Senin, 22 Mei 2017

Profil Walisongo 6. Sunan Kalijaga





Sunan Kalijaga yang bernama asli Raden Mas Syahid ini adalah satu-satunya Wali asli keturunan Jawa, yang memiliki jiwa besar, berpandangan jauh ke depan, serta berpikiran intelek dan tajam. Ia lahir di Tuban. Kapan hari kelahiran dan wafatnya, tidak diketahui dengan pasti, selain bahwa makamnya berada di Kadilangu Demak dan hidup sejaman dengan Sunan Bonang. Bahkan menurut cerita babad, ia merupakan Wali yang paling panjang usianya, karena ia mengalami tiga periode pemerintahan, yakni periode Demak, Pajang dan awal berdirinya Mataram Islam.
Ayahnya bernama Tumenggung Wilotikto (bupati Tuban) bin Arya Teja III (mertua Sunan Ampel) dan ibunya bernama Dewi Nawang Rum. Dengan demikian, ia adalah keponakan Sunan Ampel, yang di kemudian hari dijodoh-kan dengan putrinya yang bernama Siti Khafshah (menurut riwayat lain bernama Siti Muthmainnah)
Sebelumnya, Sunan Kalijaga pertama kali menikahi Dewi Saroh binti Maulana Ishak bin Ibrahim Asmarakandi, yang nantinya melahirkan tiga orang anak, yaitu Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah dan Dewi Sofiyah.
Selanjutnya, menurut buku Pustoko Darah Agung, Sunan Kalijaga menikah untuk yang kedua kalinya dengan Ratu Kano dari Kediri, maka lahirlah lima orang anak : 1) Kanjeng Ratu Pembayun, isteri Sultan Trenggono;  2) Nyi Ageng Panenggak, isteri Ki Ageng Paker;  3) Sunan Hadi, alias Panembahan Kali;  4) Raden Abdurrahman;  5) Nyi Ageng Ngerang, isteri Ki Ageng Ngerang III di Laweyan Solo.
Sedangkan isteri Sunan Kalijaga yang ketiga adalah Siti Khafshah (menurut riwayat yang lain bernama Siti Muthmainnah), putri Sunan Ampel.
Pada masa mudanya, Raden Syahid terkenal dengan julukan Brandal Lokajaya, disebabkan kehidupannya yang penuh diwarnai dengan kekerasan, perampokan, kesesatan, pembunuhan dan kejahatan besar lainnya. Berkat dakwah dan bimbingan Sunan Bonang, ia bertobat ke jalan yang benar. Bahkan di kemudian hari ia menjadi tokoh utama Walisongo yang mendapat julukan Wali Penutup dan “Puser” (pusat) para Wali.
Raden Syahid juga terkenal dengan julukan Sunan Kalijaga. Kata “Kalijaga” yang berarti penjaga kali / sungai adalah berawal dari kisah babad. Setelah bertobat, ia bermaksud ingin menjadi murid Sunan Bonang. Sebagai syarat menjadi murid, ia harus duduk bertapa di tepi kali / sungai sambil menunggui tongkat yang ditancapkan gurunya itu. Ia tidak boleh berpindah dari tempat duduknya sampai gurunya kembali. Menurut cerita ini, konon Sunan Bonang lupa dengan janjinya untuk menemui kembali sang murid yang ditugaskan menunggui tongkatnya, dan baru ingat setelah beberapa tahun berlalu. Sementara sang murid mentaati perintah gurunya itu dengan sabar, sampai-sampai badannya “lumuten” (berlumuran lumut),  rerumputan dan akar-akar pepohonan tumbuh merambati badannya. Masyarakat sekitar yang melihat pemandangan tersebut  kemudian menjulukinya dengan sebutan Kalijaga (penjaga kali).
Cerita di atas menurut sementara pihak dipandang sebagai cerita yang benar-benar terjadi. Sedangkan hal-hal aneh dan tidak masuk akal didalam cerita di atas menunjukkan kesaktian dan karamah Sunan Kalijaga, seperti kuat duduk semedi tanpa bergerak dan berpindah selama beberapa tahun, bahkan selama waktu itu ia kuat tidak makan dan minum.
Menurut sumber yang lain, cerita di atas adalah bukan cerita yang sesungguhnya, tetapi merupakan cerita simbolik atau cerita sandi yang kaya dengan makna dan penafsiran. Menunggu tongkat yang ditancapkan Sunan Bonang adalah simbol dari usaha memelihara ajaran atau keimanan Islam yang diajarkan Sunan Bonang kepadanya. Sungai yang airnya mengalir dari beberapa anak sungai yang akhirnya bermuara ke laut, melambangkan berbagai aliran kepercayaan dan agama yang ada di tengah masyarakat saat itu untuk diarahkan oleh Sunan Kalijaga kepada suatu kepercayaan / agama yang lurus dan benar, yakni Islam. Ketekunan dalam bertapa sebagai lambang ketabahan, keuletan, kesetiaan dan ketaatannya kepada Sunan Bonang. Sedangkan rerumputan dan akar yang merambati badannya, serta badannya sampai “lumuten”, melambangkan jangka waktu yang sangat panjang.
Raden Syahid yang juga dijuluki Seh Malaya ini memiliki daerah operasi dakwah yang tidak terbatas, dan dikenal sebagai seorang Muballigh keliling yang sangat merakyat, terutama  di wilayah pedalaman Jawa. Karena gaya dakwahnya yang intelek dan aktual, serta sikapnya yang sangat toleran terhadap kepercayaan dan adat istiadat yang berkembang, maka tidak sedikit para bangsawan dan pujangga kraton (cendekiawan) yang  bersimpati kepadanya, disamping juga berbagai kelompok masyarakat awam dan para penguasa. Oleh karenanya, nama Sunan Kalijaga lebih dikenal dan sangat pupuler di kalangan masyarakat Jawa, khususnya wilayah pedalaman, daripada para Wali lainnya.
Selain sebagai Muballigh, Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai budayawan yang sangat besar sumbangannya terhadap perkembangan kebudayaan Indonesia. Ia cukup kreatif  dalam menciptakan beberapa cabang kebudayaan, terutama bidang kesenian yang sangat kaya dengan nuansa keislaman. Dia sangat kreatif merubah corak dan bentuk seni yang sudah lama berkembang di masyarakat setelah terlebih dahulu dimuati nilai-nilai keislaman. Misalnya seni ukir, yang pada jaman pra Islam motifnya penuh dengan ukiran makhluk bernyawa (manusia dan binatang), kemudian dirubah dengan ukiran bermotif bunga, dedaunan dan lainnya yang tidak bernyawa. Dalam soal pakaian, ia menciptakan bentuk atau mode baju yang lebih dikenal dengan baju “takwa”. Seni batik yang pada jaman pra Islam diwarnai dengan motif illustrasi gambar burung, yang dalam bahasa kawinya disebut “kukila”, lalu diberi makna sesuai dengan yang dikehendaki Islam. “Ku” berasal dari bahasa arab “Qu” yang berarti jagalah, dan “kila” dari bahasa arab “qila” yang berarti yang diucapkan. Dengan demikian, gambar burung “kukila” mengandung pesan, bahwa seseorang hendaklah mampu menjaga lisannya.
Untuk memanggil orang shalat, Sunan Kalijaga memerintahkan Sunan Pandanarang agar membuat bedug dan kentongan. “Kentongan” yang jika ditabuh berbunyi tong tong tong, lalu diberi makna “Masjid masih kosong” (bahasa jawanya kothong) dan “Bedug” yang berbunyi deng deng deng, lantas diberi makna “Masjid masih muat” (bahasa jawanya sedeng).
Seni wayang yang sudah lama berkembang di masyarakat sejak pra Islam, tetap dipertahankan keberadaannya untuk dijadikan sebagai sarana dakwah yang cukup efektif. Bahkan dikembangkan dalam bentuk baru dengan dimuati nilai-nilai simbolik yang bernafaskan keislaman. Sumbangan Sunan Kalijaga dalam bidang ini antara lain menambah perangkat “debog” (batang pisang) untuk menancapkan wayang, “geber” atau layar, “blencong” atau dian. Orang yang memainkan wayang disebutnya “dalang”, yang diambil dari bahasa arab “dalla” yang berarti orang yang menunjukkan (sutradara). Ia bersama-sama dengan Sunan Bonang dan Sunan Giri menciptakan wayang punakawan pandawa yang terdiri dari tokoh Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Nama-nama tokoh tersebut diambilkan dari bahasa arab : Semar dari kata simaar yang berarti paku, sebagai simbol bahwa kebenaran Islam sangat kuat sekokoh paku yang ditancapkan; Petruk dari kata Fatruk yang berarti tinggalkanlah, mengandung pesan agar meninggalkan apa saja selain Allah; Nala Gareng dari kata nala qariin yang berarti memperoleh banyak kawan, mengandung pesan agar bersikap dan berakhlak yang mulia agar memperoleh banyak teman; Bagong dari kata bagha yang berarti lacut atau berontak, membawa pesan agar memberontak dan memberantas segala bentuk kezhaliman.
Lakon atau cerita pewayangan yang pada jaman pra Islam selalu bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana, kemudian diganti oleh Sunan Kalijaga dan para Wali yang lain dengan cerita atau lakon carangan buatan sendiri yang penuh dengan nilai-nilai dan pesan Islami. Misalnya, lakon Dewa Ruci, Jimat kalimasada (kalimat syahadat), Petruk dadi Ratu, Pandu Pragola, Semar ambarang jantur, Mustaka weni, dan lain-lain. Cerita Jimat kalimasada mengandung pesan bahwa orang akan hidup selamat dunia akhirat jika ia memiliki senjata berupa bacaan dua kalimat syahadat.  Lakon Dewa Ruci penuh dengan makna simbolik, yang menceritakan bahwa Bima dan Pandawa disuruh gurunya (Pandita Durna) untuk menemui Dewa Ruci yang berada di dasar laut untuk mencari air penghidupan atau air suci (“Tirta Amertha”) dan hikmah tertinggi. Tokoh Dewa Ruci dipersonifikasikan sebagai Nabi Khidir, sebagai simbol dari kaum sufi. Lakon ini mengandung pesan : kalau ingin mengetahui makna kehidupan dan sangkan paraning dumadi (hakekat dan asal usul kejadian/makhluk), hendaklah menemui dan belajar kepada kaum sufi. Sedangkan lakon Petruk dadi Ratu mengandung pesan, bahwa Jika seseorang memiliki jimat (berpegangan pada) kalimat syahadat, ia akan hidup mulia dan terhormat, meskipun ia seorang budak atau orang yang berpangkat rendah di tengah masyarakatnya.
Sunan Kalijaga termasuk kelompok Walisongo yang sangat toleran dan tidak  langsung bersikap antipati ter-hadap tradisi lama yang kental dengan nilai kesyirikan, kehinduan dan kepercayaan lama yang sudah mendarah daging di tengah masyarakat. Misalnya, tradisi kenduren atau selametan yang pada jaman pra islam berbentuk ritual pengiriman sesajen kepada leluhur yang sudah mati dengan diiringi pembacaan mantra-mantra tertentu, diusulkan Sunan Kalijaga kepada permusyawaratan Wali songo agar tetap dipertahankan keberadaannya, setelah terlebih dahulu dimuati dengan nilai-nilai aqidah islam dan diberi makna baru (reinterpretasi) agar tidak terjerumus kedalam bentuk kesyirikan. Bacaan mantera diganti dengan ayat-ayat suci  Al-Qur’an, kalimat thayyibah (tahlil) dan doa-doa Islam, disertai niat agar pahala membacanya dihadiahkan Allah kepada orang yang mati. Adapun sesajen yang dipersiapkan untuk dikirim kepada para leluhur atau arwah yang sudah wafat,  yang biasanya berupa berbagai macam jajan pasar dan makanan kesu-kaannya, tidak lagi diberikan/disajikan kepada yang orang yang mati, tetapi diganti dengan “berkat” (makanan ‘oleh-oleh’) untuk diberikan dan disedekahkan kepada orang yang hidup, terutama kepada orang yang diundang mengi-kuti kenduren, dengan niat semoga pahala sedekah ter-sebut diberikan Allah kepada orang yang mati. Sementara sesajen penting yang berupa aneka ragam  jajan pasar diganti dengan tiga jenis makanan : ketan, kolak dan apem dengan diberi makna baru. Ketiga nama makanan tersebut diambil dari bahasa arab yang diucapkan secara keliru oleh masyarakat jawa. Kata “ketan dari bahasa arab “Khatha-an” yang berarti kesalahan atau dosa; “kolak dari bahasa arab “qaala” yang berarti berkata atau berdoa; dan “apem” dari kata “Afwun” yang berarti ampunan. Dari ketiga nama makanan tersebut terkandung suatu ajaran, bahwa manusia tidak dapat lepas dari dosa dan salah. Oleh karena itu, hendaklah ia berdoa kepada Allah untuk memohon ampunan-Nya. Semula usulan tersebut diten-tang oleh kelompok Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Drajat. Namun dengan dukungan dari Sunan Kudus, Sunan Bonang, Sunan Muria dan Sunan Gunungjati, serta didukung dengan dalil-dalil islami dan alasan yang rasional, akhirnya kelompok Sunan Ampel menyetujuinya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar