Senin, 22 Mei 2017

Perkembangan Kepustakaan Islam Jawa Sejak jaman Demak sampai Pajang





Masuknya agama Islam ke pulau Jawa segera diikuti oleh masuknya Kepustakaan Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab maupun Melayu. Kepustakaan tersebut, di samping memiliki peranan yang besar dalam penyebaran Islam, juga berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan Kepustakaan Jawa yang dahulunya bercorak kehinduan, sehingga menjadi sebuah Kepustakaan Jawa yang diwarnai dengan unsur-unsur Keislaman.
Yang dimaksudkan dengan Kepustakaan Islam adalah semua kepustakaan yang berisi aspek-aspek ajaran Islam, baik yang berbahasa dan bertulisan Arab, Melayu, Jawa maupun yang berbahasa lainnya. Kepustakaan Islam yang berbahasa Arab disebut Kepustakaan Islam Arab; yang berbahasa Melayu disebut Kepustakaan Islam Melayu; dan yang berbahasa Jawa disebut Kepustakaan Islam Jawa. Pembagian dan pembatasan istilah semacam ini tidak mutlak. Hal ini dimaksudkan untuk menolong dan mempermudah pembahasan terhadap jenis-jenis Kepustakaan Islam yang berkembang di Jawa.
Menurut Simuh (1988; 3 dan 21 – 23), bahwa Kepustakaan Islam Jawa  masih dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni Kepustakaan Islam Santri  dan  Kepustakaan Islam Kejawen. Pembagian ini didasarkan atas isi kandungan masing-masing kepustakaan. Kepustakaan Islam Santri berisi aspek-aspek ajaran Islam yang lebih terikat oleh syariat dan tata aturan hukum Islam (fiqih) secara formal, sebagaimana yang nampak pada kehidupan keagamaan kaum “Santri”. “Santri” di sini adalah dalam pengertian sebagai orang yang menjalankan syariat islam dengan ketat dan tekun, khususnya shalat lima waktu, serta menjadikan syariat tersebut sebagai dasar yang fundamental dalam semua aspek kehidupan sehari-harinya. Walaupun tidak bersih sama sekali dari unsur-unsur Hindu-Budha atau kepercayaan lainnya, namun masih tetap dominan dan lebih dekat kepada dogma-dogma Islam yang sebenarnya. (Koentjaraningrat, 1984; 312).
Sedangkan Kepustakaan Islam Kejawen adalah berisi aspek-aspek ajaran Islam, khususnya aspek tasawwuf atau mistik islam, yang disinkretiskan dengan unsur-unsur kepercayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya. Dengan kata lain, jenis Kepustakaan ini lebih menekankan pada usaha mempertemukan antara aspek-aspek ajaran Islam dengan unsur-unsur keperayaan dan tradisi Hindu-Budha atau lainnya, sebagaimana yang biasa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari orang “Islam Kejawen”. “Islam Kejawen” adalah dalam pengertian sebagai orang Islam yang kurang taat menjalankan syariat, khususnya shalat lima waktu, dan masih teguh mempertahankan kepercayaan atau tradisi lama (Hindu-Budha) dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lebih menekankan pada aspek Batiniah atau Mistik daripada aspek lahiriah atau syariat. (Koentjaraningrat, 1984 ; 310 – 312).  Atas dasar pengertian ini, maka yang mejadi ciri khas Kepustakaan Islam Kejawen adalah lebih banyak berisi ajaran mistik Islam atau tasawwuf, dan sangat sedikit atau bahkan mengabaikan ajaran syariat Islam yang sebenarnya. Jenis Kepustakaan ini dapat juga disebut “Kepustakaan Islam Mistik Kejawen”. (Simuh, 1988 ; 21 – 23).
Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa sering dihubungkan dengan kondisi kehidupan masyarakat muslim di Jawa. Jenis “Kepustakaan Islam Santri” lebih berkembang di sekitar daerah pesantren dan daerah pesisir utara Jawa, dimana mayoritas kaum santri berdomisili di daerah tersebut. Sedangkan jenis “Kepustakaan Islam Kejawen” lebih berkembang di sekitar istana Kerajaan wilayah pedalaman,  lebih-lebih pada jaman kerajaan Mataram Islam. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi corak dan watak kedua jenis Kepustakaan tersebut,  yakni “Gaya Pesisiran” buat Kepustakaan Santri dan “Gaya Mataraman” buat Kepustakaan Kejawen. Meskipun tidak dapat disangkal adanya kemungkinan bahwa Kepustakaan Islam Santri  terkadang Bergaya Mataraman atau sebaliknya.
Berikut ini adalah beberapa Kepustakaan Islam Jawa  yang berkembang sekitar abad 16 sampai abad 17 masehi, sekitar jaman munculnya buku Suluk Wujil. Pembahasannya didasarkan atas pembagian waktu atau jaman, yaitu : 1. Jaman kerajaan Demak;  2. Jaman kerajaan Pajang dan Mataram.

1. Jaman  Kerajaan  Demak

Kepustakaan Islam Jawa  yang sangat tua masih dapat diketemukan, yang diduga berasal dari abad ke-16, yakni jaman kerajaan Demak, berupa dua manuskrip yang kemudian lebih dikenal nama Het Boek van Bonang (Buku sunan Bonang) dan Een Javanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw (Buku Primbon Jawa Abad Keenambelas), dan juga kitab Koja Jajahan dan Suluk Sukarsa. Kedua kitab yang terakhir ini termasuk kitab tua yang muncul sebelum munculnya kitab Suluk Wujil, yang walaupun belum diketahui secara pasti waktu penulisannya, namun dapat diperkirakan muncul pada jaman kerajaan Demak.
a. Kitab Bonang, Het Boek van Bonang.  Naskah kitab ini diketemukan oleh seorang pedagang dari Amstredam Belanda bernama Van Dulmen di daerah pesisir Sidayu Gresik. Naskah ini kemudian diserahkan dan disimpan di Perpustakaan Leiden Belanda pada bulan Nopember 1587 M. (Poesponegoro, M.D.,Dkk., 1993 ; 208). Naskah ini berasal dari karangan Sunan Bonang yang kegiatannya dapat ditentukan antara tahun 1475 – 1525 M, yang berarti naskah ini muncul pada masa pemerintahan Islam di Demak. Isinya menyangkut ajaran Islam, terutama tentang ilmu Tauhid dan Tasawwuf menurut ajaran Imam Al-Ghazali, sebagaimana yang dijelaskan pada bagian pertama kitab tersebut :
Teks asli (Schrieke, 1916 ; 92) :
“Nyan punika caritanira Shaich al-Bari: Tetkalanira apitutur dateng mitranira kabeh; kang pinuturaken wirasaning ushul suluk – wedaling carita saking kitab Ihya’ Ulumiddin lan saking Tauhid – antukira Shaich al-Bari ametet I(ng) ti(ng)kahing sisimpenaning Nabi Wali mukmin kabeh…”

Terjemahan :
“Inilah cerita Shaich al-Bari tatkala memberi petuah kepada sahabatnya sekalian. Yang diajarkannya ialah arti dari pada Ushul Suluk, asal cerita dari kitab Ihya’ Ulumiddin (karya Imam Al-Ghazali) dan dari Tauhid yang oleh Shaich al-Bari diperolehnya dari memetik tingkah laku yang dirahasiakan oleh Nabi Wali mukmin sekalian …”.

Kutipan di atas mejelaskan bahwa Buku Bonang  berisi ajaran tasawwuf yang diambil dari kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. Ini menunjukkan betapa besar pengaruh ajaran Al-Ghazali terhadap Sunan Bonang, sebagaimana juga pada kebanyakan pengarang muslim dan ulama pada jaman itu. Di samping bahwa  pengaruh pemikiran tasawwuf Ibnu Arabi juga besar, khususnya pada pengarang muslim pada jaman-jaman permulaan. (Bruinessen, M.V., 1993 ; 15).
Keterpengaruhan Sunan Bonang terhadap ajaran tasawwuf Imam Al-Ghazali ini dapat disaksikan pada sikapnya yang ortodoks dalam usahanya untuk memadukan antara aspek syariat dengan tasawwuf, serta sikapnya dalam menentang setiap ajaran mengenai persoalan Ketuhanan atau Tasawwuf yang dipandangnya sesat, misalnya ajaran yang dikemukakan oleh aliran Mu’tazilah, Jabbariyah, Karramiyah, Arabiyyah – aliran Ibnu Arabi. (Schrieke, 1916 ; 88 – 114).
Buku-buku Babad menggambarkan betapa hebatnya Sunan Bonang menentang ajaran sesat Seh Siti Jenar. Demikian pula buku Sejarah Nasional Indonesia III, yang ditulis oleh Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (1993 ; 208 – 209) menceritakan usaha Sunan Bonang menentang segala ajaran Ketuhanan kaum sufi heterodoks pada saat itu. Kaum sufi heterodoks berpandangan, bahwa apa yang “Ada” adalah Allah, dan apa yang “Tiada” adalah Allah. “Ketiadaan” Allah adalah pada saat tidak menciptakan, dan hal ini menunjukkan tentang Kemahacucian-Nya, sebab Dia itu “Sendirian” dan “Kesepian” (Awang-uwung) yang hanya dapat diketahui oleh “ketiadaan” yang mengitari-Nya. Menghadapi pandangan sesat seperti ini, Sunan Bonang menyiapkan bantahannya, bahwa Allah itu Maha Tinggi dan Maha Luhur, Yang tiada didahului, tidak diiringi dan tidak dikelilingi  oleh “ketiadaan”. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96).
Sunan Bonang sekali lagi memaparkan ajaran mengenai Tuhan sesuai dengan penafsiran ulama sunni yang ortodoks, berdasarkan faham Al-Ghazali. Dia secara tegas menentukan batas keberadaan antara “Ada”-Nya Tuhan dan “ada”-nya makhluk, sebagaimana kutipan dari Kitab Bonang (Schrieke, 1916 ; 103) berikut ini :

Teks :
“Satuhune ananing Pangeran kang asifat Saja Langgeng Mahasuci tan Lyan ananira uga, kang tan bastu-jisim ananira kang purba, andadeken kang asifat sukma jati tan anuksma  tan sinuksma tan awor lan saliwing (du)madi kabeh, rehing langge(ng) anani(ng) kang purba, mapan ananira Mahasuci suksmanira wibuh sampurna elok Mahamulya Mahaluhur, utawi ananira tan ana wikana ing suksmanira tan lyan(ing) piambekira kang wikan ing suksmanira pribadi”

Terjemahan:
“Sesungguhnya adanya Tuhan itu bersifat Tunggal, Langgeng dan Mahasuci. Dan itu bukan sesuatu yang lain daripada Ada-Nya (kodrat-Nya) yang tidak material, yang pada awal mula memberikan “ada” kepada segala sesuatu. Sesungguhnya Dia tidak termasuk alam kebendaan, tidak menjiwai dan tidak dijiwai, tidak berbaur dengan buah ciptaan-Nya, karena Dia “Tidak ada” sebelum segala sesuatu, dan bersifat Langgeng dan Mahasuci. Sifat-Nya yang lepas dari kebendaan meliputi segala sesuatu, sempurna, elok, Mahamulia, Mahatinggi dan Mahaluhur. Mengenai hakekat-Nya, tidak seorang pun yang tahu akan sifat-Nya yang lepas dari kebendaan (suksma). Hanya Dia sendiri yang maklum (mengetahui) akan Jiwa-Nya”.

Melihat isinya seperti itu, maka dapat disimpulkan bahwa Buku Bonang (Het Boek van Bonang) tergolong Kepustakaan Islam Santri yang ditulis dalam bentuk “serat Wirid”.
Menurut penelitian G.W.J. Drewes, sebenarnya kitab tersebut lebih tepat berjudul “The Admonition of Seh Al-Bari” (Pitutur Seh Al-Bari), karena cerita Seh Al-Bari mendominasi bagian isi kitab tersebut. (Simuh, 1988 ; 23).

b. Primbon Jawa Abad Keenam Belas, “Een Javaanse Primbon Uit de Zestiende Eeuw”. Kitab ini ditulis dalam bahasa Jawa yang bergaya jawa tengahan. Isinya berupa kumpulan doa-doa, jampi-jampi, serbaneka masalah agama Islam, terutama aspek akhlaknya. Pada bagian akhir kitab tersebut telah diuraikan tentang “Tanda-tanda orang yang sedang berkedut”, sebagaimana kutipan berikut ini. (Drewes,GWJ, 1954 : 94) :

Teks :
“… lamun kekeduten sarandune awake, (ngalamate) aningali sarwa endah. Lawan kekeduten sirahe, ngalamate olih dolalating (daulating) wong agung kalawan kinasihan dening wong agung. Lawan kekeduten embun-embune, ngalamate dadi mantri. Lawan kekeduten ing bathuk, ngalamate olih artha kang halal…Lawan kekeduten ing jijithok, (ngalamate) enteng atine. Lawan kekeduten alise kang tengan, ngalamate oleh artha akatah. Lawan kekeduten alise kang kiwa, ngalamate atetemu kalawan kakasih… “

Terjemahan:
“… Jika yang berkedud itu sekujur tubuhnya, itu pertanda akan melihat semua yang indah. Jika yang berkedut itu kepalanya, suatu pertanda akan mendapatkan anugerah dari pembesar/pejabat, juga dikasihi oleh mereka. Berkedud pada ubun-ubun kepalanya adalah pertanda menjadi Menteri. Berkedud pada dahinya, pertanda akan mendapat harta yang halal… Berkedud pada tengkuknya, pertanda gelap hatinya. Berkedud pada alisnya yang kanan, pertanda akan memperoleh harta yang banyak. Dan berkedud pada alisnya yang kiri, pertanda akan bertemu dengan kekasihnya…”
Penulis kitab tersebut belum dapat diketahui namanya. Namun demikian, kitab ini diperkirakan muncul pada paruh kedua abad ke-16 masehi, semasa dengan Buku Bonang.

c. Suluk Sukarsa. Kitab ini tergolong tua usianya, lebih tua daripada Buku Bonang dan Buku Primbon di atas. Isinya menyangkut ajaran mistik Islam kejawen yang berfaham heterodoks. Uraian mengenai ajarannya ada kemiripan dengan apa yang ada pada kitab Dewa Ruci. Hanya saja kitab Suluk Sikarsa ini diberi baju Islam. (Poerbatjaraka, 1952 ; 100). Kitab tersebut berbahasa Jawa Tengahan, yang memakai tembang kuno “Sloka”. Dalam salah satu bagiannya, Suluk Sukarsa terkadang memakai perumpamaan atau kata simbolis Laut dan Perahu untuk menjelaskan ajaran Manunggaling kawula-Gusti, yang mirip sekali dengan uraian Hamzah Fansuri dan murid-muridnya. Berikut ini sebagian kutipan dari kitab tersebut, (Poerbatjaraka, 1952 ; 102 – 103) :

Teks :
“Ki Sukarsa wus alayar // ing sakatahing segara // margane tekang ma’rifat // tan aetung urip pejah // damare murup tan pejah // panganggo mulya tan rusak // asangu tan kena telas // angungsi ing desa Jimbar // Ki Sukarsa dennya layar // perahu sabar darana // shalat mangka tiyangira // kinamuden pangawikan // linayaran amangun hak // winelahan niyat donga // den watangi paneneda // den pulangi lawan tobat // den labuhi sukurullah // den taleni lan kana’at // den pulangi lan wicara // den damari ma’rifat // Ki Sukarsa denya layar // wus tekeng segara rahmat // kawasa denira layar // wus tekeng segara ora …”

Terjemahan :
“Ki Sukarsa telah berlayar di segala lautan. Jalannya sampai ke ma’rifat, tak menghitung hidup mati; diannya menyala tiada padam, pakaian mulia tiada rusak; berbekal tak kunjung habis, mengungsi ke desa luas. Ki Sukarsa layarnya, berperahu sabar-darana. Shalat akan menjadi tiangnya; berkemudi pangawikan (yang) dilayari membangun hak, berkayuhkan niat dan doa; bergalahkan permintaan, dibubuh dengan tobat… Ki Sukarsa berlayarnya telah sampai ke lautan rahmat. Kuasa pula berlayar, hingga sampai ke lautan Tiada…”

Kemiripan syair tersebut dengan kidung Hamzah Fansuri terlihat pada kutipan berikut ini :
“Wujud Allah nama perahunya… iman (kepada) Allah nama kemudinya, yakin akan Allah nama pawangnya, taharat dan istinjak nama lantainya, kufur dan maksiat air ruangnya, tawakkal akan Allah juru batinnya, illa akan talinya, Kamal Allah akan tiangnya…”.

Hal itu menunjukkan, bahwa pada saat itu pengaruh ajaran Hamzah Fansuri yang berfaham tasawwuf heterodoks (yang dipengaruhi ajaran Ibnu Arabi) diduga telah masuk ke pulau Jawa.

d. Kitab Kojah Jajahan.  Giri Prawata merupakan pusat pemerintahan Ulama pada waktu sebelum dan sesudah berdirinya kerajaan Demak. Ditegaskan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 104 – 107), bahwa pada saat itu telah muncul sebuah kepustakaan yang berjudul Kitab Kojah Jajahan, yang diduga berasal dari Giri Prawata. Isinya menyangkut ajaran akhlak atau budi pekerti yang baik, yang digubah dalam bentuk Cerita. Gaya bahasanya sangat indah, akan tetapi susunan kata-katanya banyak yang rusak. Kerusakan ini mungkin karena penulisnya berasal dari daerah pesisir utara Jawa yang logat bahasanya terpengaruh oleh bahasa luar Jawa. Dilihat dari segi isinya, cerita yang ditampilkan nampaknya masih baru, artinya baru saja masuk ke pulau Jawa, yang diduga berasal dari negara Arab yang dibawa masuk ke Jawa oleh para pedagang muslim.
Inti dari cerita kitab tersebut adalah, bahwa ada seorang Patih yang bernama Kojah Jajahan yang mempunyai budi pekerti yang sangat baik dan luhur, sangat berbakti kepada Rajanya, tekun beribadah, sangat adil dan bijaksana. Perangai semacam ini membuat Sang Raja sangat hormat dan mengasihinya, sehingga menyebabkan para pembesar lain irihati kepada Patih Kojah Jajahan,  maka timbullah fitnah terhadap dirinya beserta keluarganya yang mengakibatkan kematiannya.

2. Jaman  Pajang  dan  Mataram.

a. Kitab Nitisruti. Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa pada jaman Pajang dapat dikatakan tidak sesubur yang dialami pada jaman sebelumnya  (jaman Demak) dan sesudahnya (jaman Mataram). Kemungkinan hal ini disebabkan pengaruh politik pada saat itu, selain bahwa usia kerajaan Pajang sendiri hanya berlangsung singkat, yakni antara tahun 1550 – 1588 M, sehingga Sultan Hadiwijaya tidak sempat memikirkan perkembangan kebudayaan (kesusastraan). Meskipun demikian, ada satu kitab yang diduga muncul pada jaman ini, yakni kitab Nitisruti yang ditulis oleh Pangeran Karanggayam dari Pajang.
Menurut Poerbatjaraka (1952 ; 112 – 114), kitab tersebut meskipun ada pada jaman Pajang, akan tetapi penulisannya dikerjakan pada jaman Mataram, tepatnya ditulis pada  tahun 1591 M, sebagaimana kutipan berikut ini :

Teks :
“Punika kakawin Nitisruti anggitanipun Pangeran ing Karanggayam, lenggahipun empu jangga ing Pajang. Panganggitipun saking karsa dalem Kanjeng Sinuhun ing Pajang. Wiwitan dumugi ing wekasan sadaya 92 padha.
Sasampunipun tamat panganggitipun lajeng katedak sinerat dening Arya Dadap-tulis, lenggahipun panyarikan dalem ing Pajang. Wiwiting panyerat ing malem Rebo tanggal kaping 14 wulan Asyura ing tahun wawu, windu Sancaya nalika panganggitipun : Bahni Mahaastra Candra … Dados angkaning warsa 1513”.

Terjemahan :
“Inilah kakawin Nitisruti karangan Pangeran di Karanggayam, kedudukannya sebagai Pujangga di Pajang. Ia mengarang atas kehendak Sinuhun Pajang, dari mula sampai pada akhirnya semuanya ada 92 bait.
Sesudah selesai dikarangnya itu, lalu disalin oleh Arya Dadap-Tulis, kedudukannya sebagai Juru Tulis Raja di Pajang, Mulai menulisnya pada malam Rabu tanggal 14 bulan Asyura tahun Wawu, windu Sancaya. Sengkala tatkala mengarangnya adalah Bahni Mahaastra Candra… Jadi angka tahunnya 1513 Syaka (atau tahun 1591 masehi)…”

Pertumbuhan dan perkembangan Kepustakaan Islam Jawa semakin subur setelah berdirinya kerajaan Mataram Islam. Kalangan istana Mataram sendiri kelihatannya sangat berkepentingan untuk mempertemukan dan memadukan antara Tradisi Jawa dengan unsur-unsur ajaran Islam, sehingga muncullah beberapa Kepustakaan yang lebih didominasi oleh corak Kepustakaan Islam Kejawen. Keadaan ini semakin berkembang dan mencapai puncak kejayaannya pada jaman hidupnya R.Ng. Ranggawarsita dan Raja Mangkunegara IV. (Simuh, 1988 ; 23 – 25).

b. Kitab Suluk Wujil dan Suluk Malang Sumirang. Kitab-kitab Suluk yang diduga muncul pada jaman pemerintahan Panembahan Seda Krapyak (tahun 1601 – 1613 M), antara lain adalah Suluk Wujil dan kitab Suluk Malang Sumirang, yang keduanya sama-sama berisi ajaran tasawwuf.
Kitab Suluk Malang Sumirang merupakan  sebuah kitab mistik islam kejawen yang digubah oleh Sunan Panggung, seorang putra Sunan Kalijaga. Waktu penulisannya berdekatan dengan penulisan kitab Suluk Wujil. Isi kandungannya menyangkut ajaran mistik Islam yang berfaham heterodoks, sebagaimana faham yang dianut oleh Seh Siti Jenar dan murid-muridnya. Kitab ini kurang menghargai syariat, bahkan menolak ajaran Islam ortodoks. Pada beberapa bait syairnya, kitab ini menjelaskan bahwa puncak kesempurnaan seseorang adalah terletak pada ketidakpercayaannya kepada Tuhan (“Kapir-kupur”), sebagaimana kutipan berikut yang dilakukan oleh Poerbatjaraka (1952 ; 110 – 111) :
Teks :
“(11). Dosa gung alit tan den singgahi // ujar kepar kupur kang den ambah // wus luwung pasike pane // tan adulu dinulu // tan angrasa tan angrasani // wus lan ana pinaran // pan jatining suwung // ing suwunge iku ana // ing anane iku surasa sejati // wus tan ana rinasan.”

Terjemahan :
“(11). Segala dosa besar-kecil tak disingkiri, perkataan kupur kapir yang diturut, telah mabuk (akan) kelengkapannya, tiada pandang memandang, tiada merasa, tak pula melepas rasa, tiada lagi yang harus dituju, memang sesungguhnya kejatiannya ialah kekosongan, dalamkekosongan ada hadir, dan dalam hadir itu (tersimpan) makna sejati, sudah tiada ADA yang harus dirasakan”.

Sebagaimana isi kandungan di atas, Tuhan dilukiskan secara negatif, alias “Suwung” (kekosongan). Ide ini nampaknya dipengaruhi oleh ide-ide yang umum tersebar di pulau Jawa sebelum datangnya agama Islam, yang merupakan ciri khas kitab Suluk Islam heterodoks, yakni melukiskan Allah sebagai “Ketiadaan” atau “Suwung”. Pandangan seperti ini juga diceritakan didalam Buku Bonang, yang selanjutnya dipertentangkan dengan pandangan bahwa Allah itu lebih dari apa yang mereka gambarkan sebagai “Ketiadaan” itu. (Schrieke, 1916 ; 94 – 96). Hal ini menunjukkan bahwa pandangan kaum heterodoks tersebut sudah  tersebar dengan luasnya di kalangan masyarakat Jawa, di samping juga pandangan ortodoks.
Teka-teki mengenai arti “Suwung” atau “Kekosongan” sebagaimana tersebut dalam kutipan di atas, sering juga dijumpai pada kitab-kitab Islam Kejawen lainnya. Misalnya pada kitab Gatoloco terdapat sebuah ungkapan dalam salah satu bagian syairnya : “Kinen sujud Nabi Adam // iku dudu Adam Nabi // Adam iku suwung wungwang // ingkang langgeng kahanane… “. Dan juga pada kitab Centhini dan kitab-kitab sejenis lainnya, sehingga sangat sukar menangkap arti “Suwung” yang sebenarnya, apakah dalam pengertian obyektif ataukah subyektif, dalam keadaan ekstasis atau Fana’?. (Zoetmulder, 1991 ; 209).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar