Senin, 22 Mei 2017

Profil Walisongo 2. Sunan Ampel






Sunan Ampel adalah julukan dari Raden Ahmad Rahmatullah atau Raden Rahmat. Ia lahir di negeri Campa sekitar tahun 1401 M dan wafat di Ampel Surabaya pada tahun 1481 M. Mengenai Negeri Campa sendiri, menurut C. Raffles, berada di “Jeumpa” Aceh. Dan berdasarkan prasasti Po Sah  dan Buku Encyclopaedia van Nederlandche Indie, Campa berada di Hindia Belakang, yakni kawasan kecil Kamboja Timur di teluk Siam.

Ayahnya bernama Ibrahim Asmarakandi (berasal dari negeri di Asia Tengah “Samarkand”. Makamnya di desa Nggesik Tuban), anak dari Jamaluddin al-Husain bin Ahmad Syah Jalal bin Abdullah bin Abdul Malik bin Alawi bin Muhammad bin Ali bin Alawi bin Muhammad bin Alawi bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa … dan seterusnya hingga berpuncak pada Ali bin Abi Thalib, suami Fathimah binti Rasulillah Saw.  Sedangkan Ibunya bernama Dewi Candrawulan, putri kedua Raja Campa, adik dari Dewi Sasmitapuri, permaisuri Raja Majapahit Prabu Kertawijaya atau Brawijaya I (1447-1451 M).



Dengan demikian, dari jalur ayahnya, ia adalah masih keponakan dari Maulana Malik Ibrahim. Sedangkan dari jalur ibunya, ia adalah keponakan Prabu Kertawijaya (Brawijaya I).

Raden Rahmat di masa kecilnya mendapatkan didikan agama dari ayahnya. Setelah  dewasa, menurut cerita babad dan diperkuat oleh kitab Walisana karya Sunan Giri II, ia bersama-sama dengan kakaknya yang bernama Raden Santri (Sayyid Ali Mutadha, alias Sunan Gresik) dan  Raden Alim Abu Hurairah (Sunan Majagung), anak pamannya, ingin sekali mengunjungi uwak mereka di Majapahit. Setelah beberapa lama di Jawa, mereka bertiga ingin kembali ke Campa, namun terdengar berita bahwa negeri Campa hancur diserang Raja Koci. Karena itu, Prabu Brawijaya I menasehatinya agar menetap di Tanah Jawa. Mereka menyetujuinya, lantas mereka diserahkan kepada Arya Lembusura, Adipati Majapahit yang muslim, untuk diasuh. Setelah sampai masa berkeluarga, Prabu Brawijaya I mengawinkan mereka dengan tiga orang putri Arya Teja III, yang saat itu menjadi Adipatinya di Tuban. Tentang perkawinannya ini, DR B.J.O. Schrieke menyatakan, bahwa peristiwanya tidak lebih awal dari tahun 1450 M.

Selanjutnya Prabu Brawijaya I memberikan kepada mereka tanah peprenah atau tempat kedudukan untuk menjadi imam di daerah tersebut.. Raden Rahmat memperoleh wilayah di Ampel Denta (Surabaya) yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Ampel. Raden Santri di wilayah Gresik yang kemudian bergelar Raja Pandita Gung Ali Murtala (Makamnya di utara alun-alun kota Gresik). Sedangkan Raden Alim Abu Hurairah di Majagung, yang terkenal sebagai Sunan Majagung.

Menurut buku Tarikhul Awliya’, tulisan KH Bisri Musthafa, dari hasil perkawinannya dengan putri Arya Teja III yang bernama Nyai Ageng Manila, Raden Rahmat memperoleh anak : 1) Siti Syari’ah,  2) Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang),  3) Syarifuddin (Sunan Drajat), dan 4) Siti Khafshah, yang di kemudian hari diperisteri Sunan Kalijaga, dan menurut satu riwayat ia diperisteri Sayyid Ahmad dari Yaman, sementara Sunan Kalijaga dinikahkan dengan Siti Muthmainnah; dan  5) Siti Muthmainnah, isteri Sunan Wilis Cirebon (menurut riwayat lain, isteri Sunan Kalijaga).  Sedangkan perkawinannya dengan isteri kedua yang bernama Dewi Karimah binti Ki Ageng Supo Bungkul dari Kembangkuning Surabaya, ia memperoleh anak : 1) Dewi Murthasiyah, isteri Sunan Giri;  dan  2) Dewi Murtasimah, isteri Raden Patah.

Raden Rahmat memulai aktifitas dakwahnya dengan mendirikan pondok pesantren di Ampel Denta untuk mendidik para pemuda Islam  sebagai calon muballigh yang akan disebar di daerah-daerah. Muridnya terdiri dari kalangan bangsawan dan masyarakat bawah. Di antara para muridnya adalah Raden Paku (Sunan Giri), Raden Patah, Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang, putranya sendiri), Raden Syarifuddin (Sunan Drajat, putranya sendiri).

Menurut babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan kaum ningrat dan keluarga istana Majapahit. Bahkan Raden Patah, putra Prabu Kertabumi Brawijaya V (1468-1478 M) dari isteri selirnya, menjadi murid Sunan Ampel yang kelak akan menjadi menantunya. Hal ini membuat penyebaran Islam di daerah kekuasaan Majapahit tidak mendapat hambatan yang berarti.

Sunan Ampel tercatat sebagai arsitek atau perancang kerajaan Islam Demak yang berdiri pada tahun 1479 M (Berdasarkan candrasengkala Geni Mati Siniram Jalmi, “Kezhaliman lenyap dikalahkan kebenaran”, yang berarti tahun 1401 Syaka atau 1479 M). Setelah Brawijaya V lengser akibat dari serangan Prabu Girindrawardana dari kerajaan Daha Kediri tahun 1478 M (Beradasarkan Candrasengkala Sirna Hilang Kertaning Bhumi, yang berarti tahun 1400 syaka atau 1478 masehi). Sunan Ampel lalu mengangkat Raden Patah, putra Brawijaya V, sebagai Sultan pertama Kerajaan Demak.

Selain itu, Sunan Ampel bersama-sama dengan para Wali lain ikut serta mendirikan masjid Agung Demak tahun 1477 M. Mereka melakukan pembagian tugas : Keempat tiang “Saka Guru” (tiang utama penyanggah dari kayu raksasa) dikerjakan oleh Sunan Ampel di bagian tenggara; Sunan Gunung Jati di bagian barat daya; Sunan Bonang di bagian barat laut; dan Sunan Kalijaga di bagian timur laut, berupa  tiang saka tatal (bukan berupa kayu utuh, tetapi dari beberapa pecahan kayu balok yang diikat menjadi satu). Sementara para wali lainnya diberi tugas mengerjakan bagain-bagian bangunan masjid yang lain.

Mengenai sikap dan pemikirannya tentang tradisi dan adat istiadat yang sangat kuat dipegangi masyarakat pada awal proses islamisasi di pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Solichin Salam dalam bukunya Sekitar Walisongo menjelaskan, didalam permusyawaratan Walisongo, Sunan Kalijaga mengusulkan agar tradisi dan adat Jawa seperti kenduren (selamatan), sesajen dan sejenisnya,  perlu dilestarikan setelah terlebih dahulu diisi dengan nilai-nilai keislaman (aqidah islamiyah) agar tidak terjerumus kedalam kesyirikan. Sunan Ampel bertanya, “Apakah hal itu tidak mengkhawatirkan rusaknya agama Islam di kemudian hari?  Apakah tradisi semacam itu nantinya tidak dianggap oleh anak cucu kita sebagai bagian dari ajaran Islam, yang berarti menjadi Bid’ah?”. Sunan Kudus membela Sunan Kalijaga, “Saya setuju dengan pendapat Sunan Kalijaga. Sebab agama Hindu-Budha memiliki beberapa kesamaan dengan islam dalam ajaran kemasyarakatan, antara lain : orang kaya wajib menolong kaum fakir miskin. Mengenai soal yang Tuan khawatirkan, saya yakin, kelak tentu ada orang Islam yang akan meluruskan dan menjelaskan duduk persoalannya”. Terdorong oleh semangat toleransi dan persatuan yang kuat, Sunan Ampel akhirnya tidak keberatan menerima usulan tersebut. Dan memang sangat berat menghapuskan tradisi dan adat istiadat lama yang sudah mendarahdaging di tengah masyarakat, tidak semudah orang membalik telapak tangan. Karenanya, diperlukan kesabaran dan tentu saja memerlukan waktu yang cukup panjang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar