Senin, 22 Mei 2017

Profil Walisongo 8. Sunan Muria






Sunan Muria bernama asli Raden Umar Sa’id dan nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Tidak ada riwayat yang pasti, kapan tepatnya ia dilahirkan dan wafat. Yang jelas, makamnya berada di lereng bukit Muria di daerah Colo Kudus. Ia merupakan putra Sunan Kalijaga dari isteri pertama, Dewi Saroh binti Maulana Ishak. Dengan demikian, dari pihak ibunya, ia adalah keponakan Sunan Giri, yang berarti ia masih keturunan Rasulullah saw. Setelah Dewasa, ia menikahi Dewi Sujinah binti Sunan Ngudung atau Raden Usman Haji, yang nantinya melahirkan putra bernama Pangeran Santri alias Sunan Kadilangu. Dengan perkawinannya ini berarti ia adalah saudara ipar Sunan Kudus.
Sunan Muria adalah seorang Walisongo yang berjasa dalam mengembangkan agama Islam di pedesaan pulau Jawa. Memang ia suka berdakwah di desa-desa yang terpencil dari keramaian kota, sesuai dengan kepribadiannya yang suka menyendiri dan mencari tempat yang tenang atau sepi sebagai tempat tinggalnya, yakni di lereng bukit Muria. Ia  lebih suka berdakwah ke kalangan masyarakat kecil atau rakyat jelata, dan metode dakwahnya pun cukup luwes, halus dan lunak. Sikapnya terhadap tradisi dan adat lama yang berkembang di tengah masyarakat, sama dengan sikap ayahnya, sebagaimana yang diceritakan di atas. Demikian pula dalam bidang kesenian, ia menyumbangkan karya berupa tembang Sinom dan Kinanti.
Menurut cerita babad yang berkembang, Sunan Muria menjalankan Riyadhah atau “lelakon” sebagaimana yang pernah dijalankan oleh ayahnya, yakni Topo Ngeli”, bersemedi dengan cara menghanyutkan diri ke dalam air mengikuti arus sungai, yang tentu saja bermuara pada satu tujuan, yakni Lautan.. Masyarakat pada umumnya percaya bahwa cerita ini memang benar-benar terjadi dalam kenyataan. Namun menurut pandangan yang lain, cerita ini lebih bersifat simbolik atau cerita sandi yang sangat kaya dengan makna. Makna yang terkandung di-dalamnya adalah, bahwa “ngeli”  berarti  menghanyutkan diri; “arus sungai” adalah simbol dari aliran keyakinan, agama, adat, tradisi yang berkembang di masyarakat; sedangkan “laut” sebagai lambang agama Islam yang merupakan satu-satunya agama yang benar.
Dengan kata lain, cerita di atas menggambarkan tentang taktik dan strategi berdakwah Sunan Muria yang suka terjun langsung dan mampu menghanyutkan diri atau pandai menyesuaikan diri dengan kehidupan masyarakat yang beraneka ragam corak budaya, tradisi, adat istiadat, aliran keyakinan dan keagamaannya. Dengan sikapnya yang toleran, ramah dan halus, serta berprinsip pada Tut Wuri Handayani, Sunan Muria mampu membimbing dan mengarahkan mereka dari belakang kedalam ajaran agama yang benar yakni Islam. Tradisi dan adat istiadat lama yang berkembang dibiarkan terus berjalan, sambil dipengaruhi, diadakan perubahan dan dimuati dengan nilai-nilai keislaman, sehingga tradisi dan adat istiadat yang tadinya berbau syirik dan bid’ah, kemudian berubah secara perlahan (“Alon-alon wathon kelakon”, sedikit demi sedikit, tetapi sampai) menjadi suatu tradisi dan adat istiadat baru yang penuh dengan nilai-nilai keislaman, tanpa menimbulkan kekacauan dan pertentangan di masyarakat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar