Senin, 22 Mei 2017

Sunan Bonang dan Masjid Demak





Masjid Agung Demak merupakan sebuah masjid tertua di Indonesia, masjid kerajaan Islam Islam pertama di Jawa; letaknya di alun-alun kota Demak Jawa Tengah.
Menurut Legenda dan cerita babad, masjid ini didirikan secara bersama-sama oleh Walisongo. Babad Demak  menunjukkan, bahwa masjid ini didirikan pada tahun tahun Saka 1399 (1477 M) yang ditandai oleh candrasengkala “Lawang Trus Gunaning Janmi”. Sedangkan pada gambar bulus yang berada di mihrab masjid ini terdapat lambang tahun saka 1401 yang menunjukkan bahwa masjid ini berdiri tahun 1499.
Masjid Agung Demak yang terbuat dari kayu jati terdiri dari bangunan inti berukuran 33 m x 31 m dan bangunan serambi berukuran 31 m x 15 m. Pada bangunan inti masjid, atap tengah bangunan inti masjid ditopang oleh empat buah tiang kayu raksasa (saka guru) yang dibuat oleh empat orang Walisongo. Saka sebelah tenggara adalah buatan Sunan Ampel, sebelah barat daya buatan Sunan Gunungjati, sebelah barat laut buatan Sunan Bonang sedangkan Saka sebelah timur laut yang terbuat dari saka tatal (beberapa potong balok yang diikat menjadi satu) merupakan sumbangan Sunan Kalijaga. Sementara bangunan serambi masjid dengan delapan buah tiang boyongan merupakan bangunan tambahan pada jaman Adipati Yunus (Pati Unus, Pangeran Sabrang Lor), sultan Demak ke-2 (1518-1521) pada tahun 1520.
Masjid Agung Demak memiliki ciri khas tersendiri. Bentuk bangunan yang cenderung mirip candi yang meruncing ke atas, seperti nasi tumpeng merupakan pengaruh dari unsur kebudayaan Hindu-Jawa. Ciri khas lainnya, masjid ini bercorak “masjid kuburan”, yakni masjid yang menyatu dengan kuburan yang terletak di sebelah baratnya. Atapnya yang bersusun tiga tingkat melambangkan islam, iman dan ihsan. Jumlah pintunya lima buah melambangkan kelima rukun Islam, sedang jendelanya yang berjumlah enam buah melambangkan keenam rukun iman.
Selain berfungsi sebagai tempat ibadah (Shalat), masjid Agung Demak di masa Walisongo juga berfungsi sebagai pusat kegiatan kerajaan Islam Demak. Di masjid inilah para wali mengadakan musyawarah dan dakwah Islamiah seperti “sekaten”.
Pada acara sekaten, dibunyikanlah gamelan dan rebana, serta pertunjukan wayang kulit  di depan serambi, sehingga masyarakat berduyun-duyun mengerumuni dan memenuhi depan pintu “Gapura”, pintu gerbang utama masuk ke masjid (dari kata “Ghafuro” yang berarti ampunan).  Para Wali kemudian mengadakan tabligh dan masyarakat diperbolehkan masuk kedalam masjid untuk menyaksikan gelar seni tersebut dengan terlebih dahulu membaca “Sekaten”, yaitu membaca dua kalimat syahadat (Syahadatain). Maka masyarakat pun secara sukarela dituntun mengucapkan “syahadatain” (sekaten) tersebut.
Menurut Hikayat Hasanuddin, Masjid Agung Demak pernah mempunyai lima imam besar masjid yang amat besar jasanya dalam proses Islamisasi di Jawa. Sunan Bonang diangkat Raden Patah sebagai imam besar pertama, kemudiaan diganti secara berturut-turut oleh Ibrahim (Pangeran Karang Kemuning),  Makhdum Sampang,  Penghulu Rahmatullah dari daerah Undung (dekat Kudus), dan Sunan Kudus.  (Sumber : Ensiklopedi Islam, volume 1 : Aba – Far. Halaman 299-300)

Selain itu, Sunan Ampel bersama-sama dengan para Wali lain ikut serta mendirikan masjid Agung Demak tahun 1477 M. Mereka melakukan pembagian tugas : Keempat tiang “Saka Guru” (tiang utama penyanggah dari kayu raksasa) dikerjakan oleh Sunan Ampel di bagian tenggara; Sunan Gunung Jati di bagian barat daya; Sunan Bonang di bagian barat laut; dan Sunan Kalijaga di bagian timur laut, berupa  tiang saka tatal (bukan berupa kayu utuh, tetapi dari beberapa pecahan kayu balok yang diikat menjadi satu). Sementara para wali lainnya diberi tugas mengerjakan bagain-bagian bangunan masjid yang lain. (Sumber : Mengenal Sejarah Walisongo, oleh Suchaimi)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar