Minggu, 21 Mei 2017

PROSES ISLAMISASI DI JAWA




Berdasarkan bukti dan fakta sejarah yang terkuat, Islam pertama kali masuk ke Indonesaia, khususnya di pulau Jawa, adalah pada akhir abad ke-7 Masehi atau abad 1 Hijriyah, semasa dengan dinasti Bani Umaiyah di Damaskus. Menurut berita dari Cina, pada abad ke-7 (sekitar tahun 674-675) ada utusan dari raja Ta-Cheh (Arab) menemui Ratu Sima di kerajaan Kalingga - di Boyolali Jawa Tengah. Utusan itu meletakkan punti-pundi emas di tengah jalan, untuk menguji keadilan dan kejujuran Ratu Sima dan rakyatnya dalam menjalankan agama Budhanya. Menurut Buya DR. Hamka, raja Ta-Cheh tersebut diduga bernama Mu'awiyah bin Abu Sufyan, kholifah pertama Bani Umaiyyah. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa pada saat itu mulai terjadi proses Islamisasi di Jawa.
Masyarakat muslim terbentuk di Jawa paling tidak pada abad ke 11 M. Dokumen yang dapat dipercaya ialah ditemukannya batu nisan makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M di desa Leran, Gresik, Jawa Timur. Lihat G.W.J. Drewes, “New Ligh on the Coming of Islam in Southeast Asia dalam Ahmad Ibrahim et al (eds), Reading on Islam in Southeast Asia (Siangapore; Institute of Southeast Asian Studies, 1985), h. 7 – 19. dan lihat juga, “Makam Siti Fathimah binti Maimun; awal sejarah Gresik yang terlupakan”, Kompas, 10 Mei 2002, h. D (Suplemen Jawa Timur).
Dalam buku Sejarah Tanah Jawa karangan Fruin Mees, jilid II halaman 8, dikatakan ; “Sunan Kalijaga hidup pada awal abad ke-15 di Kadilangu Demak. Di sana terdapat Masjid Agung Demak yang didirikan tahun 874 H (1468 M), Maka dapat dipastikan, bahwa sebelum itu Islam telah ada di sana”
Seluruh sejarawan menyebutkan bahwa penyebaran Islam di Pulau Jawa dilakukan oleh Walisongo. Persoalannya, siapa itu Walisongo?
Istilah “Walisongo” pada umumnya diartikan sebagai sembilan orang Waliyulloh yang sangat dicintai Allah dan sangat dekat denganNya yang dianugerahi karomah tertentu dan dipandang sebagai penyebar utama agama Islam di Jawa.
Menurut Prof. K.H.R. Mohammad Adnan, kata “songo” merupakan kerancuan dari kata “sana” (bahasa arab :  Tsana’) yang berarti “mulia, terpuji”. Istilah yang tepat bukan Walisongo, tetapi Walisana, yang berarti “Para wali yang terpuji dan mulia”. Dengan demikian, jumlah mereka tentu lebih dari sembilan orang. Pendapat ini diperkuat oleh R. Tanoyo.[1] Hanya saja menurutnya, sana bukan berasal dari bahasa arab tsana’, tetapi dari bahasa jawa kuno yang berarti tempat, daerah atau wilayah. Walisana berarti Wali bagi suatu tempat / wilayah tertentu. Dalam kaitannya dengan ini, para Wali juga disebut Sunan, yang berarti orang yang dijunjung atau dimuliakan di suatu wilayah tertentu. Misalnya Sunan Ampel, seorang wali yang dijunjung dan dihormati di daerah Ampel Surabaya.
Sementara menurut Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, MA didalam bukunya, Kisah Walisongo, yang dinukil dari kitab Kanzul Ulum, karya Ibnu Bathuhah, yang disempurnakan dan diteruskan oleh Syekh Maulana Al-Maghrabi, dijelaskan, bahwa istilah Walisongo adalah nama dari Lembaga Dewan Muballigh di Jawa yang beranggotakan sembilan orang pengurus. Lembaga ini pernah melakukan tiga kali sidang penggantian Pengurus, yaitu pada tahun 1404 M, 1436 M dan 1463 M . Ditambahkan oleh KH Dachlan Abdul Qahhar, bahwa Lembaga Dewan Muballigh ini mengadakan sidang yang keempat pada tahun 1466 M, dan sidang kelima sewaktu menangani kasus Seh Siti Jenar.



[1] )  R. Tanoyo mengatakan lagi, istilah Walisana  dipopulerkan oleh Sunan Giri II sebagai judul bukunya, Kitab Walisana. Didalam kitab ini dijelaskan, bahwa Waliyulloh, penyebar utama Islam di Jawa berjumlah 8 orang, yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Kudus, Sunan Majagung, Sunan Kalijaga dan Sunan Gunungjati. Selain ke-8 orang ini, masih ada lagi para wali yang berstatus sebagai wakil  yang disebut Wali Nuqba atau Wali Nuqaba. yang jumlahnya sangat banyak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar