapyak, yang memerintah antara tahun 1601 –1613 M. Selanjutnya diperintah oleh Mas Rangsang, alias  Sultan Agung antara tahun 1613 – 1645. Pada masanya ini, kerajaan Mataram Islam mengalami puncak kejayaan. Perkembangan agama Islam di daerah pedalaman Mataram tidak berbeda jauh dengan periode kerajaan Pajang, dimana kerajaan ini masih berusaha mensinkretiskan kepercayaan Islam dengan unsur-unsur kepercayaan lama, baik dalam hal kesenian dan kesusastraan, maupun dalam bidang keagamaan. (Koentjaraningrat, 1984 ; 49).
Perkembangan tersebut tidak dapat dilepaskan dari perkembangan politik Mataram itu sendiri. Setelah kerajaan ini berdiri, daerah-daerah persisir utara jawa dan beberapa daerah yang masih mendukung kerajaan Pajang selalu menunjukkan permusuhannya dengan Mataram yang mendapatkan dukungan dari daerah-daerah pedalaman Jawa. Sutawijaya berusaha keras untuk menundukkan daerah-daerah pesisir tersebut, lalu diteruskan oleh putranya, Mas Jolang. Meskipun Mas Jolang dapat menguasai daerah Demak, namun belum sepenuhnya berhasil menguasai daerah-daerah pesisir yang lain, karena ia keburu wafat pada tahun 1613 M. Meskipun demikian, Raja kedua Mataram tersebut sempat mendorong pengembangan kebudayaan Jawa-Islam. Beberapa serat Suluk diperkirakan muncul pada periode Mas Jolang ini, diantaranya adalah Suluk Wujil, dan Suluk Malang Sumirang hasil gubahan Sunan Panggung, putra Sunan Kalijaga.
Raja ketiga, Sultan Agung, meneruskan usaha Mas Jolang. Ia berhasil menundukkan sebagian besar wilayah kerajaan Demak dan Pajang kedalam pangkuan Mataram. Bersamaan dengan itu, Sultan Agung berusaha meredam pengaruh Islam di kerajaan Mataram di satu sisi, dan mempertahankan unsur-unsur kepercayaan lama di sisi lain, lalu disinkretiskan, yang hasilnya antara lain berupa sistim Penanggalan Jawa, yakni bentuk perpaduan antara Kalender Syaka dan Hijriyah. (Koentjaraningrat, 1984 ; 315-317.  Simuh, 1988; 23 – 24).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar